Seorang pemuda tengah
termenung duduk di bangku taman. Dari tadi tak seguratpun rona gembira terpancar
dari wajahnya. Seorang kakek yang duduk di bangku lain, tak jauh dari si
pemuda, mengamati dengan serius. Akhirnya, kakek itupun menghampiri anak muda
tersebut.
”Ada apa, anak muda?
Sejak tadi kuperhatikan, engkau tampaknya sedang gundah.”
Anak muda itu
mendongakkan kepala. Makin
jelaslah gurat kecewa di wajahnya. Diapun kembali menundukkan wajahnya. Sang
kakek, tanpa dipersilahkan, duduk di samping pemuda tersebut.
”Tidakkah kupu-kupu
yang menari bersama bebungaan ini menarik perhatianmu, anak muda?” sang kakek
mengakrabkan diri.
Pemuda itu menarik
nafas panjang dan perlahan menghembuskannya. ”Justru kupu-kupu itulah yang
membuaku sedih dan merasa diri tidak berguna.”
”Apa maksudmu, anak
muda?”
”Adik perempuanku ingin
kupu-kupu. Dia memintaku untuk menangkapnya.”
”Bukankah di taman ini
banyak kupu-kupu dengan aneka warnanya yang indah dan bisa kau tangkap?”
Pemuda itu menjambak
rambutnya sendiri. Rona sesal mengemuka. ”Aku tidak bisa menangkapnya, kek,”
pemuda itu masih merasa jengkel dengan
dirinya sendiri.
”Apa yang membuatmu
tidak bisa menangkap kupu-kupu itu, anak muda?”
”Apa kakek tidak lihat?
Kakiku cacat. Untuk bisa berjalan saja aku ditopang tongkat,” ucapnya sambil
menunjukkan kakinya yang cacat.
”Tapi kamu belum mencobanya,
bukan?”
Pemuda itu mengangguk.
”Cobalah dahulu!”
Pemuda itu bangkit.
Tertatih-tatih sambil ditopang tongkat, dia mulai berjalan ke tengah taman yang
banyak ditumbuhi bermacam bunga. Sampai di tengah taman, dengan beringas dia
menangkapi kupu-kupu yang terbang atau yang hinggap dikelopak bunga. Malang
baginya, karena menangkap kupu-kupu memang tidaklah mudah, begitu dia
menggerakkan tangannya, kupu-kupu itu sudah terbang entah kemana. Merasa
diperhatikan oleh sang kakek, dia terus berusaha mengejar kupu-kupu yang
terbang, bahkan dia menjadikan tongkatnya untuk memukul yang hinggap pada
tanaman bunga. Alhasil, tanaman bunga yang mulanya tertata rapi dan indah, kini
rusak dan acak-acakan.
”Lihatlah Kek, aku
tidak bisa menangkap kupu-kupu itu,” ucap pemuda itu masih ngos-ngosan.
Sang kakek tersenyum
lalu menghampiri pemuda itu dan menuntunnya duduk di bangku taman tempat mereka
duduk tadi. ”Kamu mau kuajari bagaimana menangkap kupu-kupu?”
”Aku mau, kek. Ajari aku
menangkap kupu-kupu”
”Akan kuajari kau
menangkap kupu-kupu tanpa merusak taman.”
Kakek itu pun melangkah
ke salah satu sudut taman yang lain. Di sana, banyak kupu-kupu yang tengah
hinggap dan menghisap sari bunga atau yang terbang berpindah dari satu bunga ke
bunga yang lain. Alih-alih bergerak lincah kesana kemari mengejar kupu-kupu, sang
kakek hanya diam mematung.
Melihat hal itu, sang
pemuda heran. Namun, rasa heran tersebut lekas
musnah ketika secara ajaib, kupu-kupu yang tengah beterbangan yang tadi
amat susah dia tangkap, malah hinggap di tangan kakek itu. Bukan hanya satu,
ada tga sampai empat kupu-kupu dengan warna dan corak yang indah.
Belum habis rasa heran
pemuda itu, sang kakek pun berbicara. ”Anak muda, menangkap kupu-kupu adalah
bagaimana kamu menyiapkan dan memantaskan diri untuk didatangi dan
dihinggapinya. Bukan hanya kupu-kupu, apapun dalam hidup, akan dengan
sendirinya mendatangimu jika kamu siap dan pantas menerimanya.”
Sumber : MAPI Februari 2012
Ditulis kembali oleh : Fajar Shiddiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.