كُلّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ
أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْع مِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا
الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنُْ
أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ
لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Semua amalan
bani adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali
lipat hingga 700 kali lipatnya, Allah ta’ala berfirman, ‘Kecuali puasa
sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, ia meninggalkan
syahwat dan makannya karena aku, maka Aku yang akan membalasnya.’ Dan bagi
orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka dan
kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-nya. Benar-benar mulut orang yang
berpuasa di sisi Allah lebih harum daripada harumnya misk.”
Semua aturan yang Allah ciptakan untuk umat
manusia, baik berupa perintah maupun larangan, adalah untuk kepentingan manusia
itu sendiri. Segala amal perbuatan manusia akan kembali dirasakan oleh manusia
itu sendiri. Allah SWT sama sekali tidak membutuhkan ibadah makhluknya.
Seandainya semua makhluk di kolong langit ini seluruhnya taat beribadah kepada
Allah, maka hal itu sama sekali tidak akan menambah keagungan dan kekuasaan
Allah, karena Dia sudah Maha Agung dan Maha Kuasa dengan sendirinya.
Sebaliknya, jika seluruh makhluk durhaka kepada-Nya juga tidak akan mengurangi
keagungan dan kekuasaan-Nya sedikitpun.
Lalu, apa maksud hadits tersebut di atas bahwa
Allah SWT berfirman : ”Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan
membalasnya.”?
Para ulama menjelaskan sebagai berikut :
1.
Bahwa puasa tidak terkena riya sebagaimana (amalan) lainnya terkena riya.
Al-Qurtuby rahimahullah berkata, "Ketika amalan-amalan yang lain dapat
terserang penyakit riya, maka puasa tidak ada yang dapat mengetahui amalan
tersebut kecuali Allah, maka Allah sandarkan puasa kepada Diri-Nya. Oleh karena
itu dikatakan dalam hadits, ”Meninggalkan syahwatnya karena diri-Ku.”
Ibnu Al-Jauzi rahimahullah berkata, ‘Semua ibadah terlihat amalannya. Dan
sedikit sekali yang selamat dari godaan (yakni terkadang bercampur dengan
sedikit riya) berbeda dengan puasa’. Puasa merupakan amalan batin yang hanya
diketahui oleh Allah, dia merupakan niat di dalam hati. Berbeda dengan amalan
yang lain, maka sesungguhnya amalan-amalan tersebut tampak dan dilihat oleh
manusia. Adapun Puasa maka sesungguhnya dia adalah amalan yang rahasia antara
seorang hamba dan Tuhannya. Berbeda dengan sedekah misalnya, shalat, haji dan
seluruh amalan yang lainnya, semuanya ini disaksikan oleh manusia,
kecuali puasa yang tidak ada seorangpun yang melihatnya. Makna puasa bukanlah
sekedar meninggalkan makan dan minum saja atau meninggalkan hal-hal yang
membatalkan puasa, akan tetapi bersamaan dengan itu haruslah didasari dengan
keikhlasan semata-mata karena Allah dan hal ini tidak diketahui kecuali hanya
oleh Allah SWT.
2.
Maksud dari ungkapan ”Aku yang akan membalasnya”, adalah bahwa
pengetahuan tentang kadar pahala dan pelipatan kebaikannya hanya Allah yang
mengetahuinya. Al-Qurtuby rahimahullah berkata, ‘Artinya bahwa amalan-amalan
telah terlihat kadar pahalanya untuk manusia. Bahwa ia akan dilipatgandakan
dari sepuluh sampai tujuh ratus kali sampai sekehendak Allah kecuali puasa.
Maka Allah sendiri yang akan memberi pahala tanpa batasan. Hal ini dikuatkan
dengan redaksi hadits diatas : ”Semua amal Bani Adam akan dilipat gandakan
kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza Wa Jallah
berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan
pahalanya.” Yakni Aku akan memberikan pahala yang banyak tanpa menentukan kadarnya.
Hal ini seperti firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS.
Az-Zumar: 10)
3. Makna ungkapan ”Puasa
untuk-Ku”, maksudnya adalah bahwa dia termasuk ibadah yang paling Aku
cintai dan paling mulia di sisi-Ku. Ibnu Abdul Bar berkata, “Cukuplah ungkapan
’Puasa untuk-Ku’ menunjukkan keutamaannya dibandingkan ibadah-ibadah
lainnya. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i, dari Abu Umamah RA berkata, Rasulullah SAW
bersabda : ”Hendaklah kalian berpuasa, karena tidak ada yang menyamainya.”
4.
Penyandaran di sini adalah penyandaran kemuliaan dan keagungan. Sebagaimana
diungkapkan ‘Baitullah (rumah Allah)’ meskipun semua rumah milik Allah. Az-Zain
bin Munayyir berkata, ”Pengkhususan pada teks keumuman seperti ini, tidak dapat
difahami melainkan untuk pengagungan dan pemuliaan.” Syekh Ibnu Utsaimin
rahimahullah berkata, “Hadits yang agung ini menunjukkan akan keutamaan puasa
dari beberapa sisi :
Pertama: Sesungguhnya Allah khususkan puasa untuk diri-Nya dari
amalan-amalan lainnya, hal itu karena keutamaannya di sisi-Nya, cintanya
padanya dan tampak keikhlasan padanya untuk-Nya SWT. Karena puasa merupakan
rahasia seorang hamba dengan Tuhannya, tidak ada yang melihatnya kecuali Allah,
karena orang yang berpuasa, di tempat yang sepi mungkin baginya
mengkonsumsi apa yang diharamkan oleh Allah, (akan tetapi) dia tidak
mengkonsumsikannya. Karena dia mengetahui punya Tuhan yang melihat di tempat
yang sunyi. Dan Dia telah mengharamkan hal itu. Maka dia tinggalkan karena
takut akan siksa-Nya serta berharap pahala dari-Nya. Maka, Allah berterimakasih
akan keikhlasan ini dengan mengkhususkan puasa untuk diri-Nya dibandingkan
amalan-amalan lainnya. Oleh karena itu (Allah) berfirman, ”Dia meninggalkan
syahwat dan makanannya karena diri-Ku”. Keistimewaan ini akan terlihat
nanti di hari kiamat sebagaimana yang dikatakan oleh Sofyan bin Uyainah
rahimahullah, ”Ketika hari kiamat, Allah akan menghisab hamba-Nya. Dan
mengembalikan tanggungan dari kezalimannya dari seluruh amalnya. Sampai ketika
tidak tersisa kecuali puasa, maka Allah yang akan menanggung sisa kezaliman dan
dia dimasukkan surga karena puasanya.”
Kedua: Allah berfirman ”Dan
Aku yang akan membalasnya.” Maka
balasannya disandarkan kepada diri-Nya yang Mulia. Karena amalan-amalan saleh
akan dilipatgandakan pahalanya dengan bilangan. Satu kebaikan dilipat gandakan
sepuluh kali sampai tujuh ratus kali sampai berlipat-lipat. Sementara puasa,
maka Allah sandarkan pahalanya kepada diri-Nya tanpa ada kadar bilangan. Maka
Dia SWT adalah zat yang paling dermawan dan paling mulia. Pemberian sesuai
dengan apa yang diberikannya. Maka pahala orang puasa sangat besar tanpa batas.
Puasa adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari yang diharamkan
Allah dan sabar terhadap takdir Allah yang menyakitkan dari lapar, haus dan
lemahnya badan serta jiwa. Maka terkumpul di dalamnya tiga macam kesabaran.
Maka layak orang puasa termasuk golongan orang-orang sabar. Sementara Allah
telah berfirman, ”Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Sumber : Tausiah KH. Aep Saefudin S.Ag + sumber lain
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.