Minggu, 05 Februari 2012

Tafsir Q.S. Albaqarah 23

Kajian Tafsir Ibnu Katsir, 31 Jan 2012
Pemateri : K.H. Aep Saefudin SAG
وان كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فٲتوا بسورة من مثله ۖ  ودعوا شهداءكم من دون الله ان كنتم صدقين ۝
"Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar"
Kemudian Allah Subhaanahu Wa Ta'aala menetapkan masalah kenabian sesudah menetapkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Untuk itu Allah mengarahkan khitab-Nya kepada orang-orang kafir melalui firman-Nya :
“Wain kuntum fii raibin mimmaa nazzalnaa ‘alaa ‘abdinaa” [Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad),”]
Yang dimaksud dengan hamba ialah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka datangkanlah sebuah surat yang semisal dengan yang didatangkan olehnya. Apabila kalian menduga bahwa Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, maka tantanglah Al-Qur’an dengan hal yang semisal dengan apa yang didatangkan olehnya. Mintalah pertolongan kepada orang-orang yang kalian kehendaki selain Allah, karena sesungguhnya kalian pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Menurut Ibnu Abbas, syuhadaa-akum artinya penolong-penolong kalian.
Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, syuhadaa-akum artinya sekutu-sekutu kalian. Dengan kata lain ialah kaum selain kalian yang membantu kalian untuk melakukan hal tersebut. Mintalah pertolongan kepada tuhan-tuhan kalian agar mereka membantu dan menolong kalian.
Mujahid mengatakan bahwa wad’uu syuhadaa-akum bermakna orang-orang yang akan menyaksikannya, mereka adalah juri-juri dari kalangan orang-orang yang fasih dalam berbahasa.
Allah Subhaanahu Wa Ta'aala menantang mereka untuk melakukan hal tersebut dalam beberapa ayat lain dalam Al-Qur’an sebagai berikut :
Katakanlah, “Datangkanlah oleh kalian sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al-Qur’an) niscaya aku mengikutinya, jika kalian orang-orang yang benar.” (Q.S. Al-Qashash : 49)
Katakanlah, “ Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain.”
(Q.S. Al-Isra : 88)
Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu.” Katakanlah, “
(Jika demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kalian sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar.” (Q.S. Hud : 13)
Tidaklah mungkin Al-Qur’an ini dibuat oleh selain Allah, akan tetapi
(Al-Qur’an itu) membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya, tidak ada keraguan didalamnya, (diturunkan) dari Tuhan Semesta Alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah, “(Kalau benar yang kalian katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.” (Q.S. Yunus : 37-38)
Semua ayat tersebut adalah Makiyyah, kemudian Allah menantang mereka dengan tantangan yang sama dalam surat-surat Madaniyah, dengan firman-Nya :
“Wain kuntum fii raibin mimmaa nazzalnaa ‘alaa ‘abdinaa fa’tuu bisuuratin min mitslihii” [Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), mak buatlah satu surat saja yang semisal (Al-Qur’an itu)]”
Demikian pendapat Mujahid dan Qatadah, dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, Az-Zamakhsyari dan Ar-Razi, dinukil dari Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan AL-Bashri, dan kebanyakan ulama ahli Tahqiq.
Pendapat ini dinilai kuat berdasarkan peninjauan dari berbagai segi yang antara lain ialah Allah Subhaanahu wa Ta’aala menantang mereka secara keseluruhan, baik secara terpisah maupun secara gabungan, yang dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang-orang ummi dari kalangan mereka dan orang-orang pandai baca tulis dari mereka. Yang demikian itu lebih sempurna dalam tantangannya, dan mencakup keseluruhannya daripada tantangan yang ditujukan kepada individu dari kalangan mereka yang ummi, yaitu orang-orang yang tidak dapat baca tulis dan tidak memperhatikan suatu ilmupun. Sebagai buktinya ialah firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala :
“Fa’tuu bi ‘asyri suwarin mitslihi” –maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat menyamainya– (Q.S. Huud : 13)
“Laa ya’tuuna bimitslihi” –niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya– ( Q.S. Al-Isra : 88).
Sebagian ulama mengatakan bahwa bimitslihi artinya dari orang yang semisal dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yakni dari seorang laki-laki yang ummi seperti dia. Tetapi pendapat yang shahih adalah yang pertama, karena tantangan ini bersifat umum bagi mereka semua. Padahal mereka adalah orang-orang yang paling fasih, dan Allah menantang mereka  dengan tantangan ini di Mekkah dan di Madinah beberapa kali karena mereka sangat memusuhi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sangat membenci agamanya. Akan tetapi sekalipun mereka adalah orang-orang yang fasih, ternyata mereka tidak mampu membuatnya. Karena itulah Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :
“Faillam taf’aluu walan taf’aluu” –maka jika kalian tidak dapat membuat(nya) dan pasti kalian tidak akan dapat  membuat(nya)– (Q.S. Al-Baqarah : 24)

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat

Baca juga artikel terkait :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.