Senin, 24 Desember 2012

Kekuatan Maaf Rasulullah SAW


Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah dengan tujuan hendak membunuh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal itu.
Dengan semangat meluap-luap ia mencari majlis Rasulullah, langsung didatanginya untuk melaksanakan maksud tujuannya. Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab ra. yang melihat gelagat buruk pada penampilannya menghadang.
Umar bertanya, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?”
Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab, “Aku datang ke negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad!”.
Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah.
Rasulullah segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya, “Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?”.
Para shahabat Rasul yang ada disitu tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah.
Maka Umar memberanikan diri bertanya, “Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!”
Namun Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar. Beliau berkata, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu”.
Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah. Setelah memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, “Ucapkanlah Laa ilaha illallah (Tiada ilah selain Allah).”
Si musyrik itu menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya!”.
Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.”
Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengucapkannya!”
Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi.
Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negerinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri. Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muahammad Rasul Allah.”
Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?”
Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Robbul Alamin.”
Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, “Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah.”

* * *
Sahabat .....
Apakah kita pengikut ajaran beliau? Tetapi sejauh mana kita bisa memaafkan kesalahan orang? Seberapa besar kita mencintai sesama? kalau tidak, kita perlu menanyakan kembali ikrar kita yang pernah kita ucapkan sebagai tanda kita pengikut beliau .....
Sungguh, beliau adalah contoh yang sempurna sebagai seorang manusia biasa. Beliau adalah Nabi terbesar, beliau juga adalah Suami yang sempurna, Bapak yang sempurna, pimpinan yang sempurna, teman dan sahabat yang sempurna, tetangga yang sempurna. maka tidak salah kalau Allah mengatakan bahwa Beliau adalah teladan yang sempurna.
Semoga Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau, junjungan dan teladan kita yang oleh Allah telah diciptakan sebagai contoh manusia yang sempurna. Salam ’alaika ya Rasulullah .....
. . .

Sumber : rumah-yatim-indonesia
Ditulis kembali oleh : Fajar Shiddiq untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat .....
 

Minggu, 09 Desember 2012

Ibanatul Ahkam, 4 Des 2012

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab Adzan
Pemateri : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Hadits ke-143 :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ رضي الله عنه قَالَ: ( طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ: "اَللَّهُ أَكْبَرَ اَللَّهِ أَكْبَرُ فَذَكَرَ اَلْآذَانَ - بِتَرْبِيع اَلتَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ وَالْإِقَامَةَ فُرَادَى إِلَّا قَدْ قَامَتِ اَلصَّلَاةُ - قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: "إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ..." )  اَلْحَدِيثَ. أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ.
وَزَادَ أَحْمَدُ فِي آخِرِهِ قِصَّةَ قَوْلِ بِلَالٍ فِي آذَانِ اَلْفَجْرِ: ( اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ اَلنَّوْمِ )
وَلِابْنِ خُزَيْمَةَ: عَنْ أَنَسٍ قَالَ: ( مِنْ اَلسُّنَّةِ إِذَا قَالَ اَلْمُؤَذِّنُ فِي اَلْفَجْرِ: حَيٌّ عَلَى اَلْفَلَاحِ قَالَ: اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ اَلنَّوْمِ )
Dari Abdullah Ibnu Zaid Ibnu Abdi Rabbih radliyallaahu ‘anhu berkata: “Waktu saya tidur (saya bermimpi) ada seseorang mengelilingi saya seraya berkata: “Ucapkanlah "Allahu Akbar Allahu Akbar lalu ia mengucapkan adzan dengan takbir sebanyak empat kali tanpa pengulangan dan mengucapkan iqomat sekali kecuali "qod Qoomatish sholaat"”. Ia berkata: “Ketika telah shubuh aku menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya ia adalah mimpi yang benar."… hingga akhir hadits. Dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.
Dan Imam Ahmad menambahkan pada akhir hadits tentang kisah ucapan Bilal dalam adzan Shubuh: "Ash-shalaatu khairum minan nauum (Shalat itu lebih baik daripada tidur.)"
Menurut riwayat Ibnu Khuzaimah dari Anas radliyallaahu ‘anhu ia berkata: “Termasuk sunnah adalah bila muadzin pada waktu fajar setelah membaca “hayya 'alash sholaah” ia mengucapkan ”assholaatu khairum minan naum.”
Makna Hadits :
Ketika tahun pertama Nabi (s.a.w) berhijrah ke Madinah, kekuatan kaum muslimin semakin mantap dan para pengikutnya kian bertambah banyak. Mereka mula bermusyawarah mengenai sesuatu yang patut digunakan untuk memberitahu masuknya waktu solat agar mereka segera berkumpul di dalam untuk mengerjakan solat secara berjamaah.
Ada di antara mereka yang mengusulkankan nyala api, loceng dan terompet, tetapi di antara sekian saran tersebut tidak ada satu pun yang dapat diterima, karena semua itu merupakan syiar yang diambil daripada agama Majusi, Nasrani maupun Yahudi. Setelah tidak memperoleh kata sepakat, mereka pun kembali pulang menuju tempat tinggal mereka masing-masing, dalam keadaan mereka masih memikirkan masalah yang mereka hadapi ini.
Abdullah ibn Zaid dalam mimpinya melihat seorang lelaki sedang membawa loceng. Abdullah berkata kepadanya: “Apakah engkau berminat menjual loceng itu?” Lelaki itu berkata: “Apa yang hendak engkau lakukan dengan loceng ini?” Abdullah menjawab: “Untuk menyeru kaum muslimin melakukan solat.” Lelaki itu berkata: “Maukah engkau jika aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik daripada itu?” Abdullah menjawab: “Tentu.” Lelaki itu berkata: “Ucapkanlah, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, ...” hingga akhir azan.
Analisis Lafadz :
الأذن, menurut bahasa adalah pemberitahuan, sedangkan menurut syara’ ialah pemberitahuan tentang masuknya waktu sholat atau waktu sudah menghampiri waktu fajar dengan menggunakan dzikir khusus. Adzan disyariatkan di Madinah sesudah hijrah.
الإقامة, merupakan masdar yang berasal dari perkataan أقام yang bermaksud mendirikan sedangkan menurut syara’ adalah pemberitahuan untuk mendirikan sholat (mengerjakannya) dengan dzikir yang khusus.
بتربيع التكبير, dengan mengulangi bacaan takbir sebanyak empat kali.
بغير ترجيع, tanpa tarji (pengulangan). Yang dimaksud dengan tarji’ ialah mengulangi ucapan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali dengan suara yang keras sesudah mengucapkan keduanya sebanyak dua kali dengan suara yang lirih.
فرادى, tanpa mengulangi bacaan kalimatnya.
الا قدقامت الصلاة, kecuali kalimat “Qad qaamatish shalaat” diulangi sebanyak dua kali.
انها لرؤيا حق, sesungguhnya mimpimu itu benar-benar mimpi yang hak, yakni mimpi yang benar.
الحديث, hingga akhir hadits. Hadits ini secara lengkapnya menurut riwayat yang dikemukakan oleh Abu Dawud melalui Muhammad ibn Abdullah ibn Zaid Abd Rabbih, bahwa ayahku telah menceritakan kepadaku hadits berikut :
“Ketika Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam menyuruh supaya loceng digunakan untuk mengumpulkan orang banyak menuju tempat sholat, maka dalam tidurku aku bermimpi bertemu dengan seorang lelaki yang mengelilingiku. Dia membawa sebuah loceng di tangannya. Maka aku berkata: “Hai hamba Allah, apakah engkau bersedia menjual locengmu itu?” Lelaki itu berkata: “Apakah yang hendak engkau kerjakan dengan loceng ini?” Aku menjawab: “Kami ingin menggunakannya untuk menyeru kepada solat.” Lelaki itu berkata: “Maukah engkau jika aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik dari itu?” Aku menjawabnya: “Tentu.” Dia berkata: “Engkau ucapkan : Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Asyhadu an Laailaaha illallaah, Asyhadu an Laailaaha illallaah, Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah, Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah, Hayya ’alash Sholaah, Hayya ’alash Sholaah, Hayya ’alal Falaah, Hayya ’alal Falaah, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laailaaha illallaah.” Kemudian dia mundur dariku sedikit, lalu berkata: “Engkau ucapkan apabila hendak mendirikan solat, : Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Asyhadu an Laailaaha illallaah, Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah, Hayya ’alash Sholaah, Hayya ’alal Falaah,Qoa Qoomatish Sholaah, Qod Qoomatish Sholaah, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laailaaha illallaah.” Pada keesokan harinya, aku datang menghadap Rasulullah Shallallaau ’alaihi wa Sallam, lalu aku menceritakan kepadanya apa yang telah kumimpikan tadi malam. Mendengar hal itu, baginda bersabda : “Sesungguhnya mimpimu itu benar-benar mimpi yang hak. Sekarang bangkitlah kamu bersama Bilal dan ajarkan dulu apa yang telah kamu ketahui itu kepadanya, kemudian suruhlah dia mengumandangkannya, karena suaranya lebih keras dari suaramu.” Maka aku bangkit bersama Bilal dan aku mengajarkan kepadanya lafadz adzan itu. Setelah itu, dia menyerukannya (kepada orang banyak). Abdullah ibnu Zaid melanjutkan kisahnya: “Lalu lafadz itu kemudian didengar oleh Umar ibn al-Khaththab radliyallaahu ’anhu. Ketika itu dia berada di dalam rumahnya, lalu dia segera keluar seraya menarik selendangnya dan berkata: “Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun telah memimpikan hal yang sama.” Maka Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wa Sallam bersabda: “Hanya milik Allah segala pujian itu.
Muhammad ibn Abdullah ibn Zaid Abd Rabbih al-Ansari al-Madani, beliau mengambil riwayat dari ayahnya dan Abu Mas’ud al-Badri. Nu’aim al-Mijmar dan Muhammad ibn Ibrahim al-Taimi mengambil riwayat darinya (Muhammad ibn Abdullah). Ibn Hibban menilainya sebagai seorang yang tsiqah (dapat dipercaya).

Fiqih Hadits :
1.      Dianjurkan mengutamakan urusan agama dan tidak menggunakan syiar agama ahli kitab.
2.      Disyariatkan bermusyawarah dalam menangani masalah-masalah penting dan orang yang dipimpin hendaklah mengemukakan pendapat dan saran kepada pemimpin demi kemaslahatan umum, kemudian pemimpin hendaknya melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan kemaslahatan itu.
3.      Nabi Shallallaahu ’alaihi wa Sallam, dibolehkan untuk melakukan ijtihad.
4.      Disyariatkan adzan. Hikmahnya adalah menegakkan syiar Islam, memberitahu masuknya waktu sholat dan tempat di mana adzan itu dikumandangkan dan sebagai seruan untuk melaksanakan sholat secara berjamaah.
Adzan mencakup akidah iman dan mengandung kedua jenisnya, yaitu aqliyat dan sam’iyat. Adzan diawali dengan menetapkan Zat Allah dan segala sesuatu yang berhak disandangnya berupa kesempurnaan dan kemahasucian dari hal-hal yang sebaliknya dengan mengucapkan Allahu Akbar.
Kemudian ditetapkan pula sifat keesaaan dan menafikan segala bentuk sekutu yang mustahil bagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Ini merupakan tiang iman dan tauhid yang mesti didahulukan ke atas semua kewajiban agama yang lain.
Setelah itu ditetapkan pula bukti-bukti yang menetapkan kenabian, mengakui kerasulan Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wa Sallam. Ini merupakan asas kedua setelah syahadah al-tauhid. Dengan keyakinan seperti ini, maka sempurnalah semua akidah aqliyah.
Kemudian dikumandangkan kalimat yang menyeru kaum muslimin untuk mengerjakan ibadah, yaitu ibadah solat. Ini disebut setelah mengakui kerasulan dan kenabian Muhammad Shallallaahu ’alaihi wa Sallam karena kewajiban ibadah itu diketahui berdasarkan ajaran Nabi Shallallaahu ’alaihi wa Sallam, bukan berlandaskan akal.
Sesudah itu kaum muslimin diseru untuk menuju kejayaan dan kebahagiaan, yaitu perkara-perkara yang bisa menghantarkan mereka menuju kejayaan dan keabadian dalam nikmat yang kekal. Di dalam seruan ini terdapat satu isyarat di mana kaum muslimin perlu sentiasa mengingat akhirat berupa hari kebangkitan dan hari pembalasan.
Kemudian kalimat-kalimat ini diulangi dalam iqamah sholat untuk memberitahukan bahwa sholat hendak dimulai. Pemberitahuan ini mengandung makna yang mengukuhkan keimanan. Mengulangi semula sebutan kalimat-kalimat tersebut ketika hendak mengerjakan solat supaya hati dan lisan seseorang mengetahui apa yang hendak dikerjakannya. Dengan iman itu, dia merasakan keagungan ibadah yang hendak dikerjakan, merasakan keagungan Allah yang disembahnya dan bakal memperoleh pahala yang berlimpah daripada-Nya.
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum adzan. Imam Ahmad mengatakan bahwa adzan adalah fardu kifayah ketika hendak mengerjakan solat lima waktu secara ada’an, namun sholat fardu lima waktu yang dilakukan secara qadha’an tidak diperlukan adzan. Adzan dilakukan oleh kaum lelaki yang hendak mengerjakan sholat berjamaah, baik di kota maupun di kampung, dan dalam keadaan mukim, bukan dalam keadaan musafir.
Imam al-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahawa hukum adzan adalah sunah bagi seseorang yang mengerjakan sholat fardu sendirian maupun berjamaah, baik ketika bermukim maupun ketika musafir.
Imam Malik berpendapat bahwa hukum adzan itu sunat kifayah bagi mereka yang hendak mengerjakan sholat secara berjamaah supaya mereka segera untuk berkumpul di masjid dan demikian pula di tempat-tempat yang biasanya dilaksanakan sholat berjamaah di dalamnya. Imam Malik mengatakan wajib kifayah mengumandangkan azan bagi orang yang berada di kota.
5.      Juru azan disunatkan mempunyai suara yang keras dan bagus.
6.      Disyariatkan membaca tatswib (Assholaatu khoirum minan naum) ketika mengumandangkan adzan Subuh secara khusus, namun sholat-sholat fardu selain itu tidak perlu membaca tatswib.
 

Senin, 12 November 2012

Resensi Buku

Judul buku        : Struggling to Surrender, Berjuang untuk Berserah, Pergulatan Sang Profesor Menemukan Iman.

Penulis              : Dr. Jeffrey Lang
Penerbit            : Serambi
Sinopsis :
Segera setelah menjadi muslim, Jeffrey Lang menyadari bahwa persoalan yang dihadapinya bukannya selesai, melainkan justru baru dimulai. Dulu, profesor matematika ini berjuang untuk menemukan Tuhan yang “masuk akal” dan masuk “masuk hati”. Perjuangan itu telah membawanya berkelana ke berbagai madzhab dunia : rasionalisme, agnotisisme, dan ateisme. Dan, lewat pertemuan kebetulan dengan seorang mahasiswanya yang muslim, ia akhirnya menemukan Islam.
Sekarang, setelah masuk Islam, Dr. Lang menghadapi tantangan baru. Ia kini harus menyesuaikan diri dengan komunitas barunya, dengan segenap keyakinan dan tradisi baru, dengan pandangan dunia dan gaya hidup Islam. Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya rasio dan bukannya tradisi, Lang harus berjuang keras untuk mengerti (dan menjelaskan) mengapa agama (Islam) harus disertakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Mengapa pula apa yang diidealkan Al-Qur’an begitu jauh dari realitas kehidupan muslim? Bagaimana menghadapi tuntutan taklid buta terhadap berbagai hadits dan tradisi, seperti yang diserukan sejumlah orang Islam? Bagaimana dengan status wanita, yang sering menjadi sasaran utama serangan nonmuslim terhadap Islam? Dan berbagai pertanyaan lain yang langsung menyergapnya.
Sejak memeluk Islam, Jeffrey Lang telah berusaha menemukan jawaban atas persoalan-persoalan tersebut. Hasil dari pergumulannya itulah yang didokumentasikan dengan apik dan dikomunikasikan dengan lugas dalam buku ini. Maka, membaca buku ini, kita tidak hanya mengikuti perjalanan spiritual seorang Amerika dalam menemukan Tuhan, tapi juga yang lebih penting, kesan-kesan dan pandangan kritis penulisnya terhadap praktik dan pemahaman keagamaan umat Islam. Bacalah buku ini, dan anda akan menemukan sebuah upaya penyegaran pemahaman Islam dari seorang pengikutnya yang baru.

Berikut kisah singkat pergulatan sang Profesor menemukan iman :
 
Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. “Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika.
Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.
Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS:  Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.

Sumber : Republika Online
 

Selasa, 06 November 2012

Dokumentasi Kurban (terlambat di-upload)

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Rabu, 31 Oktober 2012

Ibanatul Ahkam, Oktober 2012

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram

Bab Waktu Sholat
Pemateri : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Hadits ke-128 :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: وَقْتُ اَلظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ اَلشَّمْسُ  وَكَانَ ظِلُّ اَلرَّجُلِ كَطُولِهِ  مَا لَمْ يَحْضُرْ اَلْعَصْرُ  وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ  وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ اَلشَّفَقُ  وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اَللَّيْلِ اَلْأَوْسَطِ  وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
وَلَهُ مِنْ حَدِيثِ بُرَيْدَةَ فِي اَلْعَصْرِ: وَالشَّمْسُ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ  
وَمِنْ حَدِيثِ أَبِي مُوسَى: وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
Dari Abdullah Ibnu Amr Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabiyullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Waktu Dhuhur ialah jika matahari telah condong (ke barat) dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama waktu Ashar belum tiba. Dan waktu Ashar masuk selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib selama awan merah belum menghilang. Waktu shalat Isya hingga tengah malam dan waktu shalat Shubuh semenjak terbitnya fajar hingga matahari belum terbit." Riwayat Muslim.
Menurut riwayat Muslim dari hadits Buraidah tentang waktu shalat Ashar: "Dan matahari masih putih bersih."
Dari hadits Abu Musa: "Dan matahari masih tinggi."
Makna Hadits :
Sholat merupakan mi’raj roh ke tingkatan yang tinggi dan merupakan munajat kepada Allah Tuhan Yang Esa. Dengan melakukan sholat seakan-akan kita berada di hadapan Tuhan Yang Maha Suci dan berkomunikasi dengan Allah Yang Maha Besar. Sholat itu diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, terdiri dari rukuk dan sujud, sedangkan dzikir-dzikirnya ialah tilawah (al-Qur’an), tasbih dan doa.
Sholat merupakan amalan yang dapat membedakan antara orang mukmin dengan orang kafir dan merupakan rukun Islam yang kedua. Hisab amal yang dilakukan terhadap seorang manusia kelak pada hari kiamat adalah amal sholatnya. Adzan disyariatkan untuk mengerjakan solat dan untuk melaksanakan solat maka dibangunlah masjid-masjid agar dapat menjadi tempat berkumpul kaum muslimin mendirikan sholat. Barang siapa yang mendirikannya (mengerjakannya) berarti orang itu mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkannya berarti orang itu termasuk orang yang merugi dan diserupakan dengan orang munafik, sedangkan orang yang mengingkarinya dinyatakan sebagai kafir. Syariat Islam telah menentukan waktu-waktu solat untuk kemudian dijaga dan sebagai isyarat yang menunjukkan keutamaannya.
Analisis Lafadz :
الصلاة, menurut bahasa adalah doa, sedangkan menurut syara’ ialah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
المواقيت, bentuk jama’ lafadz al-miqat, artinya waktu yang telah ditentukan oleh Allah untuk mengerjakan ibadah sholat ini.
 زالت الشمس, matahari condong ke arah barat.
مالم تسفرالشمس, selagi matahari belum nampak menguning, yakni selagi warna putihnya masih belum dicampuri dengan warna kekuningan.
الشفق, sisa cahaya matahari yang kelihatan merah di ufuk barat.
بيضاء نقية, nampak putih bersih, tidak ada warna kuningnya serta tidak pula berubah cahayanya. Jumlah kalimat ini berkedudukan sebagai hal (kata keterangan keadaan) kepada lafadz al-’ashr, sedangkan yang menjadi rabith (penghubung)nya ialah huruf waw.
والشمس مرتقعة, sedangkan matahari masih tinggi, tidak condong ke tempat terbenamnya.
Fiqih Hadits :
1.      Penjelasan untuk mengetahui waktu-waktu solat fardu yang lima waktu.
2.      Bersegera mengerjakan solat Asar di permulaan waktunya.

Jumat, 31 Agustus 2012

Khutbah Jum'ah 13 Syawal 1433H

Amalan di Bulan Syawal
Khotbah pertama
الحمد لله ربِّ العالمين والْعاقِبَةُ لِلْمُتَّقين ولا عُدْوانَ إلَّا عَلى الظَّالمِين وأشهد أنْ لا إله إلاالله وحده لا شريك له ربَّ الْعالمين وإلَهَ المُرْسلين وقَيُّوْمَ السَّمواتِ والأَرَضِين وأشهد أن محمدا عبده ورسوله المبعوثُ بالكتابِ المُبين الفارِقِ بَيْنَ الهُدى والضَّلالِ والشَّكِّ وَالْيَقِين والصَّلاةُ والسَّلامُ عَلى حَبِْيبِنا و شَفِيْعِنا مُحمَّدٍ سَيِّدِ المُرْسلين و إمامِ المهتَدين وعلى آله وصحبه أجمعين. ٲمّابَعْد.  
فياأيها المسلمون: اِتَّقُوا اللَّهَ، اِتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم "يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. صدق الله العظيم.
Ma’asyiral muslimin jamaah Jum’at rahimakumullah,
Kini kita tengah berada di Jum'at kedua bulan Syawal 1433 H. Dua belas hari sudah Ramadhan meninggalkan kita. Tidak ada kepastian apakah di tahun mendatang kita masih bisa berjumpa dengannya, ataukah justru Allah telah memanggil kita. Kita juga tidak pernah tahu dan tidak pernah mendapat kepastian apakah ibadah-ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT atau tidak. Dua ketidakpastian inilah yang membuat sebagian salafus shalih berdoa selama enam bulan sejak Syawal hingga Rabiul Awal agar ibadahnya selama bulan Ramadhan diterima, lalu dari Rabiul Awal hingga sya'ban berdoa agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan berikutnya.
Hadirin jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Arti syawal adalah peningkatan. Demikianlah seharusnya. Pasca Ramadhan, diharapkan orang-orang yang beriman meraih derajat taqwa, menjadi muttaqin. Hingga mulai bulan Syawal kualitasnya meningkat. Kualitas ibadah, juga kualitas diri seseorang. Bukankah kemuliaan seseorang tergantung pada ketaqwaannya? Firman Allah SWT :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu ialah orang yang paling bertaqwa…
(QS. Al-Hujurat : 13)
Akan tetapi, yang kita dan kita alami lihat justru sebaliknya. Syawal menjadi bulan penurunan. Penurunan ibadah, juga penurunan kualitas diri. Diantara indikatornya yang sangat jelas adalah perayaan idul Fitri dengan musik dan tarian, dibukanya kembali tempat-tempat hiburan yang sebulan sebelumnya ditutup. Kemaksiatan seperti itu justru langsung ramai sejak hari pertama bulan Syawal. Na'udzubillah! Lalu setelah itu, masjid-masjid akan kembali sepi dari jamaah shalat lima waktu. Umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali "membudaya". Bukankah ini semua bertolak belakang dengan arti Syawal? Bukankah ini seperti mengotori kain putih yang tadinya telah dicuci dengan sebaik-baiknya? Jadilah ia kembali penuh noda. Jadilah ia kembali menghitam dan semakin memburam.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Fenomena itu sesungguhnya juga menunjukkan kepada kita, bahwa puasa orang yang demikian tidak berhasil. Tidak mampu mengantarkan seseorang meraih derajat taqwa, atau mendekatinya. Fenomena itu menjadi indikator yang mudah diketahui oleh siapa saja yang mau memperhatikan dengan seksama. Kita juga bisa menggunakan hadits Nabi sebagai kaidah yang seharusnya kita perhatikan, bahwa: "Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka celakalah ia."
Lalu bagaimana amal seorang muslim di bulan Syawal? Berangkat dari kaidah umum dari hadits Nabi tersebut, dan sekaligus sejalan dengan makna syawal, maka harus ada peningkatan di bulan ini. Dan peningkatan itu tidak lain adalah berangkat dari sikap istiqamah, menetapi agama Allah, berjalan lurus di atas ajarannya.
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka istiqamahlah kamu, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Huud : 112)
Bentuk sikap istiqamah ini dalam amal adalah dengan mengerjakannya secara kontinyu, konsisten dan terus-menerus. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi :
إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ
Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus (kontinyu) meskipun sedikit (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka amal-amal yang telah kita biasakan di bulan Ramadhan, hendaknya tetap dipertahankan selama bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya. Shalat malam yang sebelumnya kita selalu melaksanakan tarawih, dan tilawah kita yang setiap hari, di bulan Syawal ini hendaknya tidak kita tinggalkan. Infaq dan shadaqah yang telah kita lakukan juga kita pertahankan. Demikian pula nilai-nilai keimanan yang tumbuh kuat di bulan Ramadhan, kita tidak takut lapar dan sakit karena kita bergantung pada Allah selama puasa Ramadhan. Kita tidak memerlukan pengawasan siapapun untuk memastikan puasa kita berlangsung tanpa adanya hal yang membatalkan sebab kita yakin akan pengawasan Allah (ma'iyatullah). Kita juga dibiasakan berlaku ikhlas dalam puasa tanpa perlu mengumumkan puasa kita pada siapapun. Nilai keimanan yang meliputi keyakinan, ma’iyatullah, keikhlasan, dan lainnya ini hendaknya tetap ada dalam bulan Syawal dan semakin meningkat. Bukan menipis tiba-tiba lalu hilang seketika!
Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah,
Memang tidak banyak amal khusus di bulan Syawal dibandingkan bulan-bulan lainnya. Akan tetapi, Allah telah memberikan kesempatan berupa satu amal khusus di bulan ini yaitu puasa Syawal. Ini juga bisa dimaknai sebagai alat dalam rangka meningkatkan ibadah dan kualitas diri kita di bulan Syawal. Dan keistimewaan puasa sunnah ini adalah, kita akan diganjar dengan pahala satu tahun jika kita mengerjakan puasa enam hari di bulan ini setelah sebulan penuh kita berpuasa Ramadhan.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun. (HR. Muslim dan Ibnu Majah)
Tentang pelaksanaannya puasa Syawal ini, Sayyid Sabiq di dalam Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa menurut pendapat Imam Ahmad, puasa Syawal boleh dilakukan secara berurutan, boleh pula tidak berurutan. Dan tidak ada keutamaan cara pertama atas cara kedua. Sedangkan menurut madzhab Syafi'i dan Hanafi, puasa Syawal lebih utama dilaksanakan secara berurutan sejak tanggal 2 Syawal hingga 7 Syawal. Lebih utama. Jadi, tidak ada madzhab yang tidak membolehkan puasa Syawal di hari selain tanggal 2 sampai 7, selama masih di bulan Syawal. Ini artinya, bagi kita yang belum melaksanakan puasa Syawal, masih ada kesempatan mengerjakannya.
Jama'ah jum'at rahimakumullah,
Kesimpulan dari khutbah ini adalah bahwa setelah kita ditempa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka bulan Syawal adalah bulan peningkatan, sebagaimana setelah lulus ujian maka siswa sekolah akan naik kelas. Selanjutnya kita harus istiqamah mempertahankan prestasi dan kemudian meningkatkannya secara kontinyu. Jika kita istiqamah, tetap melaksanakan, melanjutkan dan merealisasikan amalan bulan Ramadhan di sebelas bulan berikutnya,  maka Allah SWT menjanjikan keistimewaan yang akan kita dapat, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَااللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَاتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushilat : 30)

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah ke-dua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ. أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِِ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاًَ طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ. اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ.
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا
وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ. رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. والحمد لله رب العلمين.
عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.