Rabu, 26 Agustus 2015

Catatan Perjalanan Mudik Lebaran

Menjadi Muadzdzin, Merangkap Imam, Sekaligus Makmum

“Ayah bangun, sudah Ashar,” demikian istri pak Soleh membangunkan suaminya.
Memang saat itu terdengar adzan berkumandang dari masjid kecil di kampung. Pak Soleh yang sedang asyik tidur siang segera bangun dan bergegas mengambil air wudhu.
“Kakak sudah ke masjid?” tanya pak Soleh kepada istrinya.
“Kakak pergi ke Borobudur, ikut Om-nya.”
“Adik juga ikut?”
“Ya, tadi pergi berombongan ke Borobudur.”
Pak Soleh segera menuju ke masjid karena khawatir tertinggal takbiratul ihram sholat berjama’ah Ashar di masjid tersebut. Dan benar saja, belum sampai ke masjid sudah terdengar iqomat dari Muadzdzin yang mengumandangkan adzan tadi. Pak Soleh mempercepat langkah kakinya, dan sesampainya di masjid segera dibukanya pintu masjid yang masih tertutup rapat. Padahal biasanya pintu tersebut terbuka saat dilaksanakannya sholat berjamaah.
Ternyata, di dalam masjid pak Sholeh hanya menjumpai satu orang saja. Ya, satu orang tua yang tadi mengumandangkan adzan dan iqamah, dan sekarang sedang bersiap melaksanakan sholat Ashar sebagai Imam dan sekaligus merangkap sebagai makmum seandainya pak Soleh tidak datang.
---o0o---

Fenomena tersebut tentu seharusnya membuat orang-orang beriman merasa prihatin. Kejadian tersebut merupakan kisah nyata, bahkan penulis sendiripun pernah mengalaminya, betul-betul menjadi Muadzin yang merangkap sebagai Imam dan sekaligus sebagai Makmum, bahkan tanpa kehadiran pak Soleh.
Di tengah kesibukan bersilaturahmi, saling berkunjung ke rumah saudara dan tetangga sebagai tradisi rutin di Hari Raya Idul Fitri, terkadang sebagian besar dari kita lalai melaksanakan yang lebih wajib dan lebih utama, yaitu Sholat Fardhu Berjama’ah di Masjid. Sejatinya, kewajiban sholat fardhu berjamaah di masjid dan kegiatan silaturahmi tidak perlu dipertentangkan, mana yang lebih utama dan harus didahulukan. Dua-duanya merupakan ibadah yang yang diperintahkan dalam agama Islam dan keduanya bisa dilaksanakan sejalan dan justru saling menguatkan. Dengan memelihara sholat fardhu berjama’ah di masjid, hubungan persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah) insya Allah pasti akan terjalin kuat, sebaliknya dengan saling berkunjung juga bisa menjadi sarana untuk saling mengingatkan saat waktu sholat tiba. Sekali lagi, seharusnya kedua macam ibadah tersebut bisa dilaksanakan bersamaan dan saling menguatkan.

Kewajiban Menjaga Silaturrahim
Tidak bisa dipungkiri, menjaga silaturahmi merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan dalam agama Islam. Dan yang merupakan kewajiban adalah menyambung tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab dan inilah yang kita diwajibkan untuk menjaga hubungan baik dengan mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Q.S. Ar-Ra’d 13:25,

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

"Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)."
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ

"Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: "Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya." (Muttafaqun 'alaihi)
Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

"Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus (memutus tali silaturahmi)". [Mutafaqun 'alaihi].
Memutus tali silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan dengan orang tua, kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya. Oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para sahabat menjawab: ”Mau, ya Rasulullah,” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”.
Demikianlah, betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan setelah dosa syirik kepada Allah Ta'ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam shahîhain, dari 'Abdullah bin 'Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

Termasuk perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang tuanya,” maka para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang menghina kedua orang tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Ya, seseorang menghina bapak orang lain, lalu orang lain ini membalas menghina bapaknya. Dan seseorang menghina ibu orang lain, lalu orang lain ini membalas dengan menghina ibunya”.
Marilah kita melihat diri kita masing-masing, sanak keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan kewajiban atas mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita berlemah lembut terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan mereka? Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling mengunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar meringankan yang mereka butuhkan?
Ada sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah merawatnya kecuali dengan pandangan yang menghinakan. Dia memuliakan istrinya, tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati teman-temannya, akan tetapi menjauhi bapaknya. Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia sedang duduk di atas bara api. Dia berat apabila harus bersama kedua orang tuanya. Meski hanya sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia tidak bertutur kata dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh jika perbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.
Ada pula manusia yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatanya sebagai keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang sepantasnya diberikan sebagai keluarga. Dia tidak mau bertegur sapa dan melakukan perbuatan yang bisa menjalin hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia tidak mau menggunakan hartanya untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba kecukupan, sedangkan sanak keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau menyambung hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu termasuk orang-orang yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam berusaha, sedangkan ia mampu untuk menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mau menafkahinya.
Para ahlul-'ilmi telah berkata, setiap orang yang mempunyai hubungan waris dengan orang lain, maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada mereka apabila orang lain itu membutuhkan atau lemah dalam mencari penghasilan, sedangkan ia dalam keadaan mampu. Yaitu sebagaimana yang dilakukan seorang ayah untuk memberikan nafkah. Maka barang siapa yang bakhil maka ia berdosa dan akan dihisab pada hari Kiamat.
Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon ampun kepada Allah Ta'ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang faedah dan keutamaan menyambung tali silaturahmi,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

"Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi." (Muttafaqun 'alaihi)

Kewajiban Sholat Fardhu Berjama’ah di Masjid
Terlepas dari ikhtilaf ulama apakah fardhu ‘ain bagi laki-laki hukumnya shalat  berjamaah di masjid atau hukumnya sunnah muakkadah, berikut ini dalil tentang perintah dan keutamaan sholat fardhu berjamaah di masjid.
Allah Ta’ala berfirman,

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43)

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

، فلا بد لقوله { مع الراكعين } من فائدة أخرى وليست إلا فعلها مع جماعة المصلين والمعية تفيد ذلك

“makna firman Allah “ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’, faidahnya yaitu tidaklah dilakukan kecuali bersama jamaah yang shalat dan bersama-sama.”
Dalam keadaan perang berkecamuk tetap diperintahkan sholat berjamaah, apalagi dalam keadaan aman tentram. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan  satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.” (An-Nisa’ 102)
Orang buta pun tetap diperintahkan sholat berjamaah di masjid, apalagi yang sehat dan bisa melihat. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata,

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ

“Seorang buta pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan keringanan kepadanya. Ketika orang itu beranjak pulang, beliau kembali bertanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)?” laki-laki itu menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).”[4]
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bila ada udzur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

Shalat yang dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah-rumah mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.
Banyak kompromi hadits mengenai perbedaan jumlah bilangan ini. Salah satunya adalah “mafhum adad” yaitu penyebutan bilangan tidak membatasi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ

Barang siapa shalat isya dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Barang siapa shalat isya dan subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat semalam penuh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).
Khusus bagi yang mengaku mazhab Syafi’i (mayoritas di Indonesia), maka Imam Asy Syafi’i  rahimahullah berkata,

وأما الجماعة فلا ارخص في تركها إلا من عذر

Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.

Demikianlah beberapa dalil tentang diperintahkannya memelihara tali silaturahmi dan sholat fardhu berjamaah di masjid, keduanya merupakan ibadah yang utama. Semoga kita diberi taufik dan hidayah serta diberi kekuatan dan kesabaran oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk dapat melaksanakan keduanya.

Sumber : almanhaj.or.id & eramuslim.com

Minggu, 05 Juli 2015

Bulan Ramadhan Bulan Al-Qur'an

Sudah sering kita mendengar bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang istemewa. Di dalam bulan Ramadhan terkandung keistimewaan-keistimewaan dan ia mempunyai banyak nama sesuai keistimewaannya tersebut.
Bulan Ramadhan disebut bulan puasa (syahru shiyam) karena diwajibkannya berpuasa selama sebulan penuh. Di bulan yang lain tidak disyariatkan untuk berpuasa sebulan penuh. Nabi SAW memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban, tetapi tidak sebulan penuh. Hanya di bulan Ramadhan saja yang disyariatkan berpuasa sebulan penuh.
Bulan Ramadhan disebut juga bulan sedekah. Bersedekah dianjurkan di bulan apa saja, tetapi lebih dianjurkan lagi di bulan Ramadhan. Nabi SAW adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi ketika bulan Ramadhan. Dikatakan kedermawanan beliau di bulan Ramadhan melebihi angin yang berhembus.
Bulan Ramadhan dinamakan pula bulan kesabaran. Melalui diwajibkannya berpuasa, kita dilatih untuk bersabar, bersabar menahan haus dan lapar, bersabar menjaga lisan, bersabar menunggu waktu berbuka. Kedudukan sabar sangat penting dalam keimanan kita, sampai-sampai Sahabat Ali ra berkata: “Kedudukan sabar dalam iman seperti kepala pada badan.” Sebagaimana badan tidak bisa hidup tanpa kepala, demikian juga iman tidak bisa bertahan tanpa sabar.
Masih banyak lagi nama-nama bulan Ramadhan lainnya sesuai dengan keistimewaannya.
Dan yang akan kita bahas kali ini, bulan Ramadhan dinamakan sebagi bulan Al-Qur’an (Syahrul Qur’an). Kenapa? Ada yang tahu?
Setidaknya ada dua alasan kenapa bulan Ramadhan dinamakan bulan Al-Qur’an:

1. Pada bulan tersebut Al-Qur’an diturunkan
Benarkah Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan? Bagaimana diturunkannya? Bukankah Al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur, ada ayat yang turun di bulan Ramadhan, ada yang diwahyukan di bulan Syawal, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah,Muharam, Safar, dan seterusnya...
Mari kita lihat Q.S. Al-Baqarah : 185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

 Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)...” (QS.  Al Baqarah [2] : 185)

Dan Q.S. Al-Qadr : 1-5

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada Lailatul Qadr. Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar Ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur urusan. Malam itu (penuh) Salaam sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadr [97] : 1-5).

Di dalam tafsir surat tersebut di jelaskan bahwa Allah SWT menurunkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, tepatnya pada malam qadar (malam kemuliaan). Yaitu Al-Qur’an diturunkan pada malam tersebut secara sekaligus dari tempatnya di Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia.
Ibnu ‘Abbas ra berkata : “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam bulan Ramadhan, yaitu pada malam kemuliaan dan malam yang diberkahi secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda.”

2. Pada bulan tersebut Malikat Jibril mengecek (murojaah) hafalan Al-Qur’an pada Nabi SAW
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas ra :

كَانَ رَسُوْلُ اللّٰهِ -صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -اُجُوْدَ النَّاسَ وَكَانَ اُجُوْدَ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُجُوْدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau bertemu malaikat Jibril. Malaikat Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus”. (HR. Bukhari, no.6).

Pertanyaannya bagi kita adalah, bagaimana menyikapi keistimewaan bulan Ramadhan sebagai bulan Al-Qur’an? Apakah dengan banyak-banyak membeli mushaf Al-Qur’an, ramai-ramai memborongnya? Ataukan dengan mengelap dan menggosok mushaf Al-Qur’an yang ada di rumah kita, seperti memelihara jimat?
Ulama menjelaskan beberapa cara dalam menyikapi dan mengisi keistimewaan bulan Ramadhan sebagai bulan Al-Qur’an :

1. Mempelajari dan memperbaiki bacaan Al-Qur’an
Saya yakin kita semua, bahkan anak-anak kita yang masih di bangku sekolah dasar pun sudah bisa dan pandai membaca Al-Qur’an. Tapi apabila masih juga ada yang belum bisa atau masih terbata-bata membacanya, jangan patah semangat, bulan Ramadhan adalah saat yang tepat untuk belajar membaca Al-Qur’an dan memperbaiki bacaanya. Tidak ada kata terlambat untuk mencari ilmu, ia merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam, sejak dalam buaian sampai masuk liang lahat. Mari kita tingkatkan kemampuan kita dalam membaca Al-Qur’an, jangan sampai kita malu di hadapan Allah SWT, karena kita begitu fasih menguasai ilmu dunia tetapi membaca Al-Qur’an saja tidak bisa atau masih terbata-bata.

2. Memperbanyak membaca dan menghafal Al-Qur’an
Kalau bacaan sudah baik, makhraj dan tajwidnya sudah benar, maka bulan Ramadhan ini saatnya memperbanyak membaca Al-Qur’an. Para Sahabat dan Salafush Sholih, pasti kita sudah pernah mendengarnya, mereka ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an seminggu sekali, ada yang tiga hari sekali, dan seterusnya. Konon pada bulan Ramadhan Imam Malik tidak mengajar karena beliau berkonsentrasi untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an.
Bagaimana dengan kita? Apa target kita di bulan Ramadhan ini? Khatam sekali, dua kali atau tiga kali? Lalu bagaimana dengan hafalan Al-Qur’an kita?
Nabi SAW bersabda, “Orang yang tidak mempunyai hafalan Al Quran sedikitpun adalah seperti rumah kumuh yang mau runtuh.” (Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Abbas).

3. Mentadabburi makna dan kandungan Al-Qur’an supaya bisa diamalkan
Mentadabburi Al-Qur’an dengan membaca tafsirnya, atau setidak-tidaknya dengan membaca terjemahnya. Sudah pernahkah kita membaca terjemah Al-Qur’an sampai tuntas? Atau jangan-jangan kita tidak mempunyai Al-Qur’an terjemah di rumah.

Keistimewaan membaca, menghafal, dan mengamalkan Al-Qur’an disebutkan dalam hadits :

1. Dari  Buraidah Al Aslami ra, ia berkata bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Pada hari kiamat nanti, Al Qur’an akan menemui shohibnya (pembaca dan penghafalnya) ketika mereka itu keluar dari kuburnya. Al Qur’an akan berwujud seseorang dan ia bertanya kepada penghafalnya: “Apakah anda mengenalku?”. Penghafal tadi menjawab; “saya tidak mengenal kamu.” Al Qur’an berkata; “saya adalah kawanmu, Al Qur’an yang membuatmu kehausan di tengah hari yang panas dan membuatmu tidak tidur pada malam hari. Sesungguhnya setiap pedagang akan mendapat keuntungan di belakang dagangannya dan kamu pada hari ini di belakang semua dagangan. Maka penghafal Al Qur’an tadi diberi kekuasaan di tangan kanannya dan diberi kekekalan ditangan kirinya, serta di atas kepalanya dipasang mahkota perkasa. Sedang kedua orang tuanya diberi dua pakaian baru lagi bagus yang harganya tidak dapat di bayar oleh penghuni dunia keseluruhannya. Kedua orang tua itu lalu bertanya: “kenapa kami di beri dengan pakaian begini?”. Kemudian di jawab, “kerana anakmu hafal Al Qur’an. “Kemudian kepada penghafal Al Quran tadi di perintahkan, “bacalah dan naiklah ketingkat-tingkat syurga dan kamar-kamarnya.” Maka ia pun terus naik selagi ia tetap membaca, baik bacaan itu cepat atau perlahan (tartil).” (Diriwayatkan oleh Ahmad)

2. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikanlah mahkota dari cahaya pada hari kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami dipakaikan jubah ini: dijawab: “Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur’an” (Diriwayatkan oleh Al Hakim)

3. Dari Anas ra, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang terdiri dari manusia.” Kemudian Anas berkata lagi, lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah. Baginda menjawab: “Ia itu ahli Qur’an (orang yang membaca atau menghafal Al- Qur’an dan mengamalkan isinya). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah.