Pertama :
Puasanya orang umum (’awam), yaitu puasa
yang dilakukan hanya dengan tujuan untuk menahan kemauan perut dan kelamin
untuk mendatangi nafsu syahwat (makan, minum dan seksual). Puasa yang dilakukan
sekedar mengerti bahwa dirinya saat itu sedang diwajibkan berpuasa namun tidak
pernah mengerti, untuk apa puasa itu diwajibkan.
Rasulullah SAW
bersabda :
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ ِصيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطْشُ .
“Banyak dari orang berpuasa,
tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga”.
Inilah puasanya orang kebanyakan atau dikatakan juga
sebagai puasanya orang bodoh, hanya menjalankan kewajiban puasa itu secara
syariat saja. Hanya sekedar
memenuhi kewajiban tanpa tahu hikmah dan rahasia di balik kewajiban tersebut.
Namun, meski demikian, asal ibadah puasa itu dapat dilaksanakan dengan dasar
hati yang ikhlas dan tanpa dicampuri sifat-sifat yang dapat membatalkan pahala
puasa, maka tetap saja akan mendapatkan pahala dari puasa yang dilakukan itu.
Hanya saja barangkali sulit bisa menggapai “rahasia amal” sebagai buah ibadah
yang disembunyikan di balik kewajiban tersebut.
Kedua :
Puasanya orang khusus (khawwas) adalah
puasanya orang-orang shaleh, yakni puasa dengan menahan seluruh anggota tubuh
dari perbuatan maksiat dan dosa. Mereka tidak hanya menahan kebutuhan perut dan
kelamin saja, namun juga mata, telinga, pikiran dan anggota badan yang lainnya.
Puasa pada tingkat ini hasilnya tidak bisa sempurna kecuali dengan membiasakan
lima hal :
1.
Menundukkan pandangan mata dari segala sesuatu yang dilarang agama.
2.
Menjaga lisan dari pembicaraan buruk, seperti membicarakan kejelekan orang
lain, berbohong, mengadu domba, dan sumpah palsu, sebagaimana yang telah
ditegaskan Baginda Nabi SAW :
خَمْسَةُ أَشْيَاءَ تُحِيْطُ الصَّوْمَ . أَىْ
تُبْطِلُ ثَوَابَهُ . اَلْكَذِبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْيَمِيْنُ
اَلْغَمُوْسُ وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ
“Lima
perkara yang dapat membatalkan (pahala) puasa: berkata bohong, membicarakan
kejelekan orang lain, mengadu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat”.
3.
Menahan telinga dari mendengarkan apa-apa
yang dilarang agama.
4. Menahan seluruh anggota badan dari perbuatan yang makruh dan membatasi
perut di saat berbuka dari rezeki yang syubhat. Hal itu harus dilakukan, karena
yang dimaksud dengan puasa adalah menahan syahwat dari makanan halal, maka
apalah artinya apabila puasa itu dibuka dengan rizki yang haram. Maka orang
yang berbuka dengan rizki yang haram sama halnya dengan membangun istana tetapi
dengan menghancurkan kota.
5. Berbuka dengan tidak terlalu kenyang meski dengan rizki yang halal, hal
itu dilakukan supaya perut tidak terlalu penuh dengan makanan.
Puasa pada
tingkat kedua ini dilakukan oleh orang-orang yang telah mengerti tujuan amal
ibadah yang sedang dikerjakan. Artinya dengan kewajiban puasa yang sedang
dilakukan itu, di samping mereka mengharapkan pahala yang sudah dijanjikan,
juga mengharapkan derajat tinggi di sisi Allah, yakni bagaimana mereka dapat
mencintai dan dicintai-Nya. Mencintai (‘asyiq) dalam arti mampu
merasakan kenikmatan ibadah dan munajat, hal itu bisa terjadi, karena saat itu
mereka merasa sedang dekat dengan yang dicintai. Sedangkan dicintai (masyuq)
artinya ridla kepada segala ketetapan dan takdir-Nya, itu disebabkan karena
yang sedang berkehendak dengan segala ketetapan dan takdir itu adalah Dzat yang
mencintainya.
Ketiga :
Puasa yang
tertinggi tingkatannya adalah puasanya orang khususnya khusus (khawwas
al-khawwas), yaitu puasa hati, bagaimana dengan puasa itu mereka dapat
mengendalikan dan menahan perasaaan serta kecenderungan hati dari cita-cita
duniawi, dan dari selain Allah. Orang yang berpuasa pada tingkat ketiga ini,
apabila di dalam puasanya masih sempat berpikir urusan selain Allah, maka dia
merasa tidak sempurna puasanya bahkan batal makna puasanya. Inilah tingkat
puasanya para Nabi dan para wali. Puasa pada tingkat ini hakekatnya semata-mata
hanya untuk menghadapkan wajah kepada Allah dan memalingkan diri dari
selain-Nya.
Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Sumber : Tausiah KH. Aep Saefudin S.Ag
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.