Senin, 16 Januari 2012

Ibanatul Ahkam, Des_2011

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab : Nawaqidul Wudlu (3)
Pemateri : K.H. Aep Saefudin SAG
 
وَعَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ؟ فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم "لَا إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ )  أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان  وَقَالَ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ: هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَةَ
Hadits ke-66
Dari Thaliq Ibnu Ali Radliyallaahu 'anhu, beliau berkata: ”Seorang lelaki bertanya: ”Aku telah menyentuh zakarku,” atau dia (Thaliq) sendiri yang bertanya: ”Seorang lelaki menyentuh kemaluannya dalam solat. Apakah dia harus berwudlu lagi?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: ” Tidak, sesungguhnya ia hanya sepotong daging dari (tubuh)mu.” (Dikeluarkan oleh Imam Lima dan dinilai sahih oleh Ibnu Hibban. Ibnu al-Madini berkata: ”Hadis ini lebih baik daripada hadis Busrah.”)
Makna Hadits :
Sholat adalah munajat di hadapan Allah Yang Maha Tinggi, maka syariat mensyaratkan orang yang sholat berada dalam keadaan suci supaya dia dibenarkan untuk melakukan munajat yang mulia itu. Oleh karena menyentuh aurat bisa membangkitkan syahwat dan perbuatan ini bisa mengakibatkan keluarnya najis, maka perbuatan ini pada permulaan kedatangan Islam tidak dianggap membatalkan wudlu sebagai rahmat kepada umat. Namun setelah hukum Islam mantap, syariat menjadikan masalah menyentuh kemaluan membatalkan wudlu sebagai tindakan berhati-hati. Akan tetapi ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa itu tidak membatalkan wudlu secara mutlak berlandaskan kepada hadis Thaliq dan berpegang kepada hukum asalnya.
Fiqih Hadits :
Memegang atau menyentuh kemaluan tanpa penghalang tidak membatalkan wudlu. Inilah pendapat mazhab Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Ahmad, Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat: ”Jika memegang atau menyentuh kemaluan dilakukan dengan bagian dalam telapak tangan atau dengan hujung jari-jemari tanpa memakai penghalang, maka itu membatalkan wudlu, tetapi jika menyentuh atau memegangnya dilakukan dengan bagian luar telapak tangan, maka itu tidak membatalkan wudlu.” Mereka menjawab hadits ini bahwa hadis ini telah di-mansukh oleh hadis Busrah yang akan disebut oleh Ibn Hajar penulis kitab Bulughul Maram berikut ini,

ِعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ )  أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّان َ وَقَالَ اَلْبُخَارِيُّ هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا اَلْبَابِ
Hadits ke-67
Dari Busrah binti Shafwan Radliyallaahu 'anhaa bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ”Barang siapa yang memegang kemaluannya, maka hendaklah dia berwudlu.” (Dikeluarkan oleh Imam Lima dan dinilai sahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Imam Bukhari berkata: ”Hadis ini paling sahih dalam bab ini.”)
Makna Hadits :
Berhati-hati dalam agama merupakan sikap yang harus diamalkan untuk memelihara akidah dan menjaga ibadah supaya tidak bercampur dengan unsur-unsur yang bisa membatalkannya. Oleh itu, syariat melarang dari memegang kemaluan supaya dengan demikian nafsu seseorang tidak bergelora dan menghindarkan dirinya dari kotoran.
Fiqih Hadits :
Menyentuh kemaluan tanpa penghalang dengan bagian dalam telapak tangan atau dengan ujung jari-jemari membatalkan wudlu. Inilah mazhab Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Malik.
 
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذْيٌ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ )  أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَ ه وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ
Hadits ke-68
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhaa bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang muntah, atau mengeluarkan darah dari hidung, atau mengeluarkan dahak, atau mengeluarkan madzi, maka hendaklah dia meninggalkan tempat sholatnya lalu berwudlu, kemudian hendaklah meneruskan sholatnya dengan syarat dia selama itu tidak berbicara.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, tapi dianggap lemah oleh Imam Ahmad dan lain-lain)
Makna Hadits :
’Aisyah Radliyallaahu 'anhaa menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberitahu : barang siapa yang muntah, keluar darah dari hidung (mimisan), mengeluarkan dahak atau keluar madzi ketika sedang mengerjakan solat, maka hendaklah orang itu kembali mengambil air wudlu. Apa yang dinyatakan oleh hadis ini bahwa dibolehkan meneruskan solat sesudah keluar meninggalkan tempat solat dan mengulangi wudlu tanpa bercakap-cakap masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa seseorang mesti melanjutkan sholatnya dan sholatnya tidak batal dengan syarat orang itu tidak mengerjakan perkara-perkara yang membatalkan sholat seperti yang ditegaskan oleh hadits meneruskan sabdanya: “Tidak bercakap-cakap.” Imam Syafi’i di dalam pendapatnya yang terakhir dan Imam Ahmad mengatakan bahwa hadats tetap membatalkan solat karena berlandaskan kepada hadis Thaliq Ibnu Ali, bahwa:
 “Jika seseorang di antara kamu kentut ketika sedang sholat, maka hendaklah dia keluar meninggalkan sholatnya dan berwudlu, lalu mengulangi kembali solatnya.”
Fiqih Hadits :
Pertama, wudlu menjadi batal karena muntah besar, muntah kecil yang keluar daripada mulut, keluar darah dari hidung dan mengeluarkan madzi dari kemaluan. Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki berpendapat bahwa muntah besar dan muntah kecil tidak membatalkan wudlu. Sedangkan madzhab Hanafi mengatakan bahwa muntah, baik besar maupun kecil jika memenuhi mulut membatalkan wudlu, sedangkan jika tidak memenuhi mulut tidak membatalkan wuduk. Adapun Imam Ahmad membedakan antara muntah besar dengan muntah kecil, beliau berkata: “Mengeluarkan muntah kecil tidak membatalkan wudlu dan begitu pula muntah yang sedikit. Tetapi jika muntah itu banyak, maka ia membatalkan wudlu.”
Darah yang keluar dari badan secara mutlak menurut Imam Ahmad membatalkan wudlu. Imam Abu Hanifah juga mengatakan bahwa ia membatalkan wudlu dengan syarat darah itu mengalir. Mazhab Maliki mengatakan bahwa keluarnya darah dari tubuh tidak membatalkan wudlu. Begitu pula jika ia keluar dari qubul dan dubur dengan syarat tidak bercampur dengan air kencing dan kotoran.
Imam Syafi’i membedakan mana darah yang membatalkan wudlu dan sebaliknya. Sehubungan dengan hal itu, beliau berkata: “Darah yang keluar bukan dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudlu. Namun jika darah keluar dari qubul dan dubur, maka ia membatalkan wudlu.” Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wudlu menjadi batal jika seseorang mengeluarkan madzi.
Kedua, sholat menjadi batal karena berhadats menurut pendapat jumhur ulama. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jika hadats terpaksa dikeluarkan dan tidak sengaja mengeluarkannya, maka sholatnya tidak batal dengan syarat seseorang itu tidak melakukan perbuatan yang membatalkan sholatnya, karena berdasarkan sabda Rasulullah : “Janganlah dia bercakap-cakap.” Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hadats mewajibkan sholat diulangi kembali. Pendapat ini berlandaskan kepada hadits yang mengatakan:
 “Jika seseorang di antara kamu kentut ketika sedang sholat, maka hendaklah dia keluar meninggalkan sholatnya dan berwudlu, lalu mengulangi kembali  sholatnya.”

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya

Baca juga artikel terkait :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.