Ada
satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia,
tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya. Dari Jabir RA,
Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh
petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya
Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian
ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam
bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan
pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih
besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika
mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes.
Hati mereka sedih. Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan
Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang
berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah
bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu
setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya
pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih
harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya
membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah
menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan
Allah Ta’ala.
Mereka
menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka
sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka
belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu
lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu
hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam
khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa
karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh
hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar
menerima amalan tersebut.”
Salah
seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang
kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria
dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu
benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah
hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan
kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”
Kekhawatiran
serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina
Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali
bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya
agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang
ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Ucapan
Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah
gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat,
dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita
‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai
orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”
Imam
Mu'alla bin Al-Fadhl RA berkata, "Dahulu para ulama senantiasa berdoa
kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian
mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama
Ramadhan)."
Wajar
saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali
berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya,
beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang
pahala untuk bekal di akhirat.
Jika
kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka
menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka
memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di
antara kita dan mereka.
Bagaimana
dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan
meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut
kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang
seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah
disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat
kue, dan lain-lain.
Padahal
di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk
mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk
pesta pora di hari Lebaran.
Tapi
apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan?
Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu
Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini
adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.