Idul
Fithri adalah anugerah Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW, tak salah bila
disambut dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah
memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah.
Lalu beliau berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua
hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah
menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr
(‘Idul Adha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”
Hanya
saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam
berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun,
kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk
menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. Bukankan kita sudah dilatih
untuk menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan
Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan
qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas
karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati
manusia.” (HR Ibnu Majah).
Marilah
kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang
bersahaja.
Pagi
itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid
Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya,
melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa,
anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid,
keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci
tersebut.
Menurut
hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis
dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat
menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja
wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR Bukhari-Muslim).
Dikatakan
oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak
perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Ibnu
Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama
Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya
‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah
itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta
menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”
Sebelum
melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu
beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan
badan kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir
kami, sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah
menyucikan apa yang tampak dari kami.”
Ada
juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas
bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya
mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang
kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling
bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).
Imam
Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan
kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal
ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus
lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan
Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar
keindahan busana saat itu).
Pada
hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa
beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur
kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya. Kemudian, beliau mengambil
beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan biasanya jumlahnya
ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam
menghentikan puasanya.
Sepanjang
perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya
mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar,
walillahilhamdu.”
Rasulullah
SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang,
seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru
melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat
salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah
lapangan di pintu timur kota Madinah.
Rasulullah
melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada
para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha
dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.
Jundab
RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari
setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi
satu tombak.”
Rasulullah
melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat
pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin
di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah
dan surah lainnya dengan keras.
Pada
rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima
kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya. Namun ada
juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat
tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua
rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam.
Lalu
bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud, “Barang
siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat sendiri.”
Abu
Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji
dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan
memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di
tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti
disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada
keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau
pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah
kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan
sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika
berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang
berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui
beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum
kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali
kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar
memperoleh keridhaan-Nya.
Saling Mendoakan
Saat
bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling mendoakan. Sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin
Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka
(Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu).’
Lalu
ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’.
Kemudian
Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku
mengucapkan: “Taqabbalallah minna wa minka.”
Lalu
Rasulullah SAW menjawab, “Ya, taqabbalallah minna wa minka.” (HR
Baihaqi). Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika
sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu
minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah
kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).
Pada
hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti
mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya.
Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar
batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir
kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).
Aisyah
RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku.
Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan
nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab
ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk
Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya. Tidak lama
setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan
berada di samping Rasulullah?’
Mendengar
hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, “Wahai Abu
Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah
hari raya kita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada
juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke
tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan
syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus;
sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu
terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus
masuk dan berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya. Tiba-tiba masuk
pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka)
mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’
Maka
Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, “Biarkanlah mereka.” Kemudian
setelah beliau lupa, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan
mereka pun pergi.
Hakikat
Kemenangan
Demikianlah,
Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti
dipertahankan.
Puasa
Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah
berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa
Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan
15 tiap bulan), puasa Asyura' (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah),
dan lain-lain.
Tarawih
memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga
bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu
Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata, "Seandainya tidak ada malam, niscaya
aku tidak ingin hidup di dunia."
Zakat
fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka
lebar pada waktu-waktu yang lain.
Karenanya,
memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan”
kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran),
akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun
yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat.
Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT
menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri
ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.
Seorang penyair Arab mengingatkan dalam
sya'irnya:
Bukanlah Hari
Raya ‘Id itu, bagi orang yang berbaju baru
Melainkan
hakikat ‘Id itu, bagi orang yang bertambah ta'atnya
Semoga
dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, kita
disampaikan Allah kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan ini dapat kita terus
pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita sehari-hari. Dan semoga kita
masih dapat dipertemukan Allah dengan Ramadhan berikutnya.
Taqabbalallahu
minna waminkum, wakullu 'aamin wa antum bikhairin.
Sumber :
majalah-alkisah.com
Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.