Kegiatan
halal-bihalal merupakan hal yang sangat umum dilakukan pasca Ramadhan.
Agenda utamanya adalah ber-shilaturrahim dan saling memaafkan. Akan
tetapi, apakah kita benar-benar meminta maaf secara tulus dan memaafkan dengan
sebenarnya? Ataukah hanya sekedar seremoni dan formalitas.
Mari
kita simak kisah dua sahabat Rasul dalam hal meminta maaf dan memaafkan.
Dikisahkan
oleh Rabi’ah bin Ka’ab bin Malik Al-Aslami, bahwa ada dua bidang tanah yang
bersebelahan, sebidang tanah milik Abu Bakar dan sebelahnya milik Rabi’ah.
Tanah itu merupakan kebun kurma yang subur. Alkisah, terdapat satu pohon kurma
yang tumbuh di perbatasan antara kedua tanah tersebut dan menjadi perselisihan
antara Abu Bakar dan Rabi’ah.
“Pohon
ini milikku, karena berada di atas tanahku,” kata Rabi’ah.
“Tidak,”
kata Abu Bakar, “dia milikku karena berada di atas tanahku,”
Keduanya
berdebat dan tidak ada yang mau mengalah. Tanpa sengaja, Abu Bakar mengucapkan
kata-kata kasar dengan suara keras. Sadar bahwa dirinya telah berlebihan, Abu
Bakar menyesal kemudian meminta maaf sembari berkata, “Rabi’ah ucapkanlah
kalimat serupa agar menjadi balasan yang setimpal bagiku!”
Tentu
Rabi’ah menolak, dia berkata, “Tidak, demi Allah, Aku tidak akan mengatakan
kepadamu kecuali perkataan yang baik.”
Abu
Bakar kecewa dan meminta Rabi’ah kembali untuk mengatakan hal serupa.
Merasa
tidak enak dengan ulahnya sendiri, Abu Bakar segera menemui Rasulullah SAW
untuk meminta tolong dan pendapat. Mereka berduapun menghadap Rasulullah hari
itu juga.
Beliau
bertanya, “Wahai Rabi’ah, ada masalh apa antara engkau dan Abu Bakar?”
Rabi’ah
kemudian menceritakan perkara yang menimpa mereka.
“Wahai
Rasulullah, tadi terjadi begini dan begitu. Lalu, Abu Bakar mengatakan kepadaku
sepatah kalimat yang dia sendiri tidak menyukainya. Maka, ia menyuruhku untuk
mengucapkan kalimat yang sama kepadanya agar menjadi balasan yang setimpal
terhadapnya. Tapi, aku tidak mau,” ungkap Rabi’ah.
Mendengar
penjelasan Rabi’ah, Rasulullah SAW tersenyum dan bersabda, “ya, sudah tepat
apa yang engkau lakukan. Jangan membalasnya dengan ucapan yang serupa. Tapi
katakanlah, ‘semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Bakar.’ ”
Lalu
Rabi’ah pun mengatakannya, “Semoga Allah emngampunimu, wahai Abu Bakar.”
Mendengar
nasehat Rasulullah SAW dan perkataan Rabi’ah, tangis Abu Bakar pecah, dia
bergegas merangkul Rabi’ah dan kembali meminta maaf. (Disarikan dari Hadits
Riwayat Ahmad). Uniknya, sengketa pohon kurma sama sekali sudah mereka lupakan.
Abu
Bakar dan Rabi’ah merupakan pribadi yang patut kita contoh. Bagaimana tidak,
seorang Abu Bakar yang begitu terkenal dengan keluhuran imannya tak segan untuk
meminta maaf ketika berbuat lalim. Bahkan, dia melakukannya segera tanpa perlu
menunggu momen Idul Fitri. Tak Cuma itu, Abu Bakar malah meminta Rabi’ah untuk membalasnya
dengan perlakuan yang setimpal.
Sikap
yang ditunjukkan Rabi’ah pun tak kalah mulia. Dia tidak ingin membalas
saudaranya dengan perkataan kasar, meskipun disuruh oleh Abu Bakar. Dia tidak
ingin melukai perasaan Abu Bakar, meskipun dia sendiri telah dilukai oleh
perkataan kasar.
Nasehat yang yang diajarkan oleh Rasulullah SAW juga sama-sama
mengandung budi pekerti yang luhur. Alih-alih membalas perkataan kasar yang
setimpal, kita malah dianjurkan untuk mendoakan mereka. Sungguh luar biasa.
Kita melihat bagaimana Islam mendidik umatnya untuk senantiasa rukun dan saling
memaafkan, tidak hanya pada saat Idul Fitri saja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.