Islam
adalah agama agung yang telah diridhai oleh Allah Azza wa Jalla untuk manusia.
Dengan rahmatNya, Allah telah menetapkan dua hari raya bagi umat ini setiap
tahunnya. Dua hari raya tersebut mengiringi dua rukun Islam yang besar. ‘Idul
Adh-ha mengiringi ibadah haji, dan ‘Idul Fithri mengiringi ibadah puasa
Ramadhan.
Karena
di dalam melakukan ibadah puasa, seorang muslim sering melakukan perkara yang
dapat mengurangi nilai puasa, maka dengan hikmahNya, Allah Azza wa Jalla
mensyari’atkan zakat fithri untuk lebih menyempurnakan puasanya. Oleh karena
itulah, sangat penting bagi kita untuk memahami hukum-hukum yang berkaitan
dengan zakat fithri.
Makna, Hikmah,
dan Hukum Zakat Fithri
Banyak
orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat fithri atau
shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits. Makna zakat
fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah yang wajib ditunaikan dengan sebab
fithri (berbuka) dari puasa Ramadhan.[1]
Rasulullah
SAW telah menjelaskan hikmah zakat fithri :
"Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa
dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang
miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat
yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu
adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah".[2]
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Sebagian
ulama beranggapan, kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil
yang mereka gunakan tidak shahih dan sharih (jelas).[3] Imam Ibnul Mundzir
rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang kewajiban zakat fithri
ini. Beliau berkata,"Telah bersepakat semua ahli ilmu yang kami menghafal
darinya bahwa shadaqah fithri wajib [4]. Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan
bahwa zakat fithri hukumnya wajib, tidak mansukh.
Siapa yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fithri?
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, kaya
atau miskin, yang mampu menunaikannya. Sehingga syarat wajib zakat fithri dua:
(1) Islam dan (2) Mampu.
Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang
merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal
ini telah diwajibkan oleh Nabi SAW:
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia
berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri
sebanyak satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua dari
kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan
sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)" [5].
Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza
wa Jalla tidaklah membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah
Azza wa Jalla berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya".[al Baqarah/2:286].
Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama
(Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan
makanan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah
untuk satu malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah
memiliki kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini :
Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, padahal
dia memiliki apa yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia memperbanyak dari api
neraka,” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “(memperbanyak) dari
bara Jahannam”- Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah
yang mencukupinya?” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah
kecukupan yang dengan itu tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda, “Seukuran
yang mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di
tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari dan
semalam” atau “semalam dan sehari". [HR Abu Dawud, no. 1629.
dishahihkan oleh Syaikh al Albani].[6]
Bagaimana Dengan Janin?
Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah
orang tuanya juga wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin
Hasan al Halabi al Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya
zakat fithri atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun
janin, menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”.[9]
Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen
Universitas Imam Muhammad bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap
muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil
atau orang tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai
mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut ibunya”.[10]
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin
rahimahullah berkata : “Yang nampak bagiku, jika kita mengatakan disukai
mengeluarkan zakat fithri bagi janin, maka zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi
janin yang telah ditiupkan ruh padanya. Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali
setelah empat bulan”.
Beliau juga berkata: “Dalil disukainya
mengeluarkan zakat fithri bagi janin, diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu
'anhu, bahwa beliau mengeluarkan zakat fithri bagi janin [11]. Jika tidak, maka
tentang hal ini tidak ada Sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tetapi wajib kita ketahui, ‘Utsman adalah salah satu dari Khulafaur-Rasyidin,
yang kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah mereka”.[12]
Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan
bagi orang tua untuk membayar zakat fithri bagi janin yang sudah berumur empat
bulan dalam kandungan, wallahu a’lam.
Suami Membayar Zakat Fithri dari Dirinya dan Orang-Orang yang Menjadi
Tanggungannya
Para ulama berbeda pendapat, apakah setiap orang
wajib membayar zakat fithri dari dirinya sendiri, sehingga seorang isteri juga
wajib membayar zakat bagi dirinya sendiri, atau seorang suami menanggung
seluruh anggota keluarganya?[13]
Pendapat Pertama.
Suami wajib membayar zakat fithri bagi dirinya
dan orang-orang yang dia tanggung. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Dengan dalil, bahwa suami wajib menanggung nafkah isteri dan keluarganya, maka
dia juga membayarkan zakat fithri untuk mereka. Juga berdasarkan hadits :
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari anak
kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang yang kamu
tanggung”. [Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no. 835].[14]
Pendapat Kedua.
Sebagian ulama (Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri,
Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin) berpendapat,
seorang isteri membayar zakat fithri sendiri, dengan dalil:
1.
Hadits Ibnu Umar :
"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia
berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat
fithri sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari
kalangan umat Islam” [HR. Bukhari no.1503; Muslim no.984]
Ini menunjukkan, bahwa zakat fithri merupakan
kewajiban tiap-tiap orang pada dirinya. Dan dalam hadits ini disebutkan
“wanita”, sehingga dia wajib membayar zakat fithri bagi dirinya, baik sudah
bersuami ataupun belum bersuami.
Tetapi pendapat ini dibantah : Bahwa disebutkan
“wanita”, tidak berarti dia wajib membayar zakat fithrah bagi dirinya. Karena
di dalam hadits itu, juga disebutkan budak dan anak kecil. Dalam masalah ini
sudah dimaklumi, jika keduanya ditanggung oleh tuannya dan orang tuanya.
Demikian juga para sahabat membayar zakat fithri untuk janin di dalam perut
ibunya. Apalagi sudah ada hadits yang menjelaskan, bahwa suami membayar zakat
fithri bagi orang-orang yang dia tanggung.
2.
Yang asal, kewajiban ibadah itu atas tiap-tiap orang, tidak ditanggung
orang lain. Allah berfirman:
"Seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain". [al An’aam/6 : 164].
Maka seandainya zakat fithri wajib atas diri
seseorang dan orang-orang yang dia tanggung, berarti seorang yang memikul beban
(berdosa) akan memikul beban (dosa) orang lain.
Tetapi pendapat ini dibantah : Ini seperti
seorang suami yang menanggung nafkah orang-orang yang dia tanggung. Dan setelah
hadits yang memberitakan hal itu sah, maka wajib diterima, tidak boleh
dipertentangkan dengan ayat al Qur`an ini, atau yang lainnya. Dari keterangan
ini jelaslah, bahwa pendapat jumhur lebih kuat. Wallahu a’lam.
Bentuk dan Ukuran Zakat Fithri
Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah
keumuman makanan pokok di daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak
terbatas pada jenis makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang paling benar dari
para ulama, insya Allah. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah.
Beliau rahimahullah ditanya tentang zakat fithri :
“Apakah dikeluarkan dalam bentuk kurma kering, anggur kering, bur (sejenis
gandum), sya’ir (sejenis gandum), atau tepung?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab:
“Al-Hamdulillah. Jika penduduk suatu kota menggunakan salah satu dari jenis ini
sebagai makanan pokok, maka tidak diragukan, mereka boleh mengeluarkan zakat
fithri dari (jenis) makanan pokok (tersebut). Bolehkah mereka mengeluarkan
makanan pokok dari selain itu? Seperti jika makanan pokok mereka padi dan dukhn
(sejenis gandum), apakah mereka wajib mengeluarkan hinthah (sejenis gandum)
atau sya’ir (sejenis gandum), ataukah cukup bagi mereka (mengeluarkan) padi,
dukhn, atau semacamnya? (Dalam permasalahan ini), telah masyhur dikenal
terjadinya perselisihan, dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad :
Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan jenis)
yang disebutkan di dalam hadits.
Kedua. Mengeluarkan makanan pokoknya walaupun tidak termasuk dari jenis-jenis
ini (yang disebutkan di dalam hadits). Ini merupakan pendapat mayoritas ulama
–seperti Imam Syafi’i dan lainnya- dan inilah yang lebih benar dari
pendapat-pendapat (ulama). Karena yang asal, dalam semua shadaqah adalah,
diwajibkan untuk menolong orang-orang miskin, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu. –al Maidah/5
ayat 89-".[15]
Ukuran zakat fithri setiap orang adalah satu sha’
kurma kering, atau anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok
yang menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.
"Dari Abu Sa’id Radhiyalahu 'anhu, dia
berkata : “Kami dahulu di zaman Rasulullah pada hari fithri mengeluarkan
satu sha’ makanan”. Abu Sa’id berkata, "Makanan kami dahulu adalah gandum,
anggur kering, keju, dan kurma kering.” [HR Bukhari, no. 1510]
Para ulama berbeda pendapat tentang hinthah
[16], apakah satu sha’ seperti lainnya, atau setengah sha’? Dan
pendapat yang benar adalah yang kedua, yaitu setengah sha'.
"Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri berkata : Dua hari
sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah
kepada orang banyak, Beliau bersabda: “Tunaikan satu sha’ burr atau qumh
(gandum jenis yang bagus) untuk dua orang, atau satu sha’ kurma kering, atau
satu sha’ sya’ir (gandum jenis biasa), atas setiap satu orang merdeka, budak, anak
kecil, dan orang tua "[17].
Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk
Madinah zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud.
Satu mud adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat,
maka ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk menakar
ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat dengan perkiraan
dan perhitungan. Ada
beberapa keterangan mengenai masalah ini, sebagai berikut:
1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih
Fiqih Sunnah, 2/83).
2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh,
74; Taudhihul Ahkam, 3/74).
3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus
(Syarhul Mumti’, 6/176).
Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, "Para ulama telah mencoba dengan gandum yang bagus. Mereka
telah melakukan penelitian secara sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu
sha’ mencapai 2 kg 40 gr gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda
ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan menambah
takarannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh) menyedikitkan”. [Syarhul
Mumti’, 6/176-177].
Dari penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al
’Utsaimin ini selayaknya dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita
-umumnya- adalah padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan beras
sebanyak 2 ½ kg, wallahu a’lam.
Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam
wujud makanan pokok ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena
itu, tidak boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun
dengan uang!
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Kebanyakan
ahli fiqih tidak membolehkan mengeluarkan dengan nilai, tetapi Abu Hanifah membolehkannya”.
[Syarah Muslim].
Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat
Abu Hanifah rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu
lupa” - Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu telah
dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah berhenti pada zhahir
nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan dengan makna lainnya”. [al
Wajiiz, 230-231].[18]
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi
berkata,"Zakat fithri wajib dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok,
Pen), dan tidak menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa).
Karena, tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan walaupun
dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang” [19].
Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri
Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam
beberapa macam:
1. Waktu wajib. Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi
dilahirkan, atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar
zakat fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar
zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya adalah,
tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun Hanafiyah
berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar 'Idul Fithri.[20]
2. Waktu afdhal. Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar
zakat fithri, yaitu fajar hari 'Id, dengan kesepakatan empat madzhab.[21]
3. Waktu boleh. Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi
membayar zakat fithri.
Tentang waktu terakhirnya, para ulama
bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id, dianggap
tidak berniali sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits
:
"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan
orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai
makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id),
maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah
shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah". [HR
Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].
Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Ada
beberapa pendapat: [22]
- Abu Hanifah rahimahullah berpendapat: "Boleh maju setahun atau 2 tahun"
- Malik rahimahullah berpendapat : "Tidak boleh maju".
- Syafi’iyah berpendapat : "Boleh maju sejak awal bulan
Ramadhan".
- Hanabilah : "Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id".
Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi,
karena sesuai dengan perbuatan Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma, sedangkan
beliau adalah termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari
Nabi SAW . Nafi’ berkata:
"Dan Ibnu 'Umar biasa memberikan zakat
fithri kepada orang-orang yang menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua
hari sebelum fithri" [HR Bukhari no.1511; Muslim no.986].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun
X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
Senin, 8 Agustus 2011 23:22:59 WIB
Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Sumber : kisahrasulnabisahabat.blogspot.com
Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat