Alhamdulillah, pelaksanaan pemotongan hewan kurban di Masjid Bintang Raya, sampai dengan pengepakan, dan pendistribusiannya, semua berjalan lancar. Kepada rekan-rekan yang sudah membantu dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut kami ucapkan terimakasih, jazaakumullah khair. Semoga kurban kita dan semua amal ibadah kita diterima Allah SWT. Aamiiin...
Blog informasi kajian Islam dan kegiatan di Masjid Bintang Raya dan TK Islam Terpadu Bintang Raya, Jalan Cicalengka-Majalaya KM 4.2, Cikancung, Bandung.
Kamis, 17 Oktober 2013
Selasa, 15 Oktober 2013
Khutbah Idul Adha 1434 H
Intisari Khutbah Idul Adha di Masjid Bintang Raya
Khotib : KH. Aep Saefudin S.Ag
- Merugilah orang yang tidak mengisi waktunya dengan amal shaleh
- Merugi juga orang yang tidak tahu hakekat dan tujuan hidup
- Hidup pada hakekatnya adalah perjuangan, memperjuangkan aqidah dan keyakinan yg benar, yaitu Aqidah Islam.
- Memperjuangkan Aqidah Islam bukan berarti untuk orang Islam semata, tetapi untuk semua manusia, karena Islam adalah rahmatan lil alamin.
- Perjuangan menegakkan aqidah yang hak pasti banyak rintangannya dan diperlukan pengorbanan.
- Hendaknya mencontoh kualitas pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. dimana kecintaan kepada Allah melebihi segalanya, bahkan melebihi cinta thd anak kesayangannya dan diri sendiri.
- Berkurban pada hakekatnya adalah mengorbankan harta yg dicintainya demi kecintaan kepada Allah dan mengharap keridhaan-Nya.
- Berkurban juga mengandung aspek sosial, ketulusan berbagi dengan fakir miskin dan dhu'afa.
- Daging kurban diutamakan untuk faqir miskin, bukan sebaliknya.
- Jika kaum muslimin Indonesia yg berjumlah ratusan juta mempunyai jiwa yg rela berkorban pasti akan berdampak luar biasa bagi kesejahteraan rakyat Indonesia bahkan dunia.
Semoga bermanfaat.....
(masih dalam proses editing)
Kamis, 26 September 2013
Penggunaan "Subhanallah" & "MasyaAllah" Sering Terbalik
Ada
2 yang mengikatnya, tuntunan Quran-Sunnah & kebiasaan dalam Bahasa
Arab.
Al
Quran menuturkan: Subhanallah digunakan dalam mensucikan Allah dari hal
yang tak pantas. “Maha Suci Allah dari mempunyai anak, dari apa
yang mereka sifatkan, mereka persekutukan, dan lain-lain.” Ayat-ayat
berkomposisi ini sangatlah banyak. Juga, Subhanallah digunakan untuk
mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikkan semacam syirik
(QS 34: 40-41), dihinakannya Allah tersebab kita (QS 12: 108), dan
lain-lain.
“Dan
(ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya
kemudian Allah berfirman kepada malaikat: ”Apakah mereka ini dahulu
menyembah kamu?”.Malaikat-malaikatitu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah
pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka telah menyembah jin;
kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”.” (QS 34 Saba’: 40-41)
“Katakanlah:
“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS 12 Yusuf: 108)
Bukankah
ada juga pe-Maha Suci-an Allah dalam hal menakjubkan? Uniknya, Al Quran
menuturnya dengan kata ganti kedua (QS 3: 191), atau kata ganti ketiga
yang tak langsung menyebut asma Allah (QS 17: 1 dll). Sedangkan ia
juga terpakai pada; me-Maha Suci-kan Allah dalam menyaksikan bencana
& mengakui kezhaliman diri (QS 68: 29), menolak fitnah keji yang
menimpa saudara (QS 24: 16).
“(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.”" (QS 3 Ali Imran:109)
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS
17 Al Israa’: 1)
“Mereka
mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang dzalim”.” (QS 68 Al Qalam: 29)
“Dan
mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu:
“Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau
(Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.”" (QS 24 An
Nuur:16)
Bagaimana
dengan hadits-nya?
“Kami
apabila berjalan naik membaca takbir, & apabila berjalan turun membaca
tasbih.” (HR Al Bukhari, dari Jabir).
Jadi
“Subhanallah” dilekatkan dalam makna “turun”, yang kemudian sesuai dengan
kebiasaan orang dalam Bahasa Arab secara umum; yakni menggunakannya untuk
mengungkapkan keprihatinan atas suatu hal kurang baik di mana tak pantas Allah
SWT dilekatkan padanya. Adalah Gurunda (Moh. Fauzil Adhim) yang pernah
memiliki pengalaman memuji seorang Gurunda lain nan asli Arab dengan
“Subhanallah”, kemudian mendapat jawaban tak dinyana : “Astaghfirullahal‘adhim;
‘afwan Ustadz; kalau ada yang bathil dalam diri & ucapan ana; tolong
segera Ant luruskan!”, kira-kira demikian.
Bagaiamana
kesimpulannya? Dzikir tasbih
secara umum adalah utama, sebab ia dzikir semua makhluq & tertempat di
waktu utama pagi & petang. Adapun dalam ucapan sehari-hari, mari
membiasakan ia sebagai pe-Maha Suci-an Allah atas hal yang memang tak
pantas bagi keagunganNya.
Bagaimana
dengan “MasyaAllah”? QS 18: 39
memberi contoh; ia diucapkan atas kekaguman pada aneka kebaikan melimpah; kebun,
anak, harta. Sungguh ini semua terjadi atas kehendak Allah; kebun
subur menghijau jelang panen; anak-anak yang ceria
menggemaskan, harta yang banyak. Lengkapnya; “Masyaallah, la
quwwata illa billah”, kalimat ke-2 menegaskan lagi; tiada kemampuan
mewujudkan selain atas pertolongan Allah.
“Dan
mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “MAA SYAA
ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini
terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu
anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,” (QS
18 Al Kahfi: 39)
Pun
demikian dalam kebiasaan lisan berbahasa Arab; mereka mengucapkan “MasyaAllah”
pada keadaan juga sosok yang kebaikannya mengagumkan. Demikianlah
pengalaman menghadiri acara Masyaikh; & membersamai beberapa yang
empat ke Jogokariyan; dari Saudi, Kuwait, Syam, & Yaman. Di
antara mereka ada yang berkata, “MasyaaLlah” nyaris tanpa
henti, kala di Air Terjun Tawangmangu, Bonbin Gembiraloka, &
Gunung Merapi.
Kesimpulannya:
“MasyaAllah” adalah ungkapan ketakjuban pada hal-hal yang indah; dan
memang hal indah itu dicinta & dikehendaki oleh Allah. Demi ketepatan makna keagungan-Nya &
menghindari kesalahfahaman; mari biasakan mengucap “Subhanallah”
& ”MasyaAllah” seperti seharusnya.
Membiasakan
bertutur sesuai makna pada bahasa asli insyaAllah lebih tepat &
bermakna. Tercontoh : orang Indonesia bisa senyum gembira padahal sedang
dimaki. Misalnya dengan kalimat; “Allahu yahdik!”. Arti harfiahnya : ”Semoga
Allah memberi hidayah padamu!” Bagus bukan? Tetapi untuk diketahui; makna
kiasan dari “Allahu yahdik!” adalah “Dasar gebleg!” Jadi, mari belajar
tanpa henti & tak usah memaki...
Sumber
: bangkitkansemangat.wordpress.com
Senin, 19 Agustus 2013
Minta Maaf Seperti Abu Bakar
Kegiatan
halal-bihalal merupakan hal yang sangat umum dilakukan pasca Ramadhan.
Agenda utamanya adalah ber-shilaturrahim dan saling memaafkan. Akan
tetapi, apakah kita benar-benar meminta maaf secara tulus dan memaafkan dengan
sebenarnya? Ataukah hanya sekedar seremoni dan formalitas.
Mari
kita simak kisah dua sahabat Rasul dalam hal meminta maaf dan memaafkan.
Dikisahkan
oleh Rabi’ah bin Ka’ab bin Malik Al-Aslami, bahwa ada dua bidang tanah yang
bersebelahan, sebidang tanah milik Abu Bakar dan sebelahnya milik Rabi’ah.
Tanah itu merupakan kebun kurma yang subur. Alkisah, terdapat satu pohon kurma
yang tumbuh di perbatasan antara kedua tanah tersebut dan menjadi perselisihan
antara Abu Bakar dan Rabi’ah.
“Pohon
ini milikku, karena berada di atas tanahku,” kata Rabi’ah.
“Tidak,”
kata Abu Bakar, “dia milikku karena berada di atas tanahku,”
Keduanya
berdebat dan tidak ada yang mau mengalah. Tanpa sengaja, Abu Bakar mengucapkan
kata-kata kasar dengan suara keras. Sadar bahwa dirinya telah berlebihan, Abu
Bakar menyesal kemudian meminta maaf sembari berkata, “Rabi’ah ucapkanlah
kalimat serupa agar menjadi balasan yang setimpal bagiku!”
Tentu
Rabi’ah menolak, dia berkata, “Tidak, demi Allah, Aku tidak akan mengatakan
kepadamu kecuali perkataan yang baik.”
Abu
Bakar kecewa dan meminta Rabi’ah kembali untuk mengatakan hal serupa.
Merasa
tidak enak dengan ulahnya sendiri, Abu Bakar segera menemui Rasulullah SAW
untuk meminta tolong dan pendapat. Mereka berduapun menghadap Rasulullah hari
itu juga.
Beliau
bertanya, “Wahai Rabi’ah, ada masalh apa antara engkau dan Abu Bakar?”
Rabi’ah
kemudian menceritakan perkara yang menimpa mereka.
“Wahai
Rasulullah, tadi terjadi begini dan begitu. Lalu, Abu Bakar mengatakan kepadaku
sepatah kalimat yang dia sendiri tidak menyukainya. Maka, ia menyuruhku untuk
mengucapkan kalimat yang sama kepadanya agar menjadi balasan yang setimpal
terhadapnya. Tapi, aku tidak mau,” ungkap Rabi’ah.
Mendengar
penjelasan Rabi’ah, Rasulullah SAW tersenyum dan bersabda, “ya, sudah tepat
apa yang engkau lakukan. Jangan membalasnya dengan ucapan yang serupa. Tapi
katakanlah, ‘semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Bakar.’ ”
Lalu
Rabi’ah pun mengatakannya, “Semoga Allah emngampunimu, wahai Abu Bakar.”
Mendengar
nasehat Rasulullah SAW dan perkataan Rabi’ah, tangis Abu Bakar pecah, dia
bergegas merangkul Rabi’ah dan kembali meminta maaf. (Disarikan dari Hadits
Riwayat Ahmad). Uniknya, sengketa pohon kurma sama sekali sudah mereka lupakan.
Abu
Bakar dan Rabi’ah merupakan pribadi yang patut kita contoh. Bagaimana tidak,
seorang Abu Bakar yang begitu terkenal dengan keluhuran imannya tak segan untuk
meminta maaf ketika berbuat lalim. Bahkan, dia melakukannya segera tanpa perlu
menunggu momen Idul Fitri. Tak Cuma itu, Abu Bakar malah meminta Rabi’ah untuk membalasnya
dengan perlakuan yang setimpal.
Sikap
yang ditunjukkan Rabi’ah pun tak kalah mulia. Dia tidak ingin membalas
saudaranya dengan perkataan kasar, meskipun disuruh oleh Abu Bakar. Dia tidak
ingin melukai perasaan Abu Bakar, meskipun dia sendiri telah dilukai oleh
perkataan kasar.
Nasehat yang yang diajarkan oleh Rasulullah SAW juga sama-sama
mengandung budi pekerti yang luhur. Alih-alih membalas perkataan kasar yang
setimpal, kita malah dianjurkan untuk mendoakan mereka. Sungguh luar biasa.
Kita melihat bagaimana Islam mendidik umatnya untuk senantiasa rukun dan saling
memaafkan, tidak hanya pada saat Idul Fitri saja...Rabu, 07 Agustus 2013
Lebarannya Rasulullah SAW
Idul
Fithri adalah anugerah Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW, tak salah bila
disambut dengan suka cita. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Annas RA. “Rasulullah SAW datang, dan penduduk Madinah
memiliki dua hari, mereka gunakan dua hari itu untuk bermain di masa Jahiliyah.
Lalu beliau berkata, ‘Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua
hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa Jahiliyah. Sungguh Allah telah
menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yaitu hari Nahr
(‘Idul Adha) dan hari Fithr (‘Idul Fithri)’.”
Hanya
saja dalam kegembiraan ini jangan sampai berlebih-lebihan, baik itu dalam
berpakaian, berdandan, makan, tertawa. Dan di malam Hari Raya ‘Idul Fithri pun,
kita hendaknya tidak terlarut dalam kegembiraan sehingga kita lupa untuk
menghidupkan malam kita dengan qiyamul lail. Bukankan kita sudah dilatih
untuk menghidupkan malam-malam kita dengan Tarawih selama bulan Ramadhan? Dan
Rasulullah SAW pun bersabda, dari Abu Umamah RA, “Barang siapa melaksanakan
qiyamul lail pada dua malam ‘Id (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) dengan ikhlas
karena Allah SWT, hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya hati-hati
manusia.” (HR Ibnu Majah).
Marilah
kita lihat bagaimana Rasulullah SAW menyambut Lebaran dengan keriangan yang
bersahaja.
Pagi
itu, tepatnya 1 Syawwal, Rasulullah SAW keluar dari tempat i’tikafnya, Masjid
Nabawi. Beliau bergegas mempersiapkan diri untuk berkumpul bersama umatnya,
melaksanakan salat ‘Id. Nabi juga menyuruh semua kaum muslimin, dewasa,
anak-anak, laki-laki, dan perempuan, baik perempuan yang suci maupun yang haid,
keluar bersama menuju tempat shalat, supaya mendapat keberkahan pada hari suci
tersebut.
Menurut
hadits Ummu ‘Athiyyah, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis
dan wanita, termasuk yang haid, pada kedua hari raya, agar mereka dapat
menyaksikan kebaikan hari itu, juga mendapat doa dari kaum muslimin. Hanya saja
wanita-wanita yang haid diharapkan menjauhi tempat shalat.” (HR Bukhari-Muslim).
Dikatakan
oleh Ibnu Abbas, “Rasulullah SAW keluar dengan seluruh istri dan anak-anak
perempuannya pada waktu dua hari raya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Ibnu
Abbas dalam hadits yang diriwayatkannya menuturkan, “Saya ikut pergi bersama
Rasulullah SAW (waktu itu Ibnu Abbas masih kecil), menghadiri Hari Raya
‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah. Dan setelah
itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasihati mereka serta
menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”
Sebelum
melaksanakan salat ‘Id, terlebih dahulu Rasulullah membersihkan diri. Lalu
beliau berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan
badan kami, sucikanlah bathin kami sebagaimana Engkau telah menyucikan lahir
kami, sucikanlah apa yang tersembunyi dari orang lain sebagaimana Engkau telah
menyucikan apa yang tampak dari kami.”
Ada
juga riwayat yang mengatakan, Rasulullah, setelah mandi, memakai parfum. Anas
bin Malik berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kita di dua hari raya
mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang
kita miliki, dan berqurban (bersedekah) dengan apa saja yang paling
bernilai yang kita miliki.” (HR Al-Hakim, dan sanadnya baik).
Imam
Syafi’i dengan sanad yang juga baik meriwayatkan, Rasulullah SAW mengenakan
kain burdah (jubah) yang bagus pada setiap hari raya. Pakain terbagus dalam hal
ini bukan berarti baru dibeli, tetapi terbagus dari yang dimiliki. Lebih khusus
lagi Imam Syafi’i dan Baghawi meriwayatkan, Nabi SAW memakai pakaian buatan
Yaman yang indah pada setiap hari raya (Pakaian buatan Yaman merupakan standar
keindahan busana saat itu).
Pada
hari istimewa itu, beliau mengenakan hullah, pakaiannya yang terbaik yang biasa
beliau kenakan setiap hari raya dan hari Jum’at. Ini merupakan tanda syukur
kepada Allah, yang telah memberikan nikmat-Nya. Kemudian, beliau mengambil
beberapa butir kurma untuk dimakan. Kurma yang dimakan biasanya jumlahnya
ganjil, seperti satu, tiga, dan berikutnya. Ini pertanda, hari itu umat Islam
menghentikan puasanya.
Sepanjang
perjalanan dari rumah menuju tempat salat ‘Id, Rasulullah tak henti-hentinya
mengumandangkan takbir dengan khidmat. “Allahu Akbar, Allahu Akbar,
walillahilhamdu.”
Rasulullah
SAW selalu melaksanakan shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha di tanah lapang,
seperti disebutkan di dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim. Beliau baru
melaksanakan salat ‘Id di masjid kalau hari hujan. Menurut ahli fiqih, tempat
salat ‘Id yang sering digunakan Rasulullah dan para sahabat itu terletak di sebuah
lapangan di pintu timur kota Madinah.
Rasulullah
melaksanakan salat ‘Idul Fithri agak siang. Ini untuk memberi kesempatan kepada
para sahabat membayar zakat fithrah mereka. Sementara salat ‘Idul Adha
dilakukan lebih awal, agar kaum muslimin bisa menyembelih hewan qurban mereka.
Jundab
RA berkata, “Rasulullah SAW shalat ‘Idul Fitri dengan kami ketika matahari
setinggi dua tombak, dan shalat ‘Idul Adha dengan kami ketika matahari setinggi
satu tombak.”
Rasulullah
melaksanakan salat ‘Idul Fithri dua rakaat tanpa adzan dan iqamat. Pada rakaat
pertama, beliau bertakbir tujuh kali dengan takbiratul ihram dan kaum muslimin
di belakangnya bertakbir seperti takbirnya. Kemudian membaca surah Al-Fatihah
dan surah lainnya dengan keras.
Pada
rakaat kedua, beliau takbir qiyam (berdiri dari sujud) kemudian bertakbir lima
kali, kemudian membaca Al-Fatihah, disambung dengan surah lainnya. Namun ada
juga sahabat yang tertinggal shalatnya. Maka misalnya dia hanya mendapat
tasyahhud, setelah imam salam dia shalat dua rakaat. Jadi dia shalat dua
rakaat, sebagaimana dia ketinggalan dua rakaat dari imam.
Lalu
bagaimana dengan orang yang ketinggal shalat hari raya? Menurut Ibnu Mas’ud, “Barang
siapa tertinggal shalat hari raya, hendaklah dia shalat empat rakaat sendiri.”
Abu
Said Al-Khudri RA berkata, “Rasulullah SAW selalu keluar pada Hari Raya Haji
dan Hari Raya Puasa. Beliau memulai dengan shalat. Setelah selesai shalat dan
memberi salam, Baginda berdiri menghadap kaum muslimin yang masih duduk di
tempat shalatnya masing-masing. Jika mempunyai keperluan yang mesti
disampaikan, akan beliau tuturkan hal itu kepada kaum muslimin. Atau ada
keperluan lain, maka beliau memerintahkannya kepada kaum muslimin. Beliau
pernah bersabda (dalam salah satu khutbahnya di hari raya), ‘Bersedekahlah
kalian! Bersedekahlah! Bersedekahlah!’ Dan ternyata kebanyakan yang memberikan
sedekah adalah kaum wanita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika
berangkat untuk melakukan salat ‘Id, Rasulullah selalu melewati jalan yang
berbeda ketika pulangnya. Ini memudahkan para sahabat yang hendak menemui
beliau untuk mengucapkan selamat hari raya, sekaligus menunjukkan kepada kaum
kafir bahwa inilah umat Islam, yang keluar menuju Allah, dan kembali
kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan berjalan di muka bumi ini agar
memperoleh keridhaan-Nya.
Saling Mendoakan
Saat
bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling mendoakan. Sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan RA mengatakan, “Aku menemui Watsilah bin
Al-Asqa’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah minna wa minka
(Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu).’
Lalu
ia menjawab, ‘Taqabbalallah minna wa minka’.
Kemudian
Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari ‘Id, lalu aku
mengucapkan: “Taqabbalallah minna wa minka.”
Lalu
Rasulullah SAW menjawab, “Ya, taqabbalallah minna wa minka.” (HR
Baihaqi). Selanjutnya, di masa sahabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika
sebagian sahabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata, “Taqabballahu
minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadahku dan amal ibadah
kalian).” (HR Ahmad dengan sanad yang baik).
Pada
hari raya, Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk bergembira. Seperti
mengadakan pertunjukan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya.
Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar
batas keharaman. Karena, hari itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir
kepada Allah Azza wa Jalla (HR Muslim).
Aisyah
RA menceritakan, “Di Hari Raya ‘Idul Fithri, Rasulullah masuk ke rumahku.
Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan
nyanyian bu’ats (bagian dari nyayian pada hari-hari besar bangsa Arab
ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khazraj sebelum masuk
Islam). Kemudian Rasulullah berbaring sambil memalingkan mukanya. Tidak lama
setelah itu Abu Bakar masuk, lalu berkata, ‘Kenapa membiarkan nyanyian setan
berada di samping Rasulullah?’
Mendengar
hal itu, Rasulullah menengok kepada Abu Bakar seraya berkata, “Wahai Abu
Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah
hari raya kita.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada
juga riwayat dari Imam Bukhari yang menceritakan, “Rasulullah SAW masuk ke
tempatku (Aisyah), kebetulan di sana ada dua orang sahaya sedang menyanyikan
syair-syair Perang Bu’ats (Bu’ats adalah nama benteng kepunyaan suku Aus;
sedang hari Bu’ats ialah suatu hari yang terkenal di kalangan Arab, waktu
terjadi pertempuran besar di antara suku Aus dan Khazraj). Beliau terus
masuk dan berbaring di ranjang sambil memalingkan kepalanya. Tiba-tiba masuk
pula Abu Bakar dan membentakku seraya berkata, ‘(Mengapa mereka)
mengadakan seruling setan di hadapan Nabi?’
Maka
Nabi pun berpaling kepadanya, beliau berkata, “Biarkanlah mereka.” Kemudian
setelah beliau lupa, aku pun memberi isyarat kepada mereka supaya keluar, dan
mereka pun pergi.
Hakikat
Kemenangan
Demikianlah,
Ramadhan telah melewati kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap mesti
dipertahankan.
Puasa
Ramadhan memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya, tidaklah
berakhir, tetap menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa
Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (ayyaamul bidh, tanggal 13, 14, dan
15 tiap bulan), puasa Asyura' (tanggal 10 Muharram), puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah),
dan lain-lain.
Tarawih
memang telah berlalu, tapi Tahajjud, misalnya, tetap menanti kita. Juga
bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih. Abu
Sulaiman Ad-Daaraani rahimahullah berkata, "Seandainya tidak ada malam, niscaya
aku tidak ingin hidup di dunia."
Zakat
fithrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka
lebar pada waktu-waktu yang lain.
Karenanya,
memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan”
kita harus lebih Islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikrah (pemikiran),
akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun
yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun sosial. Rakyat, ataupun pejabat.
Ini merupakan indikator diterimanya puasa Ramadhan kita. Karena jika Allah SWT
menerima amal seseorang, Dia akan menolongnya untuk mengadakan perubahan diri
ke arah yang lebih positif dan meningkatkan amal kebajikan.
Seorang penyair Arab mengingatkan dalam
sya'irnya:
Bukanlah Hari
Raya ‘Id itu, bagi orang yang berbaju baru
Melainkan
hakikat ‘Id itu, bagi orang yang bertambah ta'atnya
Semoga
dengan latihan yang telah kita lakukan selama bulan Ramadhan ini, kita
disampaikan Allah kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan ini dapat kita terus
pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian kita sehari-hari. Dan semoga kita
masih dapat dipertemukan Allah dengan Ramadhan berikutnya.
Taqabbalallahu
minna waminkum, wakullu 'aamin wa antum bikhairin.
Sumber :
majalah-alkisah.com
Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat
Zakat Fithrah
Islam
adalah agama agung yang telah diridhai oleh Allah Azza wa Jalla untuk manusia.
Dengan rahmatNya, Allah telah menetapkan dua hari raya bagi umat ini setiap
tahunnya. Dua hari raya tersebut mengiringi dua rukun Islam yang besar. ‘Idul
Adh-ha mengiringi ibadah haji, dan ‘Idul Fithri mengiringi ibadah puasa
Ramadhan.
Karena
di dalam melakukan ibadah puasa, seorang muslim sering melakukan perkara yang
dapat mengurangi nilai puasa, maka dengan hikmahNya, Allah Azza wa Jalla
mensyari’atkan zakat fithri untuk lebih menyempurnakan puasanya. Oleh karena
itulah, sangat penting bagi kita untuk memahami hukum-hukum yang berkaitan
dengan zakat fithri.
Makna, Hikmah,
dan Hukum Zakat Fithri
Banyak
orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat fithri atau
shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits. Makna zakat
fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah yang wajib ditunaikan dengan sebab
fithri (berbuka) dari puasa Ramadhan.[1]
Rasulullah
SAW telah menjelaskan hikmah zakat fithri :
"Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa
dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang
miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat
yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu
adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah".[2]
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Sebagian
ulama beranggapan, kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil
yang mereka gunakan tidak shahih dan sharih (jelas).[3] Imam Ibnul Mundzir
rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang kewajiban zakat fithri
ini. Beliau berkata,"Telah bersepakat semua ahli ilmu yang kami menghafal
darinya bahwa shadaqah fithri wajib [4]. Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan
bahwa zakat fithri hukumnya wajib, tidak mansukh.
Siapa yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fithri?
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, kaya
atau miskin, yang mampu menunaikannya. Sehingga syarat wajib zakat fithri dua:
(1) Islam dan (2) Mampu.
Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang
merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal
ini telah diwajibkan oleh Nabi SAW:
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia
berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri
sebanyak satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua dari
kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan
sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)" [5].
Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza
wa Jalla tidaklah membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah
Azza wa Jalla berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya".[al Baqarah/2:286].
Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama
(Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan
makanan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah
untuk satu malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah
memiliki kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini :
Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, padahal
dia memiliki apa yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia memperbanyak dari api
neraka,” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “(memperbanyak) dari
bara Jahannam”- Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah
yang mencukupinya?” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah
kecukupan yang dengan itu tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda, “Seukuran
yang mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di
tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari dan
semalam” atau “semalam dan sehari". [HR Abu Dawud, no. 1629.
dishahihkan oleh Syaikh al Albani].[6]
Bagaimana Dengan Janin?
Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah
orang tuanya juga wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin
Hasan al Halabi al Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya
zakat fithri atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun
janin, menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”.[9]
Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen
Universitas Imam Muhammad bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap
muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil
atau orang tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai
mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut ibunya”.[10]
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin
rahimahullah berkata : “Yang nampak bagiku, jika kita mengatakan disukai
mengeluarkan zakat fithri bagi janin, maka zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi
janin yang telah ditiupkan ruh padanya. Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali
setelah empat bulan”.
Beliau juga berkata: “Dalil disukainya
mengeluarkan zakat fithri bagi janin, diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu
'anhu, bahwa beliau mengeluarkan zakat fithri bagi janin [11]. Jika tidak, maka
tentang hal ini tidak ada Sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tetapi wajib kita ketahui, ‘Utsman adalah salah satu dari Khulafaur-Rasyidin,
yang kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah mereka”.[12]
Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan
bagi orang tua untuk membayar zakat fithri bagi janin yang sudah berumur empat
bulan dalam kandungan, wallahu a’lam.
Suami Membayar Zakat Fithri dari Dirinya dan Orang-Orang yang Menjadi
Tanggungannya
Para ulama berbeda pendapat, apakah setiap orang
wajib membayar zakat fithri dari dirinya sendiri, sehingga seorang isteri juga
wajib membayar zakat bagi dirinya sendiri, atau seorang suami menanggung
seluruh anggota keluarganya?[13]
Pendapat Pertama.
Suami wajib membayar zakat fithri bagi dirinya
dan orang-orang yang dia tanggung. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Dengan dalil, bahwa suami wajib menanggung nafkah isteri dan keluarganya, maka
dia juga membayarkan zakat fithri untuk mereka. Juga berdasarkan hadits :
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari anak
kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang yang kamu
tanggung”. [Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no. 835].[14]
Pendapat Kedua.
Sebagian ulama (Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri,
Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin) berpendapat,
seorang isteri membayar zakat fithri sendiri, dengan dalil:
1.
Hadits Ibnu Umar :
"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dia
berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat
fithri sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum. Kewajiban itu dikenakan
kepada budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari
kalangan umat Islam” [HR. Bukhari no.1503; Muslim no.984]
Ini menunjukkan, bahwa zakat fithri merupakan
kewajiban tiap-tiap orang pada dirinya. Dan dalam hadits ini disebutkan
“wanita”, sehingga dia wajib membayar zakat fithri bagi dirinya, baik sudah
bersuami ataupun belum bersuami.
Tetapi pendapat ini dibantah : Bahwa disebutkan
“wanita”, tidak berarti dia wajib membayar zakat fithrah bagi dirinya. Karena
di dalam hadits itu, juga disebutkan budak dan anak kecil. Dalam masalah ini
sudah dimaklumi, jika keduanya ditanggung oleh tuannya dan orang tuanya.
Demikian juga para sahabat membayar zakat fithri untuk janin di dalam perut
ibunya. Apalagi sudah ada hadits yang menjelaskan, bahwa suami membayar zakat
fithri bagi orang-orang yang dia tanggung.
2.
Yang asal, kewajiban ibadah itu atas tiap-tiap orang, tidak ditanggung
orang lain. Allah berfirman:
"Seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain". [al An’aam/6 : 164].
Maka seandainya zakat fithri wajib atas diri
seseorang dan orang-orang yang dia tanggung, berarti seorang yang memikul beban
(berdosa) akan memikul beban (dosa) orang lain.
Tetapi pendapat ini dibantah : Ini seperti
seorang suami yang menanggung nafkah orang-orang yang dia tanggung. Dan setelah
hadits yang memberitakan hal itu sah, maka wajib diterima, tidak boleh
dipertentangkan dengan ayat al Qur`an ini, atau yang lainnya. Dari keterangan
ini jelaslah, bahwa pendapat jumhur lebih kuat. Wallahu a’lam.
Bentuk dan Ukuran Zakat Fithri
Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah
keumuman makanan pokok di daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak
terbatas pada jenis makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang paling benar dari
para ulama, insya Allah. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah.
Beliau rahimahullah ditanya tentang zakat fithri :
“Apakah dikeluarkan dalam bentuk kurma kering, anggur kering, bur (sejenis
gandum), sya’ir (sejenis gandum), atau tepung?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab:
“Al-Hamdulillah. Jika penduduk suatu kota menggunakan salah satu dari jenis ini
sebagai makanan pokok, maka tidak diragukan, mereka boleh mengeluarkan zakat
fithri dari (jenis) makanan pokok (tersebut). Bolehkah mereka mengeluarkan
makanan pokok dari selain itu? Seperti jika makanan pokok mereka padi dan dukhn
(sejenis gandum), apakah mereka wajib mengeluarkan hinthah (sejenis gandum)
atau sya’ir (sejenis gandum), ataukah cukup bagi mereka (mengeluarkan) padi,
dukhn, atau semacamnya? (Dalam permasalahan ini), telah masyhur dikenal
terjadinya perselisihan, dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad :
Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan jenis) yang disebutkan di dalam hadits.
Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan jenis) yang disebutkan di dalam hadits.
Kedua. Mengeluarkan makanan pokoknya walaupun tidak termasuk dari jenis-jenis
ini (yang disebutkan di dalam hadits). Ini merupakan pendapat mayoritas ulama
–seperti Imam Syafi’i dan lainnya- dan inilah yang lebih benar dari
pendapat-pendapat (ulama). Karena yang asal, dalam semua shadaqah adalah,
diwajibkan untuk menolong orang-orang miskin, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu. –al Maidah/5
ayat 89-".[15]
Ukuran zakat fithri setiap orang adalah satu sha’
kurma kering, atau anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok
yang menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.
"Dari Abu Sa’id Radhiyalahu 'anhu, dia
berkata : “Kami dahulu di zaman Rasulullah pada hari fithri mengeluarkan
satu sha’ makanan”. Abu Sa’id berkata, "Makanan kami dahulu adalah gandum,
anggur kering, keju, dan kurma kering.” [HR Bukhari, no. 1510]
Para ulama berbeda pendapat tentang hinthah
[16], apakah satu sha’ seperti lainnya, atau setengah sha’? Dan
pendapat yang benar adalah yang kedua, yaitu setengah sha'.
"Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri berkata : Dua hari
sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah
kepada orang banyak, Beliau bersabda: “Tunaikan satu sha’ burr atau qumh
(gandum jenis yang bagus) untuk dua orang, atau satu sha’ kurma kering, atau
satu sha’ sya’ir (gandum jenis biasa), atas setiap satu orang merdeka, budak, anak
kecil, dan orang tua "[17].
Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk
Madinah zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud.
Satu mud adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat,
maka ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk menakar
ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat dengan perkiraan
dan perhitungan. Ada
beberapa keterangan mengenai masalah ini, sebagai berikut:
1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih
Fiqih Sunnah, 2/83).
2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh,
74; Taudhihul Ahkam, 3/74).
3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus
(Syarhul Mumti’, 6/176).
Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, "Para ulama telah mencoba dengan gandum yang bagus. Mereka
telah melakukan penelitian secara sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu
sha’ mencapai 2 kg 40 gr gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda
ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan menambah
takarannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh) menyedikitkan”. [Syarhul
Mumti’, 6/176-177].
Dari penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al
’Utsaimin ini selayaknya dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita
-umumnya- adalah padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan beras
sebanyak 2 ½ kg, wallahu a’lam.
Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam
wujud makanan pokok ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena
itu, tidak boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun
dengan uang!
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Kebanyakan
ahli fiqih tidak membolehkan mengeluarkan dengan nilai, tetapi Abu Hanifah membolehkannya”.
[Syarah Muslim].
Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat
Abu Hanifah rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu
lupa” - Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu telah
dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah berhenti pada zhahir
nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan dengan makna lainnya”. [al
Wajiiz, 230-231].[18]
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi
berkata,"Zakat fithri wajib dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok,
Pen), dan tidak menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa).
Karena, tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan walaupun
dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang” [19].
Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri
Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam
beberapa macam:
1. Waktu wajib. Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi
dilahirkan, atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar
zakat fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar
zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya adalah,
tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun Hanafiyah
berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar 'Idul Fithri.[20]
2. Waktu afdhal. Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar
zakat fithri, yaitu fajar hari 'Id, dengan kesepakatan empat madzhab.[21]
3. Waktu boleh. Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi
membayar zakat fithri.
Tentang waktu terakhirnya, para ulama
bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id, dianggap
tidak berniali sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits
:
"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah". [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].
"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah". [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].
Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Ada
beberapa pendapat: [22]
- Abu Hanifah rahimahullah berpendapat: "Boleh maju setahun atau 2 tahun"
- Malik rahimahullah berpendapat : "Tidak boleh maju".
- Syafi’iyah berpendapat : "Boleh maju sejak awal bulan
Ramadhan".
- Hanabilah : "Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id".
Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi,
karena sesuai dengan perbuatan Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma, sedangkan
beliau adalah termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari
Nabi SAW . Nafi’ berkata:
"Dan Ibnu 'Umar biasa memberikan zakat
fithri kepada orang-orang yang menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua
hari sebelum fithri" [HR Bukhari no.1511; Muslim no.986].
Senin, 8 Agustus 2011 23:22:59 WIB
Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Sumber : kisahrasulnabisahabat.blogspot.com
Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat
Selasa, 06 Agustus 2013
Perpisahan dengan Ramadhan
Bagi
para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka
selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan
ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri
mereka. Dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak
mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW,
Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela
i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera
berlalu meninggalkan mereka.
Ada
satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia,
tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya. Dari Jabir RA,
Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh
petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya
Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian
ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam
bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan
pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih
besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika
mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes.
Hati mereka sedih. Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan
Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang
berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah
bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu
setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya
pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih
harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya
membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah
menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan
Allah Ta’ala.
Mereka
menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka
sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka
belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu
lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu
hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam
khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa
karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh
hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar
menerima amalan tersebut.”
Salah
seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang
kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria
dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu
benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah
hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan
kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”
Kekhawatiran
serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina
Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali
bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya
agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang
ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Ucapan
Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah
gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat,
dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita
‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai
orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”
Imam
Mu'alla bin Al-Fadhl RA berkata, "Dahulu para ulama senantiasa berdoa
kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian
mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama
Ramadhan)."
Wajar
saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali
berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya,
beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang
pahala untuk bekal di akhirat.
Jika
kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka
menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka
memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di
antara kita dan mereka.
Bagaimana
dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan
meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut
kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang
seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah
disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat
kue, dan lain-lain.
Padahal
di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk
mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk
pesta pora di hari Lebaran.
Tapi
apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan?
Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu
Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini
adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).
Jumat, 26 Juli 2013
Al-Qur'an Sebagai Pedoman Hidup
Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril, yang
menjadi mukjizat terbesar dan sepanjang masa. Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadlan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah : 185,
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. Al-Baqarah : 185)
Sebagaimana terjemah versi Depag tersebut,
yang dimaksud adalah permulaan Al-Qur’an (Ayat pertama yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW ketika sedang berkhalwat, yaitu QS. Al-’Alaq 1-5). Namun di
dalam tafsir Ibnu Katsir, sebagian penjelasan mengenai ayat ini adalah sebagai
berikut :
”Menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawih,
Ibnu ’Abbas berkata : ’Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadlan,
yaitu di malam yang penuh dengan kemuliaan (Lailatul Qadar) secara
sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai kejadian-kejadiannya secara
berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda-beda.’ Sedangkan di dalam
riwayat Said Ibnu Jubair disebutkan bahwa Ibnu ’Abbas mengatakan : ’Al-Qur’an
diturunkan pada bulan Ramadlan ke langit dunia dari tempat asalnya, yaitu Baitul
Izzah. Kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
selama dua puluh tahun untuk menjawab perkataan manusia.’
Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu ’Abbas,
disebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan (yaitu di malam Lailatul
Qadar), ke langit dunia secara sekaligus. Sesungguhnya Allah SWT berfirman
kepada Nabi-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan tidak sekali-kali orang
musyrik mendatangkan suatu perumpamaan untuk mendebat Nabi SAW melainkan Allah
SWT mendatangkan jawabannya.
Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab
suci yang bahasa aslinya masih hidup, sedangkan ”kitab suci” yang lain sudah
tidak asli lagi. Keaslian Al-Qur’an dijamin langsung oleh Allah SWT,
sebagaimana firman-Nya :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr
(Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr
: 9)
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemukjizatan Al-Qur’an berlaku sepanjang
zaman, tidak lekang oleh waktu dan tidak lapuk dimakan usia. Fenomena
kemukjizatan Al-Qur’an terus-menerus ditunjukkan dari jaman ke jaman. Sejak
awal diturunkannya, Al-Qur’an menjadi maha karya sastra yang tidak tertandingi,
bahkan Allah SWT menantang manusia untuk membuat satu surat saja yang semisal
dengan Al-Qur’an, niscaya tidak akan mampu manusia membuatnya. Di jaman modern
sekarang ini, justru semakin banyak lagi ditemukan kehebatan mukjizat Al-Qur’an,
yang dahulu belum tergali karena keterbatasan teknologi. Dan dipastikan akan lebih hebat lagi mukjizat Al-Qur'an di jaman yang akan datang, seiring dengan berkembangnya teknologi dan peradaban manusia.
Sebagaimana disebutkan dalam QS.
Al-Baqarah : 185 di atas, Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi
manusia. Hal ini ditegaskan pula dalam ayat yang lain,
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al
Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,”
(QS. Al-Baqarah : 2)
Logikanya sederhana. Jika kita sakit maka
secara naluriah kita akan berpikir untuk berobat ke rumah sakit / dokter. Jika
kendaraan kita ada masalah maka kita segera ke bengkel / montir. Lalu kemanakah
kita mencari solusi atas persoalan batin kita? Kemanakah kita mencari petunjuk
untuk hidup bahagia?
Seluruh makhluk dan alam semesta jagat
raya, termasuk kita sebagai manusia, diciptakan oleh Allah SWT. Allah
menciptakan alam semesta sekaligus dengan segala hukum dan tuntunan yang
diperlukannya sehingga berjalan harmoni dan tidak kacau. Allah menciptakan
manusia dan menurunkan petunjuk hidup bagi manusia agar hidupnya bermanfaat dan
bahagia di dunia dan di akhirat. Dan petunjuk untuk manusia itu adalah
Al-Quran. Jika ....
Langganan:
Postingan (Atom)