Kajian Tafsir Ibnu Katsir, 29 November 2011
Pembicara : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Setelah disebutkan sifat orang-orang mukmin pada permulaan surat melalui empat ayat yang mengawalinya, kemudian diperkenalkan pula keadaan orang-orang kafir melalui dua ayat berikutnya, lalu Allah menjelaskan secara panjang lebar keadaan orang-orang munafik pada ayat 8-20.
Al-Baqarah, ayat 8 :
Pembicara : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Setelah disebutkan sifat orang-orang mukmin pada permulaan surat melalui empat ayat yang mengawalinya, kemudian diperkenalkan pula keadaan orang-orang kafir melalui dua ayat berikutnya, lalu Allah menjelaskan secara panjang lebar keadaan orang-orang munafik pada ayat 8-20.
Al-Baqarah, ayat 8 :
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ أٰمَنَّابِٱللهِ وَبِٱلْيَوْمِ ٱلأٰخِرِ وَمَاهُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ
“Diantara manusia ada yang mengatakan : ”Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.”
Nifaq atau munafik ialah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejahatan. Nifaq ada beberapa macam, ada nifaq i’tiqodi yaitu sifat munafik yang berkaitan dengan akidah/keyakinan. Nifaq jenis ini menyebabkan pelakunya kekal di neraka. Ada Nifaq ’amali yaitu sifat munafik yang berkaitan dengan perbuatan, termasuk dosa besar walaupun tidak sampai kekal di neraka. Contohnya beramal dengan mengharapkan sesuatu dari manusia, tidak ikhlash karena Allah.
Menurut Ibnu Juraij, orang munafik ialah orang yang ucapannya bertentangan perbuatannya, batinnya bertentangan sikap lahiriahnya, penampilannya bertentangan dengan kepribadiannya.
Ketika kurun Mekah belum ada munafik, bahkan kebalikannya, diantara orang-orang dalam periode Mekah ada yang menampakkah kekufuran karena terpaksa, padahal hatinya mukmin tulen. Ketika Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah, di sana telah ada kabilah Aus dan kabilah Khazraj yang dahulunya menyembah berhala, dan ada orang-orang Yahudi dari kalangan ahli kitab yang memeluk agama menurut nenek moyang mereka.
Pada periode pertama Madinah juga masih belum ada munafik mengingat kaum muslimin pada waktu itu belum mempunyai kekuatan yang berpengaruh. Ketika umat Islam semakin kuat, terutama setelah menang dalam perang Badar, mulai muncullah orang-orang yang mengaku masuk Islam padahal hatinya tetap ingkar dikarenakan khawatir atas kebesaran Islam dan ingin memperoleh perlakuan sebagaimana orang-orang beriman diperlakukan. Salah satu pimpinan tokoh munafik adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Melalui ayat ini Allah memperingatkan kaum mukmin agar jangan terbujuk oleh lahiriah sikap mereka, yaitu dengan menerangkan sifat-sifat dan ciri khas orang-orang munafik, karena hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya kerusakan yang luas sebagai akibat tidak bersikap waspada terhadap mereka, dan sebagai akibat meyakini keimanan mereka padahal kenyataannya mereka adalah orang-orang kafir.
Al-Baqarah, ayat 9 :
Al-Baqarah, ayat 9 :
يُخٰدِعُوْنَ ٱللهَ وَٱلَّذِيْنَ أٰمَنُوْا وَمَايَخْدَعُوْنَ إِلآ أَنْفُسَهُمْ وَمَايَشْعُرُوْنَ
”Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”
”Yukhoodi’uunallaha walladziina aamanuu”, mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman karena mereka hanya menampakkan keimanan pada lahiriahnya saja sedangkan batin mereka memendam kekufuran. Karena kebodohan mereka sendiri, mereka menduga bahwa diri mereka menipu Allah dengan sikap tersebut, mereka menduga bahwa hal tersebut menghasilkan manfaat dapat mengelabui Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana mereka dapat mengecoh sebagian kalangan kaum mukmin. Karena itulah Allah membantah apa yang mereka yakinkan itu melalui firman-Nya ”wamaa yakhda’uuna illa anfusahum wamaa yasy’uruun”, (padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedangkan mereka tidak menyadarinya). Dengan kata lain, mereka tidak mengelabui melalui perbuatannya yang demikian itu, tidak pula menipu, melainkan hanya diri mereka sendiri, sedangkan diri mereka tidak merasakan hal itu.
Al-Baqarah, ayat 10 :
فِى قُڶُوبِهِمْ مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ ٱڶڶهُ مَرَضًا ۖ وَڶَهُمْ عَذَابٌ أَڶِيْمٌ بِمَا كَنُوْ يَكْذِبُوْنَ
”Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
”Fii quluubihim maradlun”, para sahabat ada yang memaknai maradlun (penyakit) dengan syak (keraguan), ada juga yang memaknai riya’ (pamer), dan nifaq. Abdur Rahman ibnu Zain ibnu Aslam memaknainya penyakit dalam masalah agama, bukan penyakit pada tubuh. Mereka yang mempunyai penyakit ini adalah orang-orang munafik, dan penyakit tersebut berupa keraguan yang merasuki hati mereka terhadap Islam. Selanjutnya beliau memaknai ”fazaadahumullahu maradla” dengan makna bertambahnya kejahatan mereka disamping kejahatan yang telah ada dan bertambahnya kesesatan disamping kesesatan yang telah ada pada diri mereka.
Tanya Jawab :
1. Pasca serangan 11 September 2001, di banyak orang Islam di Amerika yang menutupi keimanannya untuk menghindari teror dan perlakuan tidak manusiawi dari warga Amerika kebanyakan. Apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam ?
Jawab :
Hal tersebut dinamakan taqiyyah, yaitu menyembunyikan keimanan padahal hatinya mukmin tulen, dilakukan karena terpaksa untuk menyelamatkan nyawanya. Menurut riwayat ada beberapa sahabat yang mengalami kejadian itu pada periode Mekah, salah satunya Amar ibnu Yasir. Amar dan kedua orang tuanya ditangkap dan disiksa kaum kafir Quraisy dan diberi pilihan untuk tetap hidup jika mengingkari agama Islam. Di hadapan Amar, kedua orang tuanya dibantai secara keji dan biadab, sehingga ketika tiba gilirannya Amar ibnu Yasir berpura-pura mengaku ingkar padahal hatinya tetap beriman. Setelah lepas dari cengkeraman kaum kafir, Amar langsung mendatangi Rasullullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam sambil menangis, ”Wahai Rasulullah, silahkan saya dibunuh karena saya telah mengatakan ingkar terhadap agama yang hak di depan orang-orang kafir demi menyelamatkan nyawa saya”. Kemudian ia menceritakan apa yang dialaminya kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah bertanya, ”Bagaimana hatimu?” Amar ibnu Yasir menjawab, ”Demi Allah, hati saya tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”, Rasulullah berkata, ”Kamu selamat”.
2. Apakah benar bahwa cukup dengan mengucapkan kalimah “Laa ilaaha illallah” pada akhir hayatnya, seseorang dijamin masuk surga ?
Jawab :
Ketika periode Mekah, dimana belum ada kewajiban sholat, zakat dan lainnya, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah maka akan masuk surga”, ketika itu sasaran utama dakwah adalah tauhid. Untuk zaman sekarang, tidak cukup hanya keimanan saja, tetapi harus direalisasikan dengan amal sholeh.
Tentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam, “Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah di akhir hayatnya, dia masuk surga” bisa dipahami dengan sabdanya yang lain, “Barang siapa mempunyai keimanan di dalam hatinya walau hanya seberat dzarrah, dia tidak akan kekal di neraka”, artinya dia tetap akan dihisab dan masuk neraka karena dosa-dosanya namun tidak kekal di neraka, pada saatnya dia akan masuk surga.
Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.