Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab : Nawaaqidul Wudlu
Pembicara : K.H. Aep Saefudin S.Ag
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم -عَلَى عَهْدِهِ- يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ ُ وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِم
Hadits ke-61
Dari Anas Ibnu Malik radliyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada jamannya, biasa menunggu waktu solat Isya’ hingga kepala mereka terangguk-angguk (karena kantuk), kemudian mereka mengerjakan sholat tanpa mengambil air wudlu lagi.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Ad-Daruquthni dan berasal dari riwayat Muslim)
Makna Hadits :
Pada jaman Rasulullah, para sahabat selalu menunggu tibanya waktu solat Isya’ sesudah solat Magrib, dengan tujuan mereka dapat mengerjakannya secara berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sering kali mereka terlelap oleh rasa mengantuk dan tertidur karena pada siang harinya mereka amat lelah bekerja. Kepala mereka kelihatan menunduk karena tertidur. Apabila Rasulullah keluar dari rumahnya untuk mengerjakan solat Isya’ bersama mereka, mereka langsung mengerjakan solat di belakangnya tanpa mengambil air wudlu lagi, sebab mereka tidur dalam keadaan mutamakkin (duduk dengan tetap).
Fiqih Hadits :
Seseorang yang tidur dalam keadaan duduk tetap tidak membatalkan wudlu. Pingsan, gila dan mabuk membatalkan wuduk, disamakan dengan tidur yang bukan dalam keadaan tetap di mana kesadaran akal tidak berfungsi pada saat itu.
Ulama berselisih pendapat mengenai batalnya wudlu disebabkan tidur. Imam Malik melihat kepada faktor tidur itu sendiri, beliau berkata: “Jika seseorang tidur lelap hingga tidak sadar dengan apa yang terjadi di hadapannya, maka wudlunya batal. Tetapi jika seseorang tidur tidak lelap, maka tidak batal.” Imam Syafi’i melihat kepada keadaan orang yang sedang tidur, beliau berkata: “Jika seseorang tidur dengan cara memantapkan duduknya di atas lantai, maka wudlunya tidak batal. Jika tidak, maka wudlunya batal.”
Imam Abu Hanifah berkata: “Jika seseorang tertidur dalam salah satu keadaan solat, seperti tidur ketika berdiri atau duduk atau sedang sujud, maka wudlunya tidak batal. Jika tidak, maka wudlunya batal.” Imam Ahmad berkata: “Jika seseorang tidur dalam keadaan duduk atau berdiri, maka wudlunya tidak batal. Jika tidak, maka wudlunya batal.” Perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini adalah disebabkan wujudnya perbedaan nash hadits mengenainya.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي اِمْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ اَلصَّلَاةَ؟ قَالَ: لَا إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي اَلصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ اَلدَّمَ ثُمَّ صَلِّي ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Hadits ke-62
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha berkata: “Fathimah binti Abu Hubaisy datang ke hadapan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh aku ini perempuan yang selalu keluar darah (istihadlah) dan tidak pernah suci bolehkah aku meninggalkan shalat? Rasul menjawab: "Tidak boleh, itu hanya penyakit dan bukan darah haid. Apabila haidmu datang tinggalkanlah shalat dan apabila ia berhenti maka bersihkanlah dirimu dari darah itu (mandi) lalu shalatlah.” Muttafaq Alaihi.
Makna Hadits :
Rasulullah Shllallahu ‘alaihi wa Sallam sering kali duduk bersama para sahabatnya berbincang-bincang dengan mereka pada waktu malam hari dan menjawab pertanyaan mereka. Seorang sahabat wanita bernama Fatimah binti Abu Hubaisy bertanya kepada Nabi, meminta penjelasannya dan memutuskan suatu hukum yang mesti dijadikan pegangan. Nabi Sllallahu ‘alaihi wa Sallam menerangkan kepadanya perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid dan memberinya jalan keluar.
Dalam jawapannya, Rasulullah memfatwakan kepada Fatimah binti Abu Hubaisy supaya tidak meninggalkan sholat, sekalipun darah istihadlah itu masih terus mengalir. Baginda menyuruh untuk menunggu datangnya masa haid. Jika masa haid telah datang, dia hendaklah meninggalkan sholat. Tetapi apabila masa haid telah berakhir, hendaklah dia mencuci darahnya, lalu mandi junub. Dalam kasus ini dapat dibedakan permulaan dan akhir masa haid melalui tanda-tanda yang hanya diketahui oleh kaum wanita.
Analisis Lafadz :
Istihadlah ialah darah yang keluar dari kemaluan wanita bukan pada masa haid. Darah tersebut bersumber dari urat yang disebut al-‘adzil.
Fiqih Hadits :
1. Wanita dibolehkan bertanya secara langsung dan berbicara berhadapan dengan lelaki lain tentang masalah yang menyangkut perihal kaum wanita.
2. Dibolehkan mendengar suara wanita jika ada keperluan.
3. Darah istihadlah merupakan salah satu hadats yang membatalkan wudlu. Wanita yang ber-istihadlah wajib berwudlu setiap kali hendak mengerjakan sholat menurut pendapat Imam Ahmad dan Imam Syafi’i. Menurut Imam Maliki disunahkan berwudlu setiap kali hendak mengerjakan solat. Sedangkan menurut Imam Hanafi : diwajibkan berwudlu setiap waktu.
4. Darah haid itu najis dan begitu pula dengan darah istihadlah.
5. Najis mesti dihilangkan dari tubuh, pakaian dan tempat.
6. Wanita yang sedang berhaid tidak boleh (haram) mengerjakan solat.
7. Wanita yang ber-istihadlah tidak boleh meninggalkan solat.
8. Dibolehkan bersetubuh dengan istri yang ber-istihadhah.
ِعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَأَمَرْتُ اَلْمِقْدَادَ بْنَ اَلْأَسْوَدِ أَنْ يَسْأَلَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَهُ ؟ فَقَالَ: فِيهِ اَلْوُضُوءُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيّ
Hadits ke-63
Dari Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi maka aku suruh Miqdad Ibnu Aswad untuk menanyakan hal itu pada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan bertanyalah ia pada beliau. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjawab: "Dalam masalah itu wajib berwudlu." Muttafaq Alaihi lafadznya menurut riwayat Bukhari.
Makna Hadits :
Bersopan santun kepada mertua merupakan perbuatan terpuji dan dituntut di sisi agama. Hadits ini menceritakan menantu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang dikalahkan oleh perasaan malunya untuk bertanya tentang masalah agama. Untuk itu, dia menyuruh Miqdad menanyakan masalah yang dialaminya kepada Rasulullah supaya baginda menetapkan hukum syariat mengenainya. Baginda menjawabnya di hadapan sekumpulan manusia, termasuk pula, Ali sendiri. Baginda menetapkan bahawa madzi merupakan salah satu hadas yang membatalkan wudlu, tetapi tidak mewajibkan mandi junub.
Analisis Lafadz :
Madzi ialah air putih yang agak kental dan licin. Ia keluar dari zakar ketika bekerja terlalu keras, ketika bermesraan atau tengah ingat tentang persetubuhan atau ketika hendak bersetubuh.
Fiqih Hadits :
1. Diperbolehkan menyuruh orang lain untuk meminta fatwa.
2. Bergaul dengan baik dengan sesama kaum kerabat.
3. Bersopan santun dan mengamalkan tradisi yang baik dengan tidak menanya-kan secara langsung perkara-perkara yang dianggap memalukan menurut adat kebiasaan.
4. Menggabungkan antara maslahat bersifat malu (sopan santun) dan tidak bersikap tidak senonoh untuk mengetahui suatu hukum.
5. Keluarnya madzi menyebabkan batalnya wudlu, tetapi tidak mewajibkan mandi wajib.
6. Menegaskan bahawa madzi adalah najis dan wajib mencuci zakar darinya seperti makna yang ditegaskan oleh riwayat lain yang mengatakan: “Berwudlulah dan cucilah zakarmu!” Hadis ini menurut lafaz al-Bukhari.
Pertanyaan :
1. Mohon maaf karena pertanyaannya agak menyimpang dari topik pembahasan. Bagaimana hukumnya seorang istri mencari nafkah sedangkan suami menganggur ?
Jawab :
Mencari nafkah adalah kewajiban suami, bukan kewajiban istri. Jika suami menganggur misalnya karena diPHK dan istrinya terpaksa bekerja, maka jika sang istri rela hasil kerjanya dipakai sebagai nafkah keluarga, maka hal itu merupakan sedekah. Suami harus menyadari kedudukannya sebagai kepala keluarga dan terus berikhtiar untuk mencari nafkah. Jadi harus ada kesadaran dan kerelaan dari kedua belah pihak dan diniatkan sebagai ibadah.
2. Jika istri bekerja dan suami menganggur, apakah boleh istri menyuruh suami untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan membereskan rumah ?
Jawab :
Harus dipahami bahwa tugas istri adalah taat kepada suami, melayani suami, menjaga kehormatan diri, suami, dan hartanya jika suami tidak ada, serta merawat dan mendidik anak. Sedangkan tugas suami adalah mencari nafkah keluarga termasuk menyelenggarakan kebutuhan rumah tangga seperti mencuci, memasak, dan membereskan rumah. Jika suami bekerja dan mampu maka bisa mengupah orang lain untuk mengerjakannya supaya istri lebih fokus kepada tugas dan kewajibannya yang sebenarnya. Kalau suami menganggur dan istrinya bekerja, maka seharusnya tidak perlu disuruh karena hal itu memang kewajibannya. Harus ada kesadaran dan kerelaan dari masing-masing pihak supaya bernilai ibadah.
Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat
maaf dari :Analisis Lafadz :
BalasHapusMadzi ialah air putih yang agak kental dan licin. Ia keluar dari zakar ketika bekerja terlalu keras, ketika bermesraan atau tengah ingat tentang persetubuhan atau ketika hendak bersetubuh.
apakah Madzi dgn mani itu sama ???
@ Ibrahim :
BalasHapusMadzi dan Mani tidak sama, madzi agak kental sedangkan mani lebih encer. Madzi keluarnya mengalir sedangkan mani keluarnya memancar (biasanya ada sensasi kenikmatan saat keluar mani). Madzi sifatnya najis, sedangkan mani tidak najis. Mani berisi sperma / benih manusia.
Demikian jawaban dari pak K.H. Aep (pembicara)