Selasa, 16 Juli 2013

Tiga Tingkatan Puasa

     Ulama’ membagi puasa menjadi tiga tingkat : 1) Shiyamul’am / shiyamul’awam (puasanya orang umum / puasanya orang bodoh), 2) Shiyaamulkhawwas (puasanya orang khusus), 3) Shiyamulkhawwas al-khawwas (puasanya orang khususnya khusus).

Pertama :
Puasanya orang umum (’awam), yaitu puasa yang dilakukan hanya dengan tujuan untuk menahan kemauan perut dan kelamin untuk mendatangi nafsu syahwat (makan, minum dan seksual). Puasa yang dilakukan sekedar mengerti bahwa dirinya saat itu sedang diwajibkan berpuasa namun tidak pernah mengerti, untuk apa puasa itu diwajibkan.
Rasulullah SAW bersabda :

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ ِصيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطْشُ .


Banyak dari orang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga”.
Inilah puasanya orang kebanyakan atau dikatakan juga sebagai puasanya orang bodoh, hanya menjalankan kewajiban puasa itu secara syariat saja. Hanya sekedar memenuhi kewajiban tanpa tahu hikmah dan rahasia di balik kewajiban tersebut. Namun, meski demikian, asal ibadah puasa itu dapat dilaksanakan dengan dasar hati yang ikhlas dan tanpa dicampuri sifat-sifat yang dapat membatalkan pahala puasa, maka tetap saja akan mendapatkan pahala dari puasa yang dilakukan itu. Hanya saja barangkali sulit bisa menggapai “rahasia amal” sebagai buah ibadah yang disembunyikan di balik kewajiban tersebut.

Kedua :
Puasanya orang khusus (khawwas) adalah puasanya orang-orang shaleh, yakni puasa dengan menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat dan dosa. Mereka tidak hanya menahan kebutuhan perut dan kelamin saja, namun juga mata, telinga, pikiran dan anggota badan yang lainnya. Puasa pada tingkat ini hasilnya tidak bisa sempurna kecuali dengan membiasakan lima hal :
1.      Menundukkan pandangan mata dari segala sesuatu yang dilarang agama.
2.      Menjaga lisan dari pembicaraan buruk, seperti membicarakan kejelekan orang lain, berbohong, mengadu domba, dan sumpah palsu, sebagaimana yang telah ditegaskan Baginda Nabi SAW :

خَمْسَةُ أَشْيَاءَ تُحِيْطُ الصَّوْمَ . أَىْ تُبْطِلُ ثَوَابَهُ . اَلْكَذِبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْيَمِيْنُ اَلْغَمُوْسُ وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ

Lima perkara yang dapat membatalkan (pahala) puasa: berkata bohong, membicarakan kejelekan orang lain, mengadu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat”.
3.      Menahan telinga dari mendengarkan apa-apa yang dilarang agama.
4.      Menahan seluruh anggota badan dari perbuatan yang makruh dan membatasi perut di saat berbuka dari rezeki yang syubhat. Hal itu harus dilakukan, karena yang dimaksud dengan puasa adalah menahan syahwat dari makanan halal, maka apalah artinya apabila puasa itu dibuka dengan rizki yang haram. Maka orang yang berbuka dengan rizki yang haram sama halnya dengan membangun istana tetapi dengan menghancurkan kota.
5.      Berbuka dengan tidak terlalu kenyang meski dengan rizki yang halal, hal itu dilakukan supaya perut tidak terlalu penuh dengan makanan.

Puasa pada tingkat kedua ini dilakukan oleh orang-orang yang telah mengerti tujuan amal ibadah yang sedang dikerjakan. Artinya dengan kewajiban puasa yang sedang dilakukan itu, di samping mereka mengharapkan pahala yang sudah dijanjikan, juga mengharapkan derajat tinggi di sisi Allah, yakni bagaimana mereka dapat mencintai dan dicintai-Nya. Mencintai (‘asyiq) dalam arti mampu merasakan kenikmatan ibadah dan munajat, hal itu bisa terjadi, karena saat itu mereka merasa sedang dekat dengan yang dicintai. Sedangkan dicintai (masyuq) artinya ridla kepada segala ketetapan dan takdir-Nya, itu disebabkan karena yang sedang berkehendak dengan segala ketetapan dan takdir itu adalah Dzat yang mencintainya.

Ketiga :
Puasa yang tertinggi tingkatannya adalah puasanya orang khususnya khusus (khawwas al-khawwas), yaitu puasa hati, bagaimana dengan puasa itu mereka dapat mengendalikan dan menahan perasaaan serta kecenderungan hati dari cita-cita duniawi, dan dari selain Allah. Orang yang berpuasa pada tingkat ketiga ini, apabila di dalam puasanya masih sempat berpikir urusan selain Allah, maka dia merasa tidak sempurna puasanya bahkan batal makna puasanya. Inilah tingkat puasanya para Nabi dan para wali. Puasa pada tingkat ini hakekatnya semata-mata hanya untuk menghadapkan wajah kepada Allah dan memalingkan diri dari selain-Nya.

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Sumber : Tausiah KH. Aep Saefudin S.Ag
Semoga bermanfaat

Baca juga artikel terkait :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.