Menjadi Muadzdzin,
Merangkap Imam, Sekaligus Makmum
“Ayah bangun, sudah Ashar,” demikian istri pak Soleh membangunkan suaminya.
Memang saat itu terdengar adzan berkumandang dari masjid kecil di kampung.
Pak Soleh yang sedang asyik tidur siang segera bangun dan bergegas mengambil
air wudhu.
“Kakak sudah ke masjid?” tanya pak Soleh kepada istrinya.
“Kakak pergi ke Borobudur, ikut Om-nya.”
“Adik juga ikut?”
“Ya, tadi pergi berombongan ke Borobudur.”
Pak Soleh segera menuju ke masjid karena khawatir tertinggal takbiratul
ihram sholat berjama’ah Ashar di masjid tersebut. Dan benar saja, belum sampai
ke masjid sudah terdengar iqomat dari Muadzdzin yang mengumandangkan adzan
tadi. Pak Soleh mempercepat langkah kakinya, dan sesampainya di masjid segera dibukanya
pintu masjid yang masih tertutup rapat. Padahal biasanya pintu tersebut terbuka
saat dilaksanakannya sholat berjamaah.
Ternyata, di dalam masjid pak Sholeh hanya menjumpai satu orang saja. Ya,
satu orang tua yang tadi mengumandangkan adzan dan iqamah, dan sekarang sedang
bersiap melaksanakan sholat Ashar sebagai Imam dan sekaligus merangkap sebagai
makmum seandainya pak Soleh tidak datang.
---o0o---
Fenomena tersebut tentu seharusnya membuat orang-orang beriman merasa
prihatin. Kejadian tersebut merupakan kisah nyata, bahkan penulis sendiripun
pernah mengalaminya, betul-betul menjadi Muadzin yang merangkap sebagai Imam
dan sekaligus sebagai Makmum, bahkan tanpa kehadiran pak Soleh.
Di tengah kesibukan bersilaturahmi, saling berkunjung ke rumah saudara dan
tetangga sebagai tradisi rutin di Hari Raya Idul Fitri, terkadang sebagian
besar dari kita lalai melaksanakan yang lebih wajib dan lebih utama, yaitu
Sholat Fardhu Berjama’ah di Masjid. Sejatinya, kewajiban sholat fardhu
berjamaah di masjid dan kegiatan silaturahmi tidak perlu dipertentangkan, mana
yang lebih utama dan harus didahulukan. Dua-duanya merupakan ibadah yang yang
diperintahkan dalam agama Islam dan keduanya bisa dilaksanakan sejalan dan
justru saling menguatkan. Dengan memelihara sholat fardhu berjama’ah di masjid,
hubungan persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah) insya Allah pasti
akan terjalin kuat, sebaliknya dengan saling berkunjung juga bisa menjadi
sarana untuk saling mengingatkan saat waktu sholat tiba. Sekali lagi,
seharusnya kedua macam ibadah tersebut bisa dilaksanakan bersamaan dan saling
menguatkan.
Kewajiban Menjaga
Silaturrahim
Tidak bisa dipungkiri, menjaga silaturahmi merupakan salah satu ibadah yang
diperintahkan dalam agama Islam. Dan yang merupakan kewajiban adalah menyambung
tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang
dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak
perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang
sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab dan inilah
yang kita diwajibkan untuk menjaga hubungan baik dengan mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Q.S. Ar-Ra’d 13:25,
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ
مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي
الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
"Orang-orang
yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam)."
Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي
وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
"Ar-rahim
itu tergantung di Arsy. Ia berkata: "Barang siapa yang menyambungku, maka
Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan
memutus hubungan dengannya." (Muttafaqun 'alaihi)
Dari Jubair bin
Mut’im bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
"Tidaklah
masuk surga orang yang suka memutus (memutus tali silaturahmi)".
[Mutafaqun 'alaihi].
Memutus tali
silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan dengan orang tua,
kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya. Oleh karena
itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثَ
مَرَّاتٍ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ
وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
”Maukah kalian
aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa besar?” Beliau mengulangi
pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para sahabat menjawab: ”Mau, ya
Rasulullah,” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuat
syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”.
Demikianlah,
betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan
setelah dosa syirik kepada Allah Ta'ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada
kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi
jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Dalam shahîhain,
dari 'Abdullah bin 'Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda:
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ
أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
”Termasuk
perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang tuanya,” maka
para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang menghina kedua
orang tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
”Ya, seseorang menghina bapak orang lain, lalu orang lain ini membalas
menghina bapaknya. Dan seseorang menghina ibu orang lain, lalu orang lain ini
membalas dengan menghina ibunya”.
Marilah kita
melihat diri kita masing-masing, sanak keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan
kewajiban atas mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita
berlemah lembut terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan
mereka? Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita mencintai, memuliakan,
menghormati, saling mengunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit?
Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar meringankan yang mereka butuhkan?
Ada sebagian
orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah merawatnya kecuali
dengan pandangan yang menghinakan. Dia memuliakan istrinya, tetapi melecehkan
ibunya. Dia berusaha mendekati teman-temannya, akan tetapi menjauhi bapaknya.
Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia sedang duduk di
atas bara api. Dia berat apabila harus bersama kedua orang tuanya. Meski hanya
sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia tidak bertutur kata
dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh jika perbuatannya
demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya kenikmatan berbakti kepada
kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.
Ada pula manusia
yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatanya sebagai keluarga. Dia
tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang sepantasnya diberikan
sebagai keluarga. Dia tidak mau bertegur sapa dan melakukan perbuatan yang bisa
menjalin hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia tidak mau menggunakan hartanya
untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba kecukupan, sedangkan sanak
keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau menyambung hubungan dengan
mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu termasuk orang-orang yang wajib
ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam berusaha, sedangkan ia mampu untuk
menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mau menafkahinya.
Para ahlul-'ilmi
telah berkata, setiap orang yang mempunyai hubungan waris dengan orang lain,
maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada mereka apabila orang lain itu
membutuhkan atau lemah dalam mencari penghasilan, sedangkan ia dalam keadaan
mampu. Yaitu sebagaimana yang dilakukan seorang ayah untuk memberikan nafkah.
Maka barang siapa yang bakhil maka ia berdosa dan akan dihisab pada hari
Kiamat.
Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari
memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa
pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan
membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon
ampun kepada Allah Ta'ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang faedah dan keutamaan
menyambung tali silaturahmi,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ
لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Barang
siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah
ia menyambung tali silaturahmi." (Muttafaqun 'alaihi)
Kewajiban Sholat
Fardhu Berjama’ah di Masjid
Terlepas dari
ikhtilaf ulama apakah fardhu ‘ain bagi laki-laki hukumnya shalat berjamaah di masjid atau hukumnya sunnah
muakkadah, berikut ini dalil tentang perintah dan keutamaan sholat fardhu
berjamaah di masjid.
Allah Ta’ala
berfirman,
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’.” (Al-Baqarah: 43)
Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah rahimahullah berkata,
، فلا بد لقوله { مع الراكعين } من فائدة
أخرى وليست إلا فعلها مع جماعة المصلين والمعية تفيد ذلك
“makna firman
Allah “ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’, faidahnya yaitu tidaklah
dilakukan kecuali bersama jamaah yang shalat dan bersama-sama.”
Dalam keadaan
perang berkecamuk tetap diperintahkan sholat berjamaah, apalagi dalam keadaan
aman tentram. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ
فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا
سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ
يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ
فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ
بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ
وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
“Dan apabila
kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
bersamamu) sujud (telah menyempurnakan
satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat,
lalu shalatlah mereka denganmu.” (An-Nisa’ 102)
Orang buta pun
tetap diperintahkan sholat berjamaah di masjid, apalagi yang sehat dan bisa
melihat. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata,
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ
أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى
الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ
فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
“Seorang buta
pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar, “Wahai
Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.”
Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan keringanan kepadanya. Ketika
orang itu beranjak pulang, beliau kembali bertanya, “Apakah engkau mendengar
panggilan shalat (adzan)?” laki-laki itu menjawab, “Ya.” Beliau
bersabda, “Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).”[4]
Sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ
إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Barangsiapa
yang mendengar adzan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya,
kecuali bila ada udzur.”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ
الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا
وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ
رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ
مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Shalat yang
dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat
subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan
mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk
menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang
mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar
mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar
rumah-rumah mereka.”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ
بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat
berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.”
Banyak kompromi
hadits mengenai perbedaan jumlah bilangan ini. Salah satunya adalah “mafhum
adad” yaitu penyebutan bilangan tidak membatasi.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ
لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ
لَيْلَةٍ
“Barang siapa
shalat isya dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Barang
siapa shalat isya dan subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat semalam
penuh.”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ
فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ
بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah tiga
orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di
lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah
kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam
kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”
Khusus bagi yang
mengaku mazhab Syafi’i (mayoritas di Indonesia), maka Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
وأما الجماعة فلا ارخص في تركها إلا من عذر
“Adapun shalat
jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya
kecuali bila ada udzur.”
Demikianlah beberapa dalil tentang diperintahkannya memelihara tali
silaturahmi dan sholat fardhu berjamaah di masjid, keduanya merupakan ibadah
yang utama. Semoga kita diberi taufik dan hidayah serta diberi kekuatan dan
kesabaran oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk dapat melaksanakan keduanya.
Sumber :
almanhaj.or.id & eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.