Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab Adzan
Pemateri : K.H.
Aep Saefudin S.Ag
Hadits ke-143 :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ رضي
الله عنه قَالَ: ( طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ:
"اَللَّهُ أَكْبَرَ اَللَّهِ أَكْبَرُ فَذَكَرَ اَلْآذَانَ - بِتَرْبِيع
اَلتَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ وَالْإِقَامَةَ فُرَادَى إِلَّا قَدْ قَامَتِ
اَلصَّلَاةُ - قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم فَقَالَ: "إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ..." ) اَلْحَدِيثَ. أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو
دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ.
وَزَادَ أَحْمَدُ فِي آخِرِهِ قِصَّةَ قَوْلِ بِلَالٍ فِي
آذَانِ اَلْفَجْرِ: ( اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ اَلنَّوْمِ )
وَلِابْنِ خُزَيْمَةَ: عَنْ أَنَسٍ قَالَ: ( مِنْ اَلسُّنَّةِ
إِذَا قَالَ اَلْمُؤَذِّنُ فِي اَلْفَجْرِ: حَيٌّ عَلَى اَلْفَلَاحِ قَالَ:
اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ اَلنَّوْمِ )
Dari Abdullah Ibnu Zaid Ibnu Abdi Rabbih radliyallaahu
‘anhu berkata: “Waktu saya tidur (saya bermimpi) ada seseorang mengelilingi
saya seraya berkata: “Ucapkanlah "Allahu Akbar Allahu Akbar lalu ia
mengucapkan adzan dengan takbir sebanyak empat kali tanpa pengulangan dan
mengucapkan iqomat sekali kecuali "qod Qoomatish sholaat"”. Ia
berkata: “Ketika telah shubuh aku menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya ia adalah mimpi yang
benar."… hingga akhir hadits. Dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud.
Shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.
Dan Imam Ahmad menambahkan pada akhir hadits tentang kisah
ucapan Bilal dalam adzan Shubuh: "Ash-shalaatu khairum minan nauum (Shalat
itu lebih baik daripada tidur.)"
Menurut riwayat Ibnu Khuzaimah dari Anas radliyallaahu
‘anhu ia berkata: “Termasuk sunnah adalah bila muadzin pada waktu fajar setelah
membaca “hayya 'alash sholaah” ia mengucapkan ”assholaatu khairum minan naum.”
Makna Hadits
:
Ketika tahun
pertama Nabi (s.a.w) berhijrah ke Madinah, kekuatan kaum muslimin semakin
mantap dan para pengikutnya kian bertambah banyak. Mereka mula bermusyawarah
mengenai sesuatu yang patut digunakan untuk memberitahu masuknya waktu solat
agar mereka segera berkumpul di dalam untuk mengerjakan solat secara berjamaah.
Ada di antara
mereka yang mengusulkankan nyala api, loceng dan terompet, tetapi di antara
sekian saran tersebut tidak ada satu pun yang dapat diterima, karena semua itu
merupakan syiar yang diambil daripada agama Majusi, Nasrani maupun Yahudi.
Setelah tidak memperoleh kata sepakat, mereka pun kembali pulang menuju tempat
tinggal mereka masing-masing, dalam keadaan mereka masih memikirkan masalah
yang mereka hadapi ini.
Abdullah ibn
Zaid dalam mimpinya melihat seorang lelaki sedang membawa loceng. Abdullah
berkata kepadanya: “Apakah engkau berminat menjual loceng itu?” Lelaki
itu berkata: “Apa yang hendak engkau lakukan dengan loceng ini?”
Abdullah menjawab: “Untuk menyeru kaum muslimin melakukan solat.” Lelaki
itu berkata: “Maukah engkau jika aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih
baik daripada itu?” Abdullah menjawab: “Tentu.” Lelaki itu berkata:
“Ucapkanlah, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, ...” hingga akhir azan.
Analisis
Lafadz :
“الأذن”, menurut
bahasa adalah pemberitahuan, sedangkan menurut syara’ ialah pemberitahuan
tentang masuknya waktu sholat atau waktu sudah menghampiri waktu fajar dengan
menggunakan dzikir khusus. Adzan disyariatkan di Madinah sesudah hijrah.
“الإقامة”, merupakan masdar
yang berasal dari perkataan “أقام” yang
bermaksud mendirikan sedangkan menurut syara’ adalah pemberitahuan untuk
mendirikan sholat (mengerjakannya) dengan dzikir yang khusus.
“بتربيع التكبير”, dengan
mengulangi bacaan takbir sebanyak empat kali.
“بغير ترجيع”, tanpa tarji‟ (pengulangan). Yang dimaksud dengan tarji’
ialah mengulangi ucapan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali dengan suara
yang keras sesudah mengucapkan keduanya sebanyak dua kali dengan suara yang
lirih.
“فرادى”, tanpa
mengulangi bacaan kalimatnya.
“الا قدقامت الصلاة”, kecuali
kalimat “Qad qaamatish shalaat” diulangi sebanyak dua kali.
“انها لرؤيا حق”,
sesungguhnya mimpimu itu benar-benar mimpi yang hak, yakni mimpi yang benar.
“الحديث”, hingga
akhir hadits. Hadits ini secara lengkapnya menurut riwayat yang dikemukakan
oleh Abu Dawud melalui Muhammad ibn Abdullah ibn Zaid Abd Rabbih, bahwa ayahku
telah menceritakan kepadaku hadits berikut :
“Ketika
Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam menyuruh supaya loceng digunakan
untuk mengumpulkan orang banyak menuju tempat sholat, maka dalam tidurku aku
bermimpi bertemu dengan seorang lelaki yang mengelilingiku. Dia membawa sebuah
loceng di tangannya. Maka aku berkata: “Hai hamba Allah, apakah engkau
bersedia menjual locengmu itu?” Lelaki itu berkata: “Apakah yang hendak
engkau kerjakan dengan loceng ini?” Aku menjawab: “Kami ingin
menggunakannya untuk menyeru kepada solat.” Lelaki itu berkata: “Maukah
engkau jika aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik dari itu?” Aku
menjawabnya: “Tentu.” Dia berkata: “Engkau ucapkan : Allaahu
Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Asyhadu an Laailaaha
illallaah, Asyhadu an Laailaaha illallaah, Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah,
Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah, Hayya ’alash Sholaah, Hayya ’alash
Sholaah, Hayya ’alal Falaah, Hayya ’alal Falaah, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar,
Laailaaha illallaah.” Kemudian dia mundur dariku sedikit, lalu berkata: “Engkau
ucapkan apabila hendak mendirikan solat, : Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Asyhadu
an Laailaaha illallaah, Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah, Hayya ’alash
Sholaah, Hayya ’alal Falaah,Qoa Qoomatish Sholaah, Qod Qoomatish Sholaah,
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laailaaha illallaah.” Pada keesokan harinya,
aku datang menghadap Rasulullah Shallallaau ’alaihi wa Sallam, lalu aku
menceritakan kepadanya apa yang telah kumimpikan tadi malam. Mendengar hal itu,
baginda bersabda : “Sesungguhnya mimpimu itu benar-benar mimpi yang hak.
Sekarang bangkitlah kamu bersama Bilal dan ajarkan dulu apa yang telah kamu
ketahui itu kepadanya, kemudian suruhlah dia mengumandangkannya, karena
suaranya lebih keras dari suaramu.” Maka aku bangkit bersama Bilal dan aku
mengajarkan kepadanya lafadz adzan itu. Setelah itu, dia menyerukannya (kepada
orang banyak). Abdullah ibnu Zaid melanjutkan kisahnya: “Lalu lafadz itu
kemudian didengar oleh Umar ibn al-Khaththab radliyallaahu ’anhu. Ketika itu
dia berada di dalam rumahnya, lalu dia segera keluar seraya menarik
selendangnya dan berkata: “Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran,
wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun telah memimpikan hal yang sama.”
Maka Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wa Sallam bersabda: “Hanya milik Allah
segala pujian itu.”
Muhammad ibn
Abdullah ibn Zaid Abd Rabbih al-Ansari al-Madani, beliau mengambil riwayat dari
ayahnya dan Abu Mas’ud al-Badri. Nu’aim al-Mijmar dan Muhammad ibn Ibrahim al-Taimi
mengambil riwayat darinya (Muhammad ibn Abdullah). Ibn Hibban menilainya
sebagai seorang yang tsiqah (dapat dipercaya).
Fiqih Hadits
:
1. Dianjurkan mengutamakan
urusan agama dan tidak menggunakan syiar agama ahli kitab.
2. Disyariatkan bermusyawarah
dalam menangani masalah-masalah penting dan orang yang dipimpin hendaklah
mengemukakan pendapat dan saran kepada pemimpin demi kemaslahatan umum, kemudian
pemimpin hendaknya melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan kemaslahatan itu.
3. Nabi Shallallaahu ’alaihi wa
Sallam, dibolehkan untuk melakukan ijtihad.
4. Disyariatkan adzan.
Hikmahnya adalah menegakkan syiar Islam, memberitahu masuknya waktu sholat dan
tempat di mana adzan itu dikumandangkan dan sebagai seruan untuk melaksanakan sholat
secara berjamaah.
Adzan
mencakup akidah iman dan mengandung kedua jenisnya, yaitu aqliyat dan sam’iyat.
Adzan diawali dengan menetapkan Zat Allah dan segala sesuatu yang berhak
disandangnya berupa kesempurnaan dan kemahasucian dari hal-hal yang sebaliknya
dengan mengucapkan Allahu Akbar.
Kemudian
ditetapkan pula sifat keesaaan dan menafikan segala bentuk sekutu yang mustahil
bagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Ini merupakan tiang iman dan tauhid yang
mesti didahulukan ke atas semua kewajiban agama yang lain.
Setelah
itu ditetapkan pula bukti-bukti yang menetapkan kenabian, mengakui kerasulan
Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wa Sallam. Ini merupakan asas kedua setelah
syahadah al-tauhid. Dengan keyakinan seperti ini, maka sempurnalah semua akidah
aqliyah.
Kemudian
dikumandangkan kalimat yang menyeru kaum muslimin untuk mengerjakan ibadah, yaitu
ibadah solat. Ini disebut setelah mengakui kerasulan dan kenabian Muhammad Shallallaahu
’alaihi wa Sallam karena kewajiban ibadah itu diketahui berdasarkan ajaran Nabi
Shallallaahu ’alaihi wa Sallam, bukan berlandaskan akal.
Sesudah
itu kaum muslimin diseru untuk menuju kejayaan dan kebahagiaan, yaitu perkara-perkara
yang bisa menghantarkan mereka menuju kejayaan dan keabadian dalam nikmat yang
kekal. Di dalam seruan ini terdapat satu isyarat di mana kaum muslimin perlu
sentiasa mengingat akhirat berupa hari kebangkitan dan hari pembalasan.
Kemudian
kalimat-kalimat ini diulangi dalam iqamah sholat untuk memberitahukan bahwa sholat
hendak dimulai. Pemberitahuan ini mengandung makna yang mengukuhkan keimanan.
Mengulangi semula sebutan kalimat-kalimat tersebut ketika hendak mengerjakan
solat supaya hati dan lisan seseorang mengetahui apa yang hendak dikerjakannya.
Dengan iman itu, dia merasakan keagungan ibadah yang hendak dikerjakan,
merasakan keagungan Allah yang disembahnya dan bakal memperoleh pahala yang
berlimpah daripada-Nya.
Ulama
berbeda pendapat mengenai hukum adzan. Imam Ahmad mengatakan bahwa adzan adalah
fardu kifayah ketika hendak mengerjakan solat lima waktu secara ada’an,
namun sholat fardu lima waktu yang dilakukan secara qadha’an tidak
diperlukan adzan. Adzan dilakukan oleh kaum lelaki yang hendak mengerjakan sholat
berjamaah, baik di kota maupun di kampung, dan dalam keadaan mukim, bukan dalam
keadaan musafir.
Imam al-Syafi’i
dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahawa hukum adzan adalah sunah bagi seseorang
yang mengerjakan sholat fardu sendirian maupun berjamaah, baik ketika bermukim
maupun ketika musafir.
Imam Malik
berpendapat bahwa hukum adzan itu sunat kifayah bagi mereka yang hendak
mengerjakan sholat secara berjamaah supaya mereka segera untuk berkumpul di
masjid dan demikian pula di tempat-tempat yang biasanya dilaksanakan sholat
berjamaah di dalamnya. Imam Malik mengatakan wajib kifayah mengumandangkan azan
bagi orang yang berada di kota.
5. Juru azan disunatkan
mempunyai suara yang keras dan bagus.
6. Disyariatkan membaca tatswib
(Assholaatu khoirum minan naum) ketika mengumandangkan adzan Subuh
secara khusus, namun sholat-sholat fardu selain itu tidak perlu membaca tatswib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.