Al
Quran menuturkan: Subhanallah digunakan dalam mensucikan Allah dari hal
yang tak pantas. “Maha Suci Allah dari mempunyai anak, dari apa
yang mereka sifatkan, mereka persekutukan, dan lain-lain.” Ayat-ayat
berkomposisi ini sangatlah banyak. Juga, Subhanallah digunakan untuk
mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikkan semacam syirik
(QS 34: 40-41), dihinakannya Allah tersebab kita (QS 12: 108), dan
lain-lain.
“Dan
(ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya
kemudian Allah berfirman kepada malaikat: ”Apakah mereka ini dahulu
menyembah kamu?”.Malaikat-malaikatitu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah
pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka telah menyembah jin;
kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”.” (QS 34 Saba’: 40-41)
“Katakanlah:
“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS 12 Yusuf: 108)
Bukankah
ada juga pe-Maha Suci-an Allah dalam hal menakjubkan? Uniknya, Al Quran
menuturnya dengan kata ganti kedua (QS 3: 191), atau kata ganti ketiga
yang tak langsung menyebut asma Allah (QS 17: 1 dll). Sedangkan ia
juga terpakai pada; me-Maha Suci-kan Allah dalam menyaksikan bencana
& mengakui kezhaliman diri (QS 68: 29), menolak fitnah keji yang
menimpa saudara (QS 24: 16).
“(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.”" (QS 3 Ali Imran:109)
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS
17 Al Israa’: 1)
“Mereka
mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang dzalim”.” (QS 68 Al Qalam: 29)
“Dan
mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu:
“Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau
(Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.”" (QS 24 An
Nuur:16)
Bagaimana
dengan hadits-nya?
“Kami
apabila berjalan naik membaca takbir, & apabila berjalan turun membaca
tasbih.” (HR Al Bukhari, dari Jabir).
Jadi
“Subhanallah” dilekatkan dalam makna “turun”, yang kemudian sesuai dengan
kebiasaan orang dalam Bahasa Arab secara umum; yakni menggunakannya untuk
mengungkapkan keprihatinan atas suatu hal kurang baik di mana tak pantas Allah
SWT dilekatkan padanya. Adalah Gurunda (Moh. Fauzil Adhim) yang pernah
memiliki pengalaman memuji seorang Gurunda lain nan asli Arab dengan
“Subhanallah”, kemudian mendapat jawaban tak dinyana : “Astaghfirullahal‘adhim;
‘afwan Ustadz; kalau ada yang bathil dalam diri & ucapan ana; tolong
segera Ant luruskan!”, kira-kira demikian.
Bagaiamana
kesimpulannya? Dzikir tasbih
secara umum adalah utama, sebab ia dzikir semua makhluq & tertempat di
waktu utama pagi & petang. Adapun dalam ucapan sehari-hari, mari
membiasakan ia sebagai pe-Maha Suci-an Allah atas hal yang memang tak
pantas bagi keagunganNya.
Bagaimana
dengan “MasyaAllah”? QS 18: 39
memberi contoh; ia diucapkan atas kekaguman pada aneka kebaikan melimpah; kebun,
anak, harta. Sungguh ini semua terjadi atas kehendak Allah; kebun
subur menghijau jelang panen; anak-anak yang ceria
menggemaskan, harta yang banyak. Lengkapnya; “Masyaallah, la
quwwata illa billah”, kalimat ke-2 menegaskan lagi; tiada kemampuan
mewujudkan selain atas pertolongan Allah.
“Dan
mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “MAA SYAA
ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini
terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu
anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,” (QS
18 Al Kahfi: 39)
Pun
demikian dalam kebiasaan lisan berbahasa Arab; mereka mengucapkan “MasyaAllah”
pada keadaan juga sosok yang kebaikannya mengagumkan. Demikianlah
pengalaman menghadiri acara Masyaikh; & membersamai beberapa yang
empat ke Jogokariyan; dari Saudi, Kuwait, Syam, & Yaman. Di
antara mereka ada yang berkata, “MasyaaLlah” nyaris tanpa
henti, kala di Air Terjun Tawangmangu, Bonbin Gembiraloka, &
Gunung Merapi.
Kesimpulannya:
“MasyaAllah” adalah ungkapan ketakjuban pada hal-hal yang indah; dan
memang hal indah itu dicinta & dikehendaki oleh Allah. Demi ketepatan makna keagungan-Nya &
menghindari kesalahfahaman; mari biasakan mengucap “Subhanallah”
& ”MasyaAllah” seperti seharusnya.
Membiasakan
bertutur sesuai makna pada bahasa asli insyaAllah lebih tepat &
bermakna. Tercontoh : orang Indonesia bisa senyum gembira padahal sedang
dimaki. Misalnya dengan kalimat; “Allahu yahdik!”. Arti harfiahnya : ”Semoga
Allah memberi hidayah padamu!” Bagus bukan? Tetapi untuk diketahui; makna
kiasan dari “Allahu yahdik!” adalah “Dasar gebleg!” Jadi, mari belajar
tanpa henti & tak usah memaki...
Sumber
: bangkitkansemangat.wordpress.com