Penulis : Dr. Jeffrey Lang
Penerbit : Serambi
Sinopsis :
Segera setelah
menjadi muslim, Jeffrey Lang menyadari bahwa persoalan yang dihadapinya bukannya
selesai, melainkan justru baru dimulai. Dulu, profesor matematika ini berjuang untuk menemukan Tuhan yang “masuk
akal” dan masuk “masuk hati”. Perjuangan itu telah membawanya berkelana ke
berbagai madzhab dunia : rasionalisme, agnotisisme, dan ateisme. Dan, lewat
pertemuan kebetulan dengan seorang mahasiswanya yang muslim, ia akhirnya
menemukan Islam.
Sekarang, setelah
masuk Islam, Dr. Lang menghadapi tantangan baru. Ia kini harus menyesuaikan
diri dengan komunitas barunya, dengan segenap keyakinan dan tradisi baru,
dengan pandangan dunia dan gaya
hidup Islam. Sebagai orang yang dibesarkan dalam budaya rasio dan bukannya
tradisi, Lang harus berjuang keras untuk mengerti (dan menjelaskan) mengapa
agama (Islam) harus disertakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Mengapa
pula apa yang diidealkan Al-Qur’an begitu jauh dari realitas kehidupan muslim?
Bagaimana menghadapi tuntutan taklid buta terhadap berbagai hadits dan tradisi,
seperti yang diserukan sejumlah orang Islam? Bagaimana dengan status wanita, yang
sering menjadi sasaran utama serangan nonmuslim terhadap Islam? Dan berbagai
pertanyaan lain yang langsung menyergapnya.
Sejak memeluk Islam,
Jeffrey Lang telah berusaha menemukan jawaban atas persoalan-persoalan
tersebut. Hasil dari pergumulannya itulah yang didokumentasikan dengan apik dan
dikomunikasikan dengan lugas dalam buku ini. Maka, membaca buku ini, kita tidak
hanya mengikuti perjalanan spiritual seorang Amerika dalam menemukan Tuhan,
tapi juga yang lebih penting, kesan-kesan dan pandangan kritis penulisnya
terhadap praktik dan pemahaman keagamaan umat Islam. Bacalah buku ini, dan anda
akan menemukan sebuah upaya penyegaran pemahaman Islam dari seorang pengikutnya
yang baru.
Berikut kisah
singkat pergulatan sang Profesor menemukan iman :
Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. “Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika.
Saat menjadi
siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang
memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi
dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa
memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk,
Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Ia akhirnya
memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun
ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.
Adalah beberapa
saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami
sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada
dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu
yang berwarna putih agak abu-abu.
Satu-satunya ‘hiasan’
adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah
jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan
menghadap ke kami. Cahaya
terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk
deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami
semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya
tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami
menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan.
Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke
depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi
kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya
bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya,
dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh
tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama.
Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat
terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada
logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun
kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco,
dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid,
Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid.
Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan
keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga
sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Kendati tak sedang
berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya.
Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya
membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus,
pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua,
‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian
mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia
(Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat,
mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran)
menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita
kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis
(Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata
Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia
menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya
pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara
berurutan.
“Alquran selalu jauh
di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun
bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan
dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah
dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu
pilihan.”
Saat itu awal 1980-an
dan tak banyak Muslim di kampusnya, University
of San Fransisco. Jeffrey
mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah
mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia
memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam
mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai
syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia
berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama
Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud.
Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening,
bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat ke
depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah
jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia
mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya,
dengan desain merah.”
“Mimpi itu! Saya
berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya,
dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun?
Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa
dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa
dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya
bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh
tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian
tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan
intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total
kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa
Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat,
mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih,
namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor
jurusan matematika University
of Kansas dan memiliki
tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994);
Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help
(Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di
banyak konferensi Islam.
Sumber : Republika Online