Rabu, 30 November 2011

Tafsir Q.S. Al-Baqarah 6-7

Kajian Tafsir Ibnu Katsir, 22 Nov 2011
Pembicara : K.H. Aep Saefudin S.Ag

Pada ayat 1-5, yang sudah kita kaji pada pertemuan yang lalu, Allah menerangkan sifat-sifat muttaqin (orang-orang yang bertaqwa). Pada ayat selanjutnya, ayat 6-7, Allah menjelaskan sifat-sifat kafirin (orang-orang kafir).
Al-Baqarah, ayat 6 :
إنَّ ٱلَّذِيْنَ كَفَرُوا سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ ءَأنْذَرْتَهُمْ أمْ لََمْ تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُوْنَ  ۝
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.”
Innal ladzina kafaru” artinya ”sesungguhnya orang-orang kafir”, yaitu orang-orang yang menolak kebenaran dan menyembunyikan kebenaran. Menolak kebenaran maksudnya menolak kebenaran Al-Qur’an dan menolak kerasulan Nabi Muhammad. Menyembunyikan kebenaran maksudnya bahwa di dalam kitab mereka terdapat berita akan hadirnya Nabi akhir zaman yang ditunggu-tunggu, namun ternyata Nabi akhir zaman itu bukan dari kalangan mereka, tetapi dari bangsa Arab yang mereka anggap lebih hina dari golongan mereka, sehingga mereka mengubah kitab mereka dan menyembunyikan berita tentang Nabi Akhir zaman.
Sawaun ’alaihim aandzartahum amlamtundzirhum” artinya ”sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan”, maksudnya orang-orang yang menolak kebenaran walaupun disampaikan kepada mereka kebenaran Al-qur’an dengan semua bukti nyata, tidak akan ada pengaruhnya bagi mereka, tetap saja mereka ”laa yu’minuun” (tidak beriman).
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam sangat menginginkan agar semua orang beriman dan mengikuti petunjuknya, lalu Allah memberitahukan kepadanya bahwa tidaklah beriman kecuali orang-orang yang telah diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tugas Rasul hanyalah menyampaikan, oeleh karena itu janganlah berdukacita dan kecewa dengan sikap mereka yang kafir, teruslah menyampaikan risalah kepada mereka. Barang siapa yang menerima seruanmu, baginya pahala yang berlimpah, dan barang siapa yang berpaling, maka janganlah kamu berdukacita terhadap mereka, hal itu bukan urusanmu, Allahlah yang akan menghisabnya.
Al-Baqarah, ayat 7 :
خَتَمَ ٱللهُ عَلٰى قُلُوبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ  ۖ وَعَلٰى ٲَبْصٰرِهِمْ غِشٰوَةٌ  ۖ وَلََهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۝
”Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang amat berat.

Khatamallahu ’alaa quluubihim wa ’alaa sam’ihim” artinya ”Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka”. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya. Mereka telah tertipu oleh setan, telah dikuasai setan dan taat pada keinginan setan, maka Allah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka. (Demikian makna ayat ini menurut Qotadah).
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda : ”Berbagai macam fitnah (dosa) diperlihatkan pada hati sedikit demi sedikit. Hati siapa yang melakukannya maka dosa itu membuat satu noktah hitam padanya; dan hati siapa yang mengingkarinya maka ia menjadi putih. Hingga hati manusia itu ada dua macam, yaitu hati yang putih bersih, yang tidak akan tertimpa bahaya oleh suatu dosapun selagi masih ada langit dan bumi. Sedangkan hati lainnya nampak hitam kelam seperti tembikar yang hangus terbakar, ia tidak mengenal perkara yang makruf dan tidak ingkar terhadap perkara yang mungkar, . . . . .”
Dosa itu apabila berturut-turut membuat noktah hitam pada hati, maka ia akan menutup hati. Apabila hati telah tertutup, maka saat itulah dilakukan penguncian oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dilak, setelah itu tiada jalan bagi iman untuk menembusnya dan tiada jalan keluar bagi kekufuran untuk meninggalkannya.
Wa’alaa abshoorihim ghisyaawah” artinya ”dan penglihatan mereka ditutup” sehingga mereka tidak dapat melihat kebenaran, tidak dapat melihat jalan hidayah. Penguncian dilakukan terhadap hati dan pendengaran, sedangkan penutupan terjadi pada penglihatan.
Walahum ’adzaabun ’adhiim” dan balasan bagi orang-orang kafir tersebut adalah siksa yang amat besar.
Dalam ayat tersebut Allah menerangkan sifat orang-orang kafir, tetapi tidak mustahil sifat-sifat tersebut terdapat pada intern muslim, yaitu sifat tidak mau melihat, tidak mau mendengar, tidak mau menggunakan akal untuk untuk memahami hidayah, tidak mau mempelajari agama, dan tidak mau mendalami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kita sebagai muslim tidak cukup hanya mengaku Islam, tetapi kita dituntut untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari, memahami, dan mengamalkan keislaman kita.


Tanya Jawab :
- - -


Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat
 

Hikmah Menuntut Ilmu (Agama)

Sabda Nabi:
“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Allah menggerakkan ia belajar ilmu agama sampai pandai.”(HR Bukhari).

Beberapa hikmah menuntut ilmu (agama) lainnya adalah:

1.  Berada di jalan Allah
“Barang siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu, berarti dia berada di jalan Allah hingga pulang.” (HR Turmudzi)

2.  Mendapatkan pahala yang mengalir terus menerus
“Jika anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecualai 3 hal,yaitu shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.” (HR Muslim)

3.  Agar tidak terlaknat
“Dunia dan seisinya terlaknat, kecuali yang memanfaatkannya demi kepentingan dzikrullah dan yang serupa dengan itu, para ulama dan orang-orang yang menuntut ilmu.” (HR Turmudzi)

4.  Ditinggikan derajatnya
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S.         )

5.  Dimudahkan jalan menuju surga
“Barang siapa menempuh jalan untuk menentut ilmu agama, pasti Allah membuat mudah baginya jalan menuju surga.”(HR Muslim)

Karena itu, dengan menuntut ilmu semoga kita menjadi orang baik, tetap berada di jalan Allah, memiliki pahala yang terus mengalir meskipun sepeninggal kita, tidak terlaknat, ditinggikan derajatnya dan dimudahkan Allah menuju surga. Amin.


Sumber : mutiarasempurna.com
Sholihin untuk Bintang Raya

Minggu, 27 November 2011

Ibanatul Ahkam, 15 Nov 2011

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab Mengusap Dua Khuf
Penceramah : K.H. Aep Saefudin S.Ag

عَنْ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( كُنْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَتَوَضَّأَ فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ: دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Mughirah Ibnu Syu'bah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika beliau berwudlu aku membungkuk untuk melepas kedua sepatunya lalu beliau bersabda: Biarkanlah keduanya sebab aku dalam keadaan suci ketika aku mengenakannya Kemudian beliau mengusap bagian atas keduanya. Muttafaq Alaihi.
Penjelasan :


لِلْأَرْبَعَةِ عَنْهُ إِلَّا النَّسَائِيَّ: ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَسَحَ أَعْلَى اَلْخُفِّ وَأَسْفَلَهُ )  وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْف

Menurut riwayat Imam Empat kecuali Nasa'i: bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengusap sepatu bagian atas dan bawahnya. Dalam sanad hadits ini ada kelemahan.
Penjelasan :

عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( لَوْ كَانَ اَلدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ اَلْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَن

Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Jikalau agama itu cukup dengan pikiran maka bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atas. Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengusap punggung kedua sepatunya (bagian atas). Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang baik.
Penjelasan :

عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفْرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ )  أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَصَحَّحَاه

Shafwan Ibnu Assal berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menyuruh kami jika kami sedang bepergian untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam lantaran buang air besar, kencing dan tidur, kecuali karena jinabat. Dikeluarkan oleh Nasa'i, Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, Lafadz menurut Tirmidzi, Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.
Penjelasan :


عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ: ( جَعَلَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ يَعْنِي: فِي اَلْمَسْحِ عَلَى اَلْخُفَّيْنِ )  أَخْرَجَهُ مُسْلِم

Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan tiga hari tiga malam untuk musafir (orang yang bepergian) dan sehari semalam untuk orang yang menetap --yakni dalam hal mengusap kedua sepatu, Riwayat Muslim.


---masih dalam proses editing---

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat
 

Hikmah Sholat

Rahasia dibalik Gerakan Shalat

Setiap gerakan shalat yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sarat akan hikmah dan manfaat. Syaratnya, semua gerak tersebut dilakukan dengan benar, tumaninah, serta dilakukan secara istiqamah.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berada di dalam Masjid Nabawi, Madinah. Selepas menunaikan shalat, beliau menghadap para sahabat untuk bersilaturahmi dan memberikan tausiyah. Tiba-tiba, masuklah seorang pria ke dalam masjid, lalu melaksanakan shalat dengan cepat.
Setelah selesai, ia segera menghadap Rasulullah dan mengucapkan salam. Rasul berkata pada pria itu, "Sahabatku, engkau tadi belum shalat!" Betapa kagetnya orang itu mendengar perkataan Rasulullah. Ia pun kembali ke tempat shalat dan mengulangi shalatnya. Seperti sebelumnya ia melaksanakan shalat dengan sangat cepat. Rasulullah tersenyum melihat "gaya" shalat seperti itu.
Setelah melaksanakan shalat untuk kedua kalinya, ia kembali mendatangi Rasulullah. Begitu dekat, beliau berkata pada pria itu, "Sahabatku, tolong ulangi lagi shalatmu! Engkau tadi belum shalat." Lagi-lagi orang itu merasa kaget. Ia merasa telah melaksanakan shalat sesuai aturan. Meski demikian, dengan senang hati ia menuruti perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, tentunya dengan gaya shalat yang sama.
Namun seperti "biasanya", Rasulullah menyuruh orang itu mengulangi shalatnya kembali. Karena bingung, ia pun berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa melaksanakan shalat dengan lebih baik lagi. Karena itu, ajarilah aku!"
"Sahabatku," kata Rasulullah dengan tersenyum, "Jika engkau berdiri untuk melaksanakan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah Al-Fatihah dan surat dalam Alquran yang engkau pandang paling mudah. Lalu, rukuklah dengan tenang (thuma'ninah), lalu bangunlah hingga engkau berdiri tegak. Selepas itu, sujudlah dengan tenang, kemudian bangunlah hingga engkau duduk dengan tenang. Lakukanlah seperti itu pada setiap shalatmu."
Kisah dari Mahmud bin Rabi' Al Anshari dan diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya ini memberikan gambaran bahwa shalat tidak cukup sekadar "benar" gerakannya saja, tapi juga harus dilakukan dengan tumaninah, tenang, dan khusyuk.
Kekhusukan ruhani akan sulit tercapai, bila fisiknya tidak khusyuk. Dalam arti dilakukan dengan cepat dan terburu-buru. Sebab, dengan terlalu cepat, seseorang akan sulit menghayati setiap bacaan, tata gerak tubuh menjadi tidak sempurna, dan jalinan komunikasi dengan Allah menjadi kurang optimal. Bila hal ini dilakukan terus menerus, maka fungsi shalat sebagai pencegah perbuatan keji dan munkar akan kehilangan makna. Karena itu, sangat beralasan bila Rasulullah SAW mengganggap "tidak shalat" orang yang melakukan shalat dengan cepat (tidak tumaninah)

Hikmah gerakan sholat
Sebelum menyentuh makna bacaan sholat yang luar biasa, termasuk juga aspek "olah rohani" yang dapat melahirkan ketenangan jiwa, atau "jalinan komunikasi" antara hamba dengan Tuhannya, secara fisik shalat pun mengandung banyak keajaiban. Setiap gerakan sholat yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sarat akan hikmah dan bermanfaat bagi kesehatan. Syaratnya, semua gerak tersebut dilakukan dengan benar, tumaninah serta istikamah (konsisten dilakukan).
Dalam buku Mukjizat Gerakan Shalat, Madyo Wratsongko MBA. mengungkapkan bahwa gerakan sholat dapat melenturkan urat syaraf dan mengaktifkan sistem keringat dan sistem pemanas tubuh. Selain itu juga membuka pintu oksigen ke otak, mengeluarkan muatan listrik negatif dari tubuh, membiasakan pembuluh darah halus di otak mendapatkan tekanan tinggi, serta membuka pembuluh darah di bagian dalam tubuh (arteri jantung).
Kita dapat menganalisis kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam kisah di awal. "Jika engkau berdiri untuk melaksanakan sholat, maka bertakbirlah."
Saat takbir Rasulullah mengangkat kedua tangannya ke atas hingga sejajar dengan bahu-bahunya (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar). Takbir ini dilakukan ketika hendak rukuk, dan ketika bangkit dari rukuk.
Beliau pun mengangkat kedua tangannya ketika sujud. Apa maknanya? Pada saat kita mengangkat tangan sejajar bahu, maka otomatis kita membuka dada, memberikan aliran darah dari pembuluh balik yang terdapat di lengan untuk dialirkan ke bagian otak pengatur keseimbangan tubuh, membuka mata dan telinga kita, sehingga keseimbangan tubuh terjaga.
"Rukuklah dengan tenang (tumaninah)." Ketika rukuk, Rasulullah SAW meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut (HR Bukhari dari Sa'ad bin Abi Waqqash). Apa maknanya? Rukuk yang dilakukan dengan tenang dan maksimal, dapat merawat kelenturan tulang belakang yang berisi sumsum tulang belakang (sebagai syaraf sentral manusia) beserta aliran darahnya. Rukuk pun dapat memelihara kelenturan tuas sistem keringat yang terdapat di pungggung, pinggang, paha dan betis belakang. Demikian pula tulang leher, tengkuk dan saluran syaraf memori dapat terjaga kelenturannya dengan rukuk. Kelenturan syaraf memori dapat dijaga dengan mengangkat kepala secara maksimal dengan mata mengharap ke tempat sujud.
"Lalu bangunlah hingga engkau berdiri tegak." Apa maknanya? Saat berdiri dari dengan mengangkat tangan, darah dari kepala akan turun ke bawah, sehingga bagian pangkal otak yang mengatur keseimbangan berkurang tekanan darahnya. Hal ini dapat menjaga syaraf keseimbangan tubuh dan berguna mencegah pingsan secara tiba-tiba.
"Selepas itu, sujudlah dengan tenang." Apa maknanya? Bila dilakukan dengan benar dan lama, sujud dapat memaksimalkan aliran darah dan oksigen ke otak atau kepala, termasuk pula ke mata, telinga, leher, dan pundak, serta hati. Cara seperti ini efektif untuk membongkar sumbatan pembuluh darah di jantung, sehingga resiko terkena jantung koroner dapat diminimalisasi.
"Kemudian bangunlah hingga engkau duduk dengan tenang." Apa maknanya? Cara duduk di antara dua sujud dapat menyeimbangkan sistem elektrik serta syaraf keseimbangan tubuh kita. Selain dapat menjaga kelenturan syaraf di bagian paha dalam, cekungan lutut, cekungan betis, sampai jari-jari kaki. Subhanallah! 
Masih ada gerakan-gerakan shalat lainnya yang pasti memiliki segudang keutamaan, termasuk keutamaan wudlu. Semua ini memperlihatkan bahwa sholat adalah anugerah terindah dari Allah bagi hamba beriman. Wallaahu a'lam.


Sumber : mualaf.com
Sholihin untuk Bintang Raya

Selasa, 15 November 2011

Tafsir Q.S. Al-Baqarah 1-5

Kajian Tafsir Ibnu Katsir, 15 Nov 2011
Penceramah : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Di dalam mushaf Al-Qur'an, surat Al-Baqarah adalah surat ke-dua setelah surat Al-Fatihah. Surat Al-Baqarah termasuk surat Madaniah, yaitu surat-surat yang diturunkan sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah. Surat Al-Baqarah merupakan surat terpanjang, yang terdiri dari 286 ayat, dalam riwayat lain terdiri dari 287 ayat.
Dinamakan surat Al-Baqarah yang berarti "sapi betina" karena didalamnya terdapat kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Bani Israil.
الم ۝
1. "Alif laam miim"
Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: alif laam miim, alif laam raa, alif laam miim shaad dan sebagainya. Diantara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, Allahu 'alamu bimurodihi yaitu Allahlah yang mengetahui maknanya, namun ada pula yang menafsirkannya. Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. Kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al Quran itu.
 ذٰ لِكَ ٱلكِتٰبُ لارَيْبَ٭ فِيْهِ٭ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ ۝
2."Kitab(Al-Qur’an) ini tidak ada keraguanpadanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa"
Dzaalika” merupakan isim isyarah (kata penunjuk) yang berarti itu (penunjuk jauh), sedangkan hadza berarti ini (penunjuk dekat). Orang-orang Arab biasa menyilihgantikan isim-isim isyarah, menggunakan masing-masing darinya di tempat yang berlainan maksudnya, hal ini sudah dikenal dari percakapan mereka. Dalam ayat tersebut para ahli tafsir mengartikan dzalika bimakna hadza, dzalika dengan makna ini. Isim isyarah tersebut ditujukan kepada Al-Quran, dimana Al-Kitab dimaknai dengan apa yang diwahyukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kitab yang dibaca Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu Al-Qur’an.
Laa dalam laa raiba maksudnya menafikan, artinya tidak. Yang dinafikan adalah ar-raib yang berarti asy-syak (keraguan). Jadi menurut para ahli tafsir, laa raiba fiihi artinya “tidak ada keraguan di dalamnya”, maksudnya tidak ada keraguan di dalam Al-Qur'an, dan tidak ada keraguan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan perkataan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Hudal lil muttaqin” artinya petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yang dimaksud hudan  adalah petunjuk/hidayah kepada keimanan dan perkara yang hak, sedangkan muttaqin adalah orang-orang yang menjalankan segala perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi, mencegah dan memelihara diri dari segala larangan-Nya.

ٱلذِيْنَ يُٶْمِنُوْنَ بِٱلْغَيْبِ وَيقِيْمُوْنَ ٱلصَّلۈةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۝
3. ”(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. 
Alladzina yu’minuna bil ghaib” artinya ”mereka yang beriman kepada yang ghaib”, maksudnya membenarkan dan mempercayai akan adanya hal-hal atau perkara ghaib, yaitu yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera maupun yang belum dialami yang sudah dijelaskan Allah Suhanahu wa Ta’ala melalui Al-Qur’an maupun Al-Hadits, seperti adanya yaumul ba’ats, alam kubur, mahsyar, surga, neraka, malaikat, jin, dan sebagainya.
Wa yuqimunas sholat” artinya ”dan mereka yang mendirikan sholat”, maksudnya mengerjakan sholat dengan memenuhi hak-haknya sholat, yaitu menunaikannya dengan teratur dan konsisten, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya, serta memenuhi hak sholat di luar sholat sehingga sholatnya bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Wa mimma rozaqnahum yunfiqun” artinya ”dan mereka yang menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”, maksudnya menafkahkan/menginfaqkan sebagian hartanya di jalan Allah, dalam rangka taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Infaq bisa berupa infaq wajib seperti zakat, menafkahi keluarga, dan lain-lain, dan bisa berupa infaq sunah seperti sedekah kepada fakir miskin, anak yatim, kaum kerabat, infaq untuk masjid dan lain-lain.
وَٱلَذِيْنَ يُٶْمِنُوْنَ بِمَآ أنْزِلَ ٳلَيْكَ وَمَآ ٲنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبٱلٲخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ ۝
4.  ”Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” 


Tanya Jawab :
- - -
---masih dalam proses editing---

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat

Selasa, 08 November 2011

Tafsir Surat Al-Fatihah

Kajian Tafsir Ibnu Katsir, 1 Nov 2011
Pembicara : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Membaca surat Al-Fatihah merupakan salah satu rukun sholat, tidak sah sholat apabila tidak membaca surat Al-Fatihah. Oleh karena itu sangat penting mempelajari tafsirnya supaya kita bisa menghayati ketika membacanya sehingga sholat kita lebih khusyu’.
Dinamakan surat Al-Fatihah, dengan surat ini bacaan dalam sholat dimulai. Dalam mushaf Imam (mushaf Utsmani) surat Al-Fatihah ditempatkan sebagai surat pertama, atau disebut juga Fatihatul Kitab. Namun penempatan sebagai surat yang pertama dalam Al-Qur’an bukan berarti diturunkan pertama kali, karena yang diturunkan pertama kali adalah surat Al-’Alaq 1-5.
Menurut para ulama, kandungan surat Al-Fatihah merupakan intisari dari kandungan Al-Qur’an. Surat Al-Fatihah dinamakan juga dengan sebutan ”As-Sab’ul Masani” (tujuh yang diulang-ulang) karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam sholat, pada tiap-tiap raka’at.
 Surat Al-Fatihah dimulai dengan Basmalah sebagai ayat pertama. Jadi Basmalah merupakan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, Basmalah merupakan bagian dari Al-Fatihah. Berbeda dengan Basmalah pada tiap-tiap surat, di awal setiap surat dalam Al-Qur’an Basmalah hanya sebagai pemisah (mufashshil) antar surat.
بسم ٱلله ٱلرحمن ٱلرحيم ۝
1.  ”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
"Bismillahi" (Dengan nama Allah), di dalam tafsir Ibnu Katsir, nama ”Allah” ialah  Al-Itsmu Jalalah / Al-Itsmul ’A’dhom (nama yang agung), nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, Allah memiliki 99 nama yang mulia, sesuai dengan sifat-Nya yang mulia, yang dinamakan Asmaul Husna, diantaranya Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, Al-Quddus, dan seterusnya. Selain Allah, tidak boleh ada yang menggunakan nama Allah, bahkan nama sifat-Nya pun haram dipakai oleh makhluk-Nya. Haram hukumnya seseorang memakai nama Allah atau nama sifatnya, kecuali di depannya memakai kata Abdul, misalnya Abdullah (hamba Allah), Abdur Rozaq, dan sebagainya.
Ar-Rahman” (Maha Pemurah) yaitu ”rahmanud dunia”, memberikan nikmat dan karunia kepada seluruh makhluk-Nya, baik manusia, jin, binatang maupun yang lainnya tanpa keculai, baik yang beriman maupun yang kafir, yang taat maupun yang berbuat maksiat, semuanya mendapat nikmat ketika di dunia.
Ar-Rahim” (Maha Pengasih) yaitu ”rahimul akhirah”, memberikan rahmat di akhirat, khusus kepada orang-orang yang beriman. Rahimul akhirah merupakan keadilan Allah, jika di dunia semuanya mendapat nikmat, tetapi di akhirat hanya orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah sajalah yang mendapat nikmat dan rahmat-Nya. Di Akhirat, Allah menyediakan surga dan neraka, sebagai balasan atas perbuatan manusia selama hidup di dunia. Orang-orang yang beriman dan bertaqwa, mendapat rahmat Allah di akhirat, yaitu dimasukkan ke dalam surga-Nya.
الحمد ٱلله رب ٱلعالمين ۝
2.  ”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.
Alhamdulillahi” (segala puji bagi Allah), pujian kepada Allah karena sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, yang berhak dipuji hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada makhluk yang berhak dipuji, haram hukumnya manusia ingin dipuji.
Dalam salah satu keterangan, beribadah atau beramal karena arah manusia, dalam arti ingin dipuji manusia, dikategorikan sebagai syirik, disebut syirkun khofi (syirik yang samar). Makanya, jika ada yang memuji kepada kita, maka kita harus waspada, harus hati-hati jangan sampai terpedaya, segera kembalikan pujian tersebut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Robbil ’alamin” (Tuhan semesta alam) yaitu yang merajai semua makhluk. Selain Allah, disebut alam, ”alamin” merupakan jama’ dari ”alam”, termasuk di dalamnya manusia, malaikat, jin, binatang, tumbuhan, langit, bumi dan yang lainnya, semuanya merupakan makhluk ciptaan Allah. Adanya alam ini merupakan tanda, merupakan bukti adanya Allah yang menciptakannya.
الرحمن ٱلرحيم۝
3.  ”Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Ar-Rahman” dan ”Ar-Rahim” sudah dijelaskan pada ayat pertama. Perlu ditambahkan di sini tentang makna ”rahmat Allah”, apa yang dimaksud dengan rahmat ?
Rahmat adalah ”iradatul khair liahlihi”, artinya ketetapan suatu kebaikan bagi ahli kebaikan. Surga diperuntukkan bagi orang-orang beriman dan bertaqwa, itu adalah rahmat Allah. Jadi masuk surga itu pada hakekatnya adalah karena mendapat rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya dari rahmat adalah laknat.
Kepada orang-orang beriman dan bertaqwa Allah menjanjikan akan senantiasa melimpahkan rahmat-Nya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :فٱذكرونى أذكركم       
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu”
Allah akan senantiasa ingat kepada hamba-Nya yang berdzikir mengingat-Nya. Allah akan mengingat hamba-Nya maksudnya Allah akan senantiasa melimpahkan rahmat kepada orang tersebut. Bagi orang-orang beriman yang dicintai Allah, apapun yang menimpa dirinya semuanya adalah rahmat, bukan adzab/laknat. Tidak ada orang beriman yang dicintai Allah yang mendapat laknat. Baik yang menimpanya berupa nikmat maupun musibah, pada hakikatnya hal itu adalah rahmat Allah baginya.
Contoh (1) : Musibah Tsunami di Aceh, bagi orang-orang beriman yang dicintai Allah bukanlah adzab, tetapi tetap merupakan rahmat Allah, karena orang-orang yang beriman dan bertaqwa yang meninggal dunia karena musibah itu dikategorikan sebagai mati syahid, jaminannya di sisi Allah adalah Surga.
Contoh (2) : Suatu ketika Khalifah Umar Ibnu Khattab menuju ke Syam. Di tengah perjalanan mendapat musibah, untanya mendadak sakit dan tidak bisa berjalan sehingga harus diobati dulu dan beliau tertahan di tengah perjalanan. Setelah tiga hari, dengan idzin Allah unta tersebut sembuh sehingga Khalifah bisa meneruskan perjalanan. Sesampainya di Syam, para sahabat berkata kepada beliau “barokallahu laka”-“barokallahu laka” (Allah telah merahmati engkau). Ternyata di Syam telah terjadi huru-hara / pertempuran dan Umar Ibnu Khattab terhindar dari huru-hara tersebut dengan idzin Allah yang memberikan musibah berupa sakitnya unta di perjalanan.

Tanya :
Saya sholat di belakang imam yang tidak mengeraskan bacaan basmalah ketika membaca surat Al-Fatihah, bagaiman hukumnya ?
Jawab :
Ada dua kelompok pendapat mengenai basmalah, ada yang berpendapat bahwa basmalah merupakan salah satu surat Al-Fatihah, dan ada yang berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah tetapi Al-Fatihah tetap sebagai As-Sab’ul Masani” karena ”shirathol ladzina . . .” adalah 2 ayat, bukan satu ayat.
Kalau ada imam tidak mengeraskan basmalah (seperti imam di Masjidil Haram) maka ada 2 kemungkinan :
·      Mengikuti pendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah sehingga tidak dikeraskan ketika membacanya.
·      Meyakini bahwa basmalah merupakan salah satu surat Al-Fatihah, hanya saja membacanya tidak dikeraskan.
Sholatnya tetap sah karena masing-masing ada landasan hukumnya.
ملك يوم ٱلدين ۝
4.    ”Yang menguasai di hari Pembalasan”.
Maliki yaumiddin” dengan tidak memanjangkan mim, maka artinya ”yang merajai di hari Pembalasan”. Di dunia ini, pada hakekatnya Allah adalah raja yang seungguhnya, tapi secara dhahir di dunia ini ada raja-raja atau penguasa. Nanti di hari kiamat / di hari Pembalasan tidak ada raja atau penguasa walaupun hanya secara dhahir, kecuali hanya satu raja yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maaliki yaumiddin” dengan memanjangkan mim, maka artinya ”yang memiliki hari Pembalasan”, maksudnya yang memiliki dan menguasai segala urusan di hari Pembalasan. Hanya Allah yang menguasai dan mengatur segala urusan pada hari itu, tidak ada intervensi seperti hukum di dunia. Dalam QS. Ar-Ra’d Allah berfirman :  “. . . sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu.” Namun hal itu tidak ada gunanya, selanjutnya Allah berfirman : “Orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman”.
Yaumiddin” (hari Pembalasan) : hari yang pada waktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.

۝ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
5. “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.

Dalam tata Bahasa Arab, lazimnya susunan kalimat adalah fi’il - fa’il - maf’ul. Tetapi dalam ”Iyyaka na’budu”, maf’ul didahulukan, hal ini mengandung makna ikhtishash (khusus) sehingga diartikan ”Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”. Mengkhususkan hanya menyembah Allah adalah tauhid dalam beribadah, tidak boleh menyembah kepada selain Allah. Agama wahyu, sejak nabi Adam ’alaihis salam adalah sama, yaitu mengajarkan tauhid, menyembah hanya kepada Allah. Sedangkan yang mengajarkan menyembah selain Allah dan mengajarkan kemusyrikan adalah agama ra’yu (hasil pemikiran manusia). Adapun agama wahyu ada yang mengajarkan kemusyrikan, itulah penyelewengan dalam agama.
Wa iyyaka nasta’in” (dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan), mengkhususkan haya kepada Allah memohon pertolongan dalam rangka beribadah kepada-Nya. Allah mendahulukan ”na’budu” baru kemudian ”nasta’in” adalah sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah. Bagi orang-orang beriman, semua aktivitas baik ibadah mahdah maupun dalam berinteraksi dengan manusia di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, semuanya adalah ibadah, dalam rangka pengabdian kepada Allah, harus didasari dengan niat ikhlash karena Allah. Nah, dalam rangka melakukan semua aktivitas ibadah kita itulah, kita memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tanpa pertolongan Allah, kita tidak akan sanggup melaksanakannya, ”La haula wala quwwata illa billah”.
۝ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
6. “Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Ihdi” dalam tata bahasa Arab merupakan fi’il amar (perintah). Fi’il amar yang diidlafatkan kepada Allah bukan berarti perintah, tetapi bermakna do’a.
Ihdinash Shirothol mustaqim” mengandung makna ”Tunjukilah kami, ya Allah, ke jalan yang lurus, dan tetapkanlah kami selalu berada di jalan yang lurus”. Orang-orang yang mendapat petunjuk (muhtadin) adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan/menetapi/tetap di dalam petunjuk tersebut.
Apakah ”Shirothol mustaqim” (jalan yang yang lurus) itu ? Di dalam ayat selanjutnya Allah menjelaskan,
صراط ٱلذين ٲنعمت عليهم غير ٱلمغضوب عليهم ولا لضآلين ۝
7. ”(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Jalan yang lurus adalah ”Shirothol ladzina an’amta ’alaihim” (jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka). Yang dimaksud nikmat dalam kalimat ”an’amta ’alaihim” adalah hidayah (petunjuk), jadi orang-orang yang telah diberi nikmat adalah orang-orang yang telah mendapat hidayah, hal ini dikuatkan lagi dalam kelimat selanjutnya,
Ghoiril maghdlubi ’alaihim” (bukan (jalan) mereka yang dimurkai), dalam hal ini para ulama sepakat tentang maksud yang dimurkai (maghdlub) adalah orang-orang yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah karena selain tidak mengimani Nabi Isa ’alaihis salam, bahkan Nabi Isa dikejar-kejar dan mau dibunuh, juga tidak mengimani Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wa Sallam. Setelah kufur mereka bertambah kufur.
Waladl dlallin” (dan bukan mereka yang sesat). Para ulama menafsirkan bahwa ”adl-dlollin” (orang-orang yang sesat) adalah orang-orang nasrani, karena mereka telah menuhankan Nabi Isa, menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan, meyakini bahwa Maryam adalah Tuhan.

Sesungguhnya orang-orang yang mendapat hidayah, yang tetap berada di dalam shirothol mustaqim, bukanlah orang-orang yahudi dan bukan pula orang-orang nasrani, melainkan orang-orang yang tidak menyekutukan Allah (musyrik), tauhid beribadah hanya kepada Allah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran : 67)
”dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yaasin : 61)

Tanya Jawab :

1.  Bagaimana caranya agar kita bisa berada di jalan yang lurus (shirothol mustaqim) dan tetap senantiasa berada di jalan yang lurus selamanya ?
Jawab :
Para ulama berpendapat bahwa Al-Fatihah merupakan intisari dari Al-Qur’an, kita sebaiknya memahaminya secara utuh. Agar kita berada di jalan yang lurus dan tetap di dalamnya maka kita harus menerapkan makna surat Al-Fatihah dalam kehidupan kita. Mulai dari ayat ke-satu ”Bismillahirrahmanirrahiim”, segala perbuatan baik kita awali dengan menyebut nama Allah, tidak hanya di mulut, tetapi diresapi dalam hati bahwa kita melakukan hal tersebut semata-mata karena Allah. Kemudian ”Alhamdulillahi Robbil ’Alamin”, selesai melakukan segala sesuatu yang baik kita ucapkan pujian kepada Allah. Ketika kita mendapat nikmat sekecil apapun, jangan lupa itu adalah karunia dari Allah. ”Ar-Rahman Ar-Rahim” senantiasa mengharapkan rahmat dari Allah. ”Maliki yaumiddin” kita harus yakin akan adanya hari pembalasan, semua perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu ”Iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in” kita harus senantiasa beribadah hanya kepada Allah dan selalu memohon pertolongan Allah dalam segala perbuatan kita. Itulah yang akan mengantarkan kita ke jalan yang lurus dan tetap berada di dalamnya, sebagaimana permohonan kita dalam ”Ihdinash Shirothol Mustaqim”. Intinya, dalam kehidupan sehari-hari, kita mulai dengan nama Allah, berangkat atas perintah Allah, di dalam prosesnya kita ikhlash karena Allah, yang kita harap rahmat Allah, dan yang akan menghukumi perbuatan kita di hari kiamat kelak adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya kalau dari awal saja kita sudah salah, niat kita bukan karena Allah, misalnya sholat karena ingin dipuji, menjabat karena materi, bekerja karena uang, menikah karena manusia, maka hal itu tidak akan mengantarkan ke shirothol mustaqim.
2.  Mengenai ayat ke-dua bahwa segala puji milik Allah, manusia tidak pantas dipuji. Namun dalam kehidupan sehari-hari di rumah maupun di tempat kerja, kita selalu berhadapan dan menjumpai adanya pujian. Bagaimana sikap kita menghadapi pujian yang diberikan orang lain kepada kita ?
Jawab :
Dalam kehidupan sehari-hari ada pujian yang bersifat penghargaan (Ats-Tsana'), menghargai hasil karya atau perbuatan baik. Hal ini sering dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau sangat pemurah dalam memberikan pujian terhadap sikap, perilaku dan perbuatan para sahabat. Jadi hal ini diperbolehkan bahkan dianjurkan. Namun ada juga pujian yang mempunyai maksud lain, ada udang di balik batu, biasanya hal-hal yang dipuji mengenai fisik/penampilan seseorang atau mengenai harta/kekayaannya, hal ini tidak dicontohkan. Sikap kita terhadap pujian biasa saja yang penting kita tidak boleh mengharapkan pujian, terlebih lagi terhadap pujian jenis ke-dua kita harus berhati-hati. Segera kembalika pujian kepada yang berhak dipuji yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengucapkan hamdalah.


Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat