Selasa, 08 November 2011

Tafsir Surat Al-Fatihah

Kajian Tafsir Ibnu Katsir, 1 Nov 2011
Pembicara : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Membaca surat Al-Fatihah merupakan salah satu rukun sholat, tidak sah sholat apabila tidak membaca surat Al-Fatihah. Oleh karena itu sangat penting mempelajari tafsirnya supaya kita bisa menghayati ketika membacanya sehingga sholat kita lebih khusyu’.
Dinamakan surat Al-Fatihah, dengan surat ini bacaan dalam sholat dimulai. Dalam mushaf Imam (mushaf Utsmani) surat Al-Fatihah ditempatkan sebagai surat pertama, atau disebut juga Fatihatul Kitab. Namun penempatan sebagai surat yang pertama dalam Al-Qur’an bukan berarti diturunkan pertama kali, karena yang diturunkan pertama kali adalah surat Al-’Alaq 1-5.
Menurut para ulama, kandungan surat Al-Fatihah merupakan intisari dari kandungan Al-Qur’an. Surat Al-Fatihah dinamakan juga dengan sebutan ”As-Sab’ul Masani” (tujuh yang diulang-ulang) karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam sholat, pada tiap-tiap raka’at.
 Surat Al-Fatihah dimulai dengan Basmalah sebagai ayat pertama. Jadi Basmalah merupakan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, Basmalah merupakan bagian dari Al-Fatihah. Berbeda dengan Basmalah pada tiap-tiap surat, di awal setiap surat dalam Al-Qur’an Basmalah hanya sebagai pemisah (mufashshil) antar surat.
بسم ٱلله ٱلرحمن ٱلرحيم ۝
1.  ”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
"Bismillahi" (Dengan nama Allah), di dalam tafsir Ibnu Katsir, nama ”Allah” ialah  Al-Itsmu Jalalah / Al-Itsmul ’A’dhom (nama yang agung), nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, Allah memiliki 99 nama yang mulia, sesuai dengan sifat-Nya yang mulia, yang dinamakan Asmaul Husna, diantaranya Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Malik, Al-Quddus, dan seterusnya. Selain Allah, tidak boleh ada yang menggunakan nama Allah, bahkan nama sifat-Nya pun haram dipakai oleh makhluk-Nya. Haram hukumnya seseorang memakai nama Allah atau nama sifatnya, kecuali di depannya memakai kata Abdul, misalnya Abdullah (hamba Allah), Abdur Rozaq, dan sebagainya.
Ar-Rahman” (Maha Pemurah) yaitu ”rahmanud dunia”, memberikan nikmat dan karunia kepada seluruh makhluk-Nya, baik manusia, jin, binatang maupun yang lainnya tanpa keculai, baik yang beriman maupun yang kafir, yang taat maupun yang berbuat maksiat, semuanya mendapat nikmat ketika di dunia.
Ar-Rahim” (Maha Pengasih) yaitu ”rahimul akhirah”, memberikan rahmat di akhirat, khusus kepada orang-orang yang beriman. Rahimul akhirah merupakan keadilan Allah, jika di dunia semuanya mendapat nikmat, tetapi di akhirat hanya orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah sajalah yang mendapat nikmat dan rahmat-Nya. Di Akhirat, Allah menyediakan surga dan neraka, sebagai balasan atas perbuatan manusia selama hidup di dunia. Orang-orang yang beriman dan bertaqwa, mendapat rahmat Allah di akhirat, yaitu dimasukkan ke dalam surga-Nya.
الحمد ٱلله رب ٱلعالمين ۝
2.  ”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.
Alhamdulillahi” (segala puji bagi Allah), pujian kepada Allah karena sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, yang berhak dipuji hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada makhluk yang berhak dipuji, haram hukumnya manusia ingin dipuji.
Dalam salah satu keterangan, beribadah atau beramal karena arah manusia, dalam arti ingin dipuji manusia, dikategorikan sebagai syirik, disebut syirkun khofi (syirik yang samar). Makanya, jika ada yang memuji kepada kita, maka kita harus waspada, harus hati-hati jangan sampai terpedaya, segera kembalikan pujian tersebut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Robbil ’alamin” (Tuhan semesta alam) yaitu yang merajai semua makhluk. Selain Allah, disebut alam, ”alamin” merupakan jama’ dari ”alam”, termasuk di dalamnya manusia, malaikat, jin, binatang, tumbuhan, langit, bumi dan yang lainnya, semuanya merupakan makhluk ciptaan Allah. Adanya alam ini merupakan tanda, merupakan bukti adanya Allah yang menciptakannya.
الرحمن ٱلرحيم۝
3.  ”Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Ar-Rahman” dan ”Ar-Rahim” sudah dijelaskan pada ayat pertama. Perlu ditambahkan di sini tentang makna ”rahmat Allah”, apa yang dimaksud dengan rahmat ?
Rahmat adalah ”iradatul khair liahlihi”, artinya ketetapan suatu kebaikan bagi ahli kebaikan. Surga diperuntukkan bagi orang-orang beriman dan bertaqwa, itu adalah rahmat Allah. Jadi masuk surga itu pada hakekatnya adalah karena mendapat rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya dari rahmat adalah laknat.
Kepada orang-orang beriman dan bertaqwa Allah menjanjikan akan senantiasa melimpahkan rahmat-Nya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :فٱذكرونى أذكركم       
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu”
Allah akan senantiasa ingat kepada hamba-Nya yang berdzikir mengingat-Nya. Allah akan mengingat hamba-Nya maksudnya Allah akan senantiasa melimpahkan rahmat kepada orang tersebut. Bagi orang-orang beriman yang dicintai Allah, apapun yang menimpa dirinya semuanya adalah rahmat, bukan adzab/laknat. Tidak ada orang beriman yang dicintai Allah yang mendapat laknat. Baik yang menimpanya berupa nikmat maupun musibah, pada hakikatnya hal itu adalah rahmat Allah baginya.
Contoh (1) : Musibah Tsunami di Aceh, bagi orang-orang beriman yang dicintai Allah bukanlah adzab, tetapi tetap merupakan rahmat Allah, karena orang-orang yang beriman dan bertaqwa yang meninggal dunia karena musibah itu dikategorikan sebagai mati syahid, jaminannya di sisi Allah adalah Surga.
Contoh (2) : Suatu ketika Khalifah Umar Ibnu Khattab menuju ke Syam. Di tengah perjalanan mendapat musibah, untanya mendadak sakit dan tidak bisa berjalan sehingga harus diobati dulu dan beliau tertahan di tengah perjalanan. Setelah tiga hari, dengan idzin Allah unta tersebut sembuh sehingga Khalifah bisa meneruskan perjalanan. Sesampainya di Syam, para sahabat berkata kepada beliau “barokallahu laka”-“barokallahu laka” (Allah telah merahmati engkau). Ternyata di Syam telah terjadi huru-hara / pertempuran dan Umar Ibnu Khattab terhindar dari huru-hara tersebut dengan idzin Allah yang memberikan musibah berupa sakitnya unta di perjalanan.

Tanya :
Saya sholat di belakang imam yang tidak mengeraskan bacaan basmalah ketika membaca surat Al-Fatihah, bagaiman hukumnya ?
Jawab :
Ada dua kelompok pendapat mengenai basmalah, ada yang berpendapat bahwa basmalah merupakan salah satu surat Al-Fatihah, dan ada yang berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah tetapi Al-Fatihah tetap sebagai As-Sab’ul Masani” karena ”shirathol ladzina . . .” adalah 2 ayat, bukan satu ayat.
Kalau ada imam tidak mengeraskan basmalah (seperti imam di Masjidil Haram) maka ada 2 kemungkinan :
·      Mengikuti pendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah sehingga tidak dikeraskan ketika membacanya.
·      Meyakini bahwa basmalah merupakan salah satu surat Al-Fatihah, hanya saja membacanya tidak dikeraskan.
Sholatnya tetap sah karena masing-masing ada landasan hukumnya.
ملك يوم ٱلدين ۝
4.    ”Yang menguasai di hari Pembalasan”.
Maliki yaumiddin” dengan tidak memanjangkan mim, maka artinya ”yang merajai di hari Pembalasan”. Di dunia ini, pada hakekatnya Allah adalah raja yang seungguhnya, tapi secara dhahir di dunia ini ada raja-raja atau penguasa. Nanti di hari kiamat / di hari Pembalasan tidak ada raja atau penguasa walaupun hanya secara dhahir, kecuali hanya satu raja yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maaliki yaumiddin” dengan memanjangkan mim, maka artinya ”yang memiliki hari Pembalasan”, maksudnya yang memiliki dan menguasai segala urusan di hari Pembalasan. Hanya Allah yang menguasai dan mengatur segala urusan pada hari itu, tidak ada intervensi seperti hukum di dunia. Dalam QS. Ar-Ra’d Allah berfirman :  “. . . sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu.” Namun hal itu tidak ada gunanya, selanjutnya Allah berfirman : “Orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman”.
Yaumiddin” (hari Pembalasan) : hari yang pada waktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.

۝ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
5. “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.

Dalam tata Bahasa Arab, lazimnya susunan kalimat adalah fi’il - fa’il - maf’ul. Tetapi dalam ”Iyyaka na’budu”, maf’ul didahulukan, hal ini mengandung makna ikhtishash (khusus) sehingga diartikan ”Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”. Mengkhususkan hanya menyembah Allah adalah tauhid dalam beribadah, tidak boleh menyembah kepada selain Allah. Agama wahyu, sejak nabi Adam ’alaihis salam adalah sama, yaitu mengajarkan tauhid, menyembah hanya kepada Allah. Sedangkan yang mengajarkan menyembah selain Allah dan mengajarkan kemusyrikan adalah agama ra’yu (hasil pemikiran manusia). Adapun agama wahyu ada yang mengajarkan kemusyrikan, itulah penyelewengan dalam agama.
Wa iyyaka nasta’in” (dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan), mengkhususkan haya kepada Allah memohon pertolongan dalam rangka beribadah kepada-Nya. Allah mendahulukan ”na’budu” baru kemudian ”nasta’in” adalah sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah. Bagi orang-orang beriman, semua aktivitas baik ibadah mahdah maupun dalam berinteraksi dengan manusia di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, semuanya adalah ibadah, dalam rangka pengabdian kepada Allah, harus didasari dengan niat ikhlash karena Allah. Nah, dalam rangka melakukan semua aktivitas ibadah kita itulah, kita memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tanpa pertolongan Allah, kita tidak akan sanggup melaksanakannya, ”La haula wala quwwata illa billah”.
۝ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
6. “Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Ihdi” dalam tata bahasa Arab merupakan fi’il amar (perintah). Fi’il amar yang diidlafatkan kepada Allah bukan berarti perintah, tetapi bermakna do’a.
Ihdinash Shirothol mustaqim” mengandung makna ”Tunjukilah kami, ya Allah, ke jalan yang lurus, dan tetapkanlah kami selalu berada di jalan yang lurus”. Orang-orang yang mendapat petunjuk (muhtadin) adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan/menetapi/tetap di dalam petunjuk tersebut.
Apakah ”Shirothol mustaqim” (jalan yang yang lurus) itu ? Di dalam ayat selanjutnya Allah menjelaskan,
صراط ٱلذين ٲنعمت عليهم غير ٱلمغضوب عليهم ولا لضآلين ۝
7. ”(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Jalan yang lurus adalah ”Shirothol ladzina an’amta ’alaihim” (jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka). Yang dimaksud nikmat dalam kalimat ”an’amta ’alaihim” adalah hidayah (petunjuk), jadi orang-orang yang telah diberi nikmat adalah orang-orang yang telah mendapat hidayah, hal ini dikuatkan lagi dalam kelimat selanjutnya,
Ghoiril maghdlubi ’alaihim” (bukan (jalan) mereka yang dimurkai), dalam hal ini para ulama sepakat tentang maksud yang dimurkai (maghdlub) adalah orang-orang yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah karena selain tidak mengimani Nabi Isa ’alaihis salam, bahkan Nabi Isa dikejar-kejar dan mau dibunuh, juga tidak mengimani Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wa Sallam. Setelah kufur mereka bertambah kufur.
Waladl dlallin” (dan bukan mereka yang sesat). Para ulama menafsirkan bahwa ”adl-dlollin” (orang-orang yang sesat) adalah orang-orang nasrani, karena mereka telah menuhankan Nabi Isa, menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan, meyakini bahwa Maryam adalah Tuhan.

Sesungguhnya orang-orang yang mendapat hidayah, yang tetap berada di dalam shirothol mustaqim, bukanlah orang-orang yahudi dan bukan pula orang-orang nasrani, melainkan orang-orang yang tidak menyekutukan Allah (musyrik), tauhid beribadah hanya kepada Allah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran : 67)
”dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yaasin : 61)

Tanya Jawab :

1.  Bagaimana caranya agar kita bisa berada di jalan yang lurus (shirothol mustaqim) dan tetap senantiasa berada di jalan yang lurus selamanya ?
Jawab :
Para ulama berpendapat bahwa Al-Fatihah merupakan intisari dari Al-Qur’an, kita sebaiknya memahaminya secara utuh. Agar kita berada di jalan yang lurus dan tetap di dalamnya maka kita harus menerapkan makna surat Al-Fatihah dalam kehidupan kita. Mulai dari ayat ke-satu ”Bismillahirrahmanirrahiim”, segala perbuatan baik kita awali dengan menyebut nama Allah, tidak hanya di mulut, tetapi diresapi dalam hati bahwa kita melakukan hal tersebut semata-mata karena Allah. Kemudian ”Alhamdulillahi Robbil ’Alamin”, selesai melakukan segala sesuatu yang baik kita ucapkan pujian kepada Allah. Ketika kita mendapat nikmat sekecil apapun, jangan lupa itu adalah karunia dari Allah. ”Ar-Rahman Ar-Rahim” senantiasa mengharapkan rahmat dari Allah. ”Maliki yaumiddin” kita harus yakin akan adanya hari pembalasan, semua perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu ”Iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in” kita harus senantiasa beribadah hanya kepada Allah dan selalu memohon pertolongan Allah dalam segala perbuatan kita. Itulah yang akan mengantarkan kita ke jalan yang lurus dan tetap berada di dalamnya, sebagaimana permohonan kita dalam ”Ihdinash Shirothol Mustaqim”. Intinya, dalam kehidupan sehari-hari, kita mulai dengan nama Allah, berangkat atas perintah Allah, di dalam prosesnya kita ikhlash karena Allah, yang kita harap rahmat Allah, dan yang akan menghukumi perbuatan kita di hari kiamat kelak adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya kalau dari awal saja kita sudah salah, niat kita bukan karena Allah, misalnya sholat karena ingin dipuji, menjabat karena materi, bekerja karena uang, menikah karena manusia, maka hal itu tidak akan mengantarkan ke shirothol mustaqim.
2.  Mengenai ayat ke-dua bahwa segala puji milik Allah, manusia tidak pantas dipuji. Namun dalam kehidupan sehari-hari di rumah maupun di tempat kerja, kita selalu berhadapan dan menjumpai adanya pujian. Bagaimana sikap kita menghadapi pujian yang diberikan orang lain kepada kita ?
Jawab :
Dalam kehidupan sehari-hari ada pujian yang bersifat penghargaan (Ats-Tsana'), menghargai hasil karya atau perbuatan baik. Hal ini sering dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau sangat pemurah dalam memberikan pujian terhadap sikap, perilaku dan perbuatan para sahabat. Jadi hal ini diperbolehkan bahkan dianjurkan. Namun ada juga pujian yang mempunyai maksud lain, ada udang di balik batu, biasanya hal-hal yang dipuji mengenai fisik/penampilan seseorang atau mengenai harta/kekayaannya, hal ini tidak dicontohkan. Sikap kita terhadap pujian biasa saja yang penting kita tidak boleh mengharapkan pujian, terlebih lagi terhadap pujian jenis ke-dua kita harus berhati-hati. Segera kembalika pujian kepada yang berhak dipuji yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengucapkan hamdalah.


Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat
 

Baca juga artikel terkait :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sampaikan tanggapan anda di kolom komentar, terimakasih.