Senin, 28 Januari 2013

Hikmah Sunnah : Dilarang Meniup Air Minum


Makan dan minum bagi seorang muslim sebagai sarana untuk menjaga kesehatan badannya supaya bisa manegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya dia berusaha agar makan dan minumnya mendapatkan pahala dari Allah. Caranya, dengan senantiasa menjaga kehalalan makanan dan minumanya serta menjaga adab-adab yang dituntunkan Islam.
 Makan dan minum seorang muslim tidak  sebatas aktifitas memuaskan nafsu, menghilangkan lapar dan dahaga semata. Karenanya, seorang muslim apabila tidak lapar maka dia tidak makan dan apabila tidak haus, dia tidak minum. Hal ini seperti yang diriwayatkan dari seorang sahabat,
نَحْنُ قَوْمٌ لاَ نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ وَإِذَا أَكَلْنَا لاَ نَشْبَعُ
Kami (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.

Dari sini, maka seorang muslim dalam makan dan minumnya senantiasa memperhatikan adab Islam yang telah dicontohkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam agar bernilai ibadah. Dan di antara adabnya adalah tidak bernafas dan meniup minuman. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits, di antaranya dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)
Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk bernafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Al-Tirmidzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)
Dan juga hadits Abu Sa'id al-Khudri radliyallah 'anhu, “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk meniup di dalam air minum.” (HR. al-Tirmidzi no. 1887 dan beliau men-shahih-kannya)
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu."
Dalam Zaadul Ma'ad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupnya.”

Apa Hikmahnya?
Apa hikmahnya, sering menjadi pertanyaan kita sebelum mengamalkannya. Padahal dalam menyikapi tuntunan Islam hanya sami'na wa atha'na (kami mendengar dan kami taat), tanpa harus terlebih dahulu mengetahui hikmahnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin al-Khathab sesudah mencium hajar Aswad, "Sesungguhnya aku tahu engkau hanya seonggok batu yang tidak bisa menimpakan madharat dan tidak bisa mendatangkan manfaat. Kalau seandainya aku tidak melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menciummu, pasti aku tidak akan menciummu." (HR. Al-Bukhari no. 1494 dan Muslim no. 2230)

Namun yang jelas bahwa setiap yang disyariatkan dan dituntunkan oleh Islam pasti mendatangkan kebaikan dan setiap yang dilarangnya pasti mendatangkan madharat. Dan apabila seorang muslim mengetahui hikmah dari sebuah syariat, maka dia akan semakin mantap dalam mengamalkannya. Dan apabila belum mampu menyingkapnya, maka keterangan dari Al-Qur'an dan Sunnah sudah mencukupi.
Di antara hikmah larangan meniup minuman yang masih panas adalah karena nanti struktur molekul dalam air akan berubah menjadi zat asam yang membahayakan kesehatan.
Sebagaimana yang diketahui, air memiliki nama ilmiah H20. ini berarti di dalam air terdapat 2 buah atom hidrogen dan satu buah atom oksigen yang mana 2 atom hidrogen tersebut terikat dalam satu buah atom oksigen. Dan apabila kita hembus napas pada minuman, kita akan mengeluarkan karbon dioksida (CO2). Dan apabila karbon dioksida (CO2) bercampur dengan air (H20), akan menjadi senyawa asam karbonat (H2CO3). Zat asam inilah yang berbahaya bila masuk kedalam tubuh kita.
Senyawa H2CO3 adalah senyawa asam yang lemah sehingga efek terhadap tubuh memang kurang berpengaruh tapi ada baiknya kalau kita mengurangi masuknya zat asam kedalam tubuh kita karena dapat membahayakan kesehatan.
Dari sini juga semakin jelas hikmah dari larangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam agar ketika minum seteguk demi seteguk, jangan langsung satu gelas sambil bernapas di dalam gelas. Hal ini karena ketika kita minum langsung banyak, maka ada kemungkinan kita akan bernapas di dalam gelas, yang akan menyebabkan reaksi kimia seperti di atas.

* * *
Sumber : Blog pembinaanpribadi
Semoga bermanfaat

Sabtu, 26 Januari 2013

Ibanatul Ahkam 22-Jan-2013


Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab Adzan
Pemateri : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Hadits ke-156 :
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لِبِلَالٍ : "إِذَا أَذَّنْتَ فَتَرَسَّلْ  وَإِذَا أَقَمْتُ فَاحْدُرْ وَاجْعَلْ بَيْنَ أَذَانِكَ وَإِقَامَتِكَ قَدْرَ مَا يَفْرُغُ اَلْآكِلُ مِنْ أَكْلِهِ". اَلْحَدِيثَ رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَضَعَّفَهُ.
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada Bilal: "Jika engkau menyeru adzan perlambatlah dan jika engkau iqomah percepatlah dan jadikanlah antara adzan dan iqomahmu itu kira-kira orang yang makan telah selesai dari makannya." Hadits diriwayatkan dan dianggap lemah oleh Tirmidzi.

Makna Hadits :
Karena adzan bertujuan memberitahukan masuknya sholat kepada orang yang tinggal jauh dari masjid, maka Rasulullah SAW menganjurkan supaya adzan dilakukan secara tartil (perlahan-lahan) sebab cara tersebut lebih memungkinkan sampai kepada mereka yang tinggal jauh dari masjid. Sedangkan iqamah bertujuan memberitahukan kepada para hadirin bahwa sholat tidak lama lagi akan didirikan, maka iqamah dilakukan dengan cepat dengan tujuan segera melakukan tujuan yang paling utama, yaitu melaksanakan sholat fardlu.
Rasulullah SAW memerintahkan supaya ada jarak waktu antara adzan dengan iqamah untuk memberi kesempatan agar orang yang mendengarnya bersiap sedia untuk menghadiri sholat secara berjamaah. Ini merupakan salah satu rahmat bagi kaum muslimin. Nabi SAW melarang mereka melakukan iqamah sebelum imam sholat hadir di dalam masjid. Ini bertujuan jamaah tidak terlampau lama menunggu pelaksanaan sholat dalam keadaan berdiri sekiranya ada halangan yang melambatkan kedatangan imam menunaikan solat secara berjamaah.
Fiqih Hadits :
1.      Disyariatkan tartil ketika mengumandangkan adzan,yaitu tenang dan perlahan ketika menyampaikannya, agar dapat didengar oleh mereka yang tinggal jauh dari masjid.
2.      Disyariatkan cepat dalam melakukan iqamah, kerana iqamah ditujukan kepada orang yang telah hadir di dalam masjid. Jadi, ia lebih tepat jika dilakukan dengan cara yang cepat supaya dapat segera mengerjakan solat yang merupakan tujuan utama di balik iqamah itu.
3.      Disunatkan memberikan jarak waktu antara adzan dengan iqamah untuk bersiap sedia menghadiri solat berjamaah dan manfaat adzan tidak disia-siakan.
4.      Disyariatkan mengawasi juru adzan dan mengajarkannya etika dalam mengumandangkan adzan.

Hadits ke-157 :
وَلَهُ: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَا يُؤَذِّنُ إِلَّا مُتَوَضِّئٌ. وَضَعَّفَهُ أَيْضًا
Dalam riwayatnya (Tirmidzi) pula dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak diperkenankan adzan kecuali orang yang telah berwudlu." Hadits tersebut juga dinilai lemah.

Makna Hadits :
Adzan adalah berdzikir kepada Allah. Jadi, sepatutnya seseorang yang hendak mengumandangkannya berada dalam keadaan berwudlu. Tetapi ulama masih berselisih pendapat mengenai hal ini, apakah hukumnya wajib atau tidak.
Fiqih Hadits :
Disunahkan bersuci untuk mengumandangkan adzan. Tetapi apabila adzan atau iqamah itu dilakukan oleh orang yang berhadats kecil atau berhadats besar, maka tetap dibolehkan, meskipun makruh hukumnya di sisi jumhur ulama.
Imam Malik mengatakan bahawa adzan boleh dilakukan meskipun dalam keadaan tidak berwudlu, tetapi iqamah tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang sudah berwudlu. Jika adzan dilakukan oleh orang yang berjunub, maka ada dua riwayat menurut Imam Malik. Tetapi hal tersebut dibolehkan menurut pendapat kebanyakan ulama.

Hadits ke-158 :
وَلَهُ: عَنْ زِيَادِ بْنِ اَلْحَارِثِ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: وَمَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيمُ. وَضَعَّفَهُ أَيْضًا
Dalam riwayatnya (Tirmidzi) yang lain dari Ziyad Ibnul Harits bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "barangsiapa yang telah adzan maka dia yang akan iqomah." Hadits ini juga dinilai lemah.

Makna Hadits :
Mengumandangkan iqamah adalah hak bagi orang yang mengumandangkan adzan dengan pertimbangan dia telah menyeru orang yang jauh untuk mengerjakan sholat, oleh karena itu seruannya kepada orang yang dekat adalah lebih diutamakan. Tetapi ini bukan merupakan kewajiban sehingga apabila ditinggalkan mengakibatkan iqamah batal, tetapi sebaliknya hal ini adalah sunat mu’akkad supaya dialah yang melakukan iqamah demi menghargai haknya sebagai muadzdzin. Jika iqamah dilakukan oleh orang lain, maka hal itu tetap dibolehkan sebagaimana yang akan ditegaskan  dalam hadis no. 159.
Fiqih Hadits :
1.      Iqamah adalah hak bagi orang yang adzan.
2.      Hak mengandung pengertian wajib dan sunah mu’akkad. Namun makna yang dimaksud di sini adalah suna mu’akkad berdasarkan hadis yang akan di-sebutkan berikutnya.
 

Kamis, 24 Januari 2013

Peringatan Maulid Nabi SAW


Siapakah Muhammad SAW?

Hari ini, Kamis 12 Rabiul Awal 1434 H, banyak kalangan umat Islam di tanah air yang memperingatinya sebagai hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Memang tidak semuanya, karena ada juga yang tidak menganjurkannya, bahkan mem-bid’ah-kannya. Apalagi, tanggal 12 Rabiul Awal yang dianggap sebagai hari kelahiran Nabi SAW masih banyak yang mempertanyakan keakuratannya.
Namun, terlepas dari semua itu, peringatan Maulid Nabi SAW tetap sarat hikmah. Tentu sangat layak bagi kita untuk merenungkan kembali keteladanan Nabi SAW yang sempurna baik sebagai pribadi, pemimpin keluarga maupun pemimpin negara. Juga penting kita renungkan sejauh mana kita meneladani Rasul SAW dan benarkah kita sudah memuliakan dan mengagungkan beliau, atau jangan-jangan bahkan kitapun belum mengenal beliau.

Siapakah Muhammad SAW? Bagaimana menggambarkan sosok Muhammad SAW?
Muhammad SAW sangat dihormati kaumnya, bahkan jauh sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah. Untuk memperoleh rasa hormat dari pengikutnya, Muhammad SAW tentu harus dianggap oleh pengikutnya itu sebagai suatu personifikasi sempurna dari model ideal tradisional tentang pemimpin Arab, yaitu : seseorang yang memelihara hubungan baik dengan kerabatnya, menolong orang miskin dan kekurangan, melayani tamunya dengan baik, dan menolong mereka yang tertimpa musibah. Muhammad SAW mestilah, seperti yang diriwayatkan hadits, seseorang dengan integritas tinggi, keturunan baik dan keberanian, sebab orang Arab tidak dapat menerima kurang dari itu. Kata-katanya harus setegas baja, jika dia memutuskan tindakan dia tanpa kompromi akan melakukannya, untuk mampu meraih kepercayaan total para sahabat.
Tapi untuk menjadi pilihan Tuhan, untuk mendapatkan cinta pengikutnya tanpa pamrih, untuk merubah masyarakat dan sejarah, Muhammad SAW pastilah lebih hebat daripada cita-cita ideal orang Arab. Dia pasti memiliki jenis kepedulian, kasing sayang, dan kejiwaan yang hanya sedikit kita miliki dalam jiwa kita. Untuk pastinya, Muhammad SAW bukanlah anak bunga, dia akan melaksanakan hukum Tuhan dengan tegas dan tidak memihak. Ketika beberapa sahabat memohon beliau untuk membuat pengecualian dalam hukuman bagi wanita bangsawan yang melakukan pencurian, dia menjawab bahwa jika putrinya yang paling ia sayangi, Fatimah, melakukan hal yang sama, dia sendiri yang menjamin akan memotong tangan putrinya itu. Di pihak lain, ketika terdapat sedikit ruang kesangsian atau suatu jalan untuk pengampunan, dia akan menundanya. Contohnya adalah ketika dia memberikan seorang pezina tiga kesempatan untuk menarik pengakuannya atau ketika dia mengumumkan satu pengampunan setelah penaklukannya di Mekah.
Muhammad SAW juga memiliki perasaan sensitif untuk mengetahui kapan serta bagaimana untuk berlaku tinggi dan rendah hati terhadap orang-orang di sekitarnya, termasuk dirinya sendiri, dengan kejujuran yang sempurna. Setelah kemenangan di Hunain, Rasul SAW melihat bahwa kaun Anshar, yang melindunginya dan mendukungnya di kala tidak satu masyarakatpun mau, yang telah mengorbankan jiwa mereka untuk mempertahankan risalahnya selama tahun-tahun gawat, merasa diabaikan dalam pembagian rampasan ketika Rasul ”melewati” mereka demi muallaf baru Mekah yang selama ini menjadi musuhnya. Berkembang perasaan di kalangan kaum Anshar bahwa setelah kemenangan ini, perhatian dan kasih sayang Muhammad SAW akan kembali sepenuhnya kepada kerabatnya. Muhammad SAW kemudian memanggil kaum Anshar untuk rapat pribadi dan mengatakan kepada mereka hal ini :
Aku telah diberitahu bahwa kalian tidak puas pada keberpihakanku terhadao ketua-ketua Quraisy.” ”Ya,” jawab mereka, ”ada beberapa di antara kami yang berbicara seperti itu.” Lalu Rasulullah SAW berkata, ”Bukankah dulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian? Bukankah  kalian dulu miskin lalu Allah membuat kalian kaya, juga menyatukan hati kalian?” Sambil menundukkan kepala mereka karena malu, mereka menjawab bahwa semua itu benar. ”Demi Allah, kalian juga dapat menjawab lain dan kalian tidak akan disalahkan. Kalian dapat mengatakan bahwa aku datang kepada kalian ketika aku dihina dan ditolak oleh kaumku sendiri dan kalian menerimaku, aku datang kepada kalian ketika orang lain tidak menolongku dan kalian membelaku, aku ditolak di rumahku dan kalian memberiku tempat berteduh. Wahai kaum Anshar! Apakah di dalam hati kalian masih membersit hasrat keduniaan, yang dengan keduniaan itu aku hendak mengambil hati segolongan orang yang baru masuk Islam, sedangkan terhadap keislaman kalian aku sudah percaya? Wahai kaum Anshar, apakah kalian tidak berkenan di hati jika orang-orang lain pergi membawa domba dan onta sedangkan kalian membawa pulang Rasul Allah ke tempat tinggal kalian? Demi yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah tentu aku termasuk orang-orang Anshar. Jika orang-orang menempuh suatu jalan di celah gunung dan orang-orang Anshar menempuh suatu celah gunung yang lain, tentu aku memilih celah yang ditempuh orang-orang Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar dan cucu orang-orang Anshar.” Tidak perlu dikatakan lagi, pada saat beliau selesai bicara, muncul ledakan kegembiraan dan air mata haru yang spontan pada khalayak.

* * *
Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat