Senin, 24 Desember 2012

Kekuatan Maaf Rasulullah SAW


Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah dengan tujuan hendak membunuh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal itu.
Dengan semangat meluap-luap ia mencari majlis Rasulullah, langsung didatanginya untuk melaksanakan maksud tujuannya. Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab ra. yang melihat gelagat buruk pada penampilannya menghadang.
Umar bertanya, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?”
Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab, “Aku datang ke negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad!”.
Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah.
Rasulullah segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya, “Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?”.
Para shahabat Rasul yang ada disitu tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah.
Maka Umar memberanikan diri bertanya, “Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!”
Namun Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar. Beliau berkata, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu”.
Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah. Setelah memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, “Ucapkanlah Laa ilaha illallah (Tiada ilah selain Allah).”
Si musyrik itu menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya!”.
Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.”
Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengucapkannya!”
Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi.
Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negerinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri. Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muahammad Rasul Allah.”
Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?”
Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Robbul Alamin.”
Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, “Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah.”

* * *
Sahabat .....
Apakah kita pengikut ajaran beliau? Tetapi sejauh mana kita bisa memaafkan kesalahan orang? Seberapa besar kita mencintai sesama? kalau tidak, kita perlu menanyakan kembali ikrar kita yang pernah kita ucapkan sebagai tanda kita pengikut beliau .....
Sungguh, beliau adalah contoh yang sempurna sebagai seorang manusia biasa. Beliau adalah Nabi terbesar, beliau juga adalah Suami yang sempurna, Bapak yang sempurna, pimpinan yang sempurna, teman dan sahabat yang sempurna, tetangga yang sempurna. maka tidak salah kalau Allah mengatakan bahwa Beliau adalah teladan yang sempurna.
Semoga Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau, junjungan dan teladan kita yang oleh Allah telah diciptakan sebagai contoh manusia yang sempurna. Salam ’alaika ya Rasulullah .....
. . .

Sumber : rumah-yatim-indonesia
Ditulis kembali oleh : Fajar Shiddiq untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat .....
 

Minggu, 09 Desember 2012

Ibanatul Ahkam, 4 Des 2012

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab Adzan
Pemateri : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Hadits ke-143 :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ رضي الله عنه قَالَ: ( طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ: "اَللَّهُ أَكْبَرَ اَللَّهِ أَكْبَرُ فَذَكَرَ اَلْآذَانَ - بِتَرْبِيع اَلتَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ وَالْإِقَامَةَ فُرَادَى إِلَّا قَدْ قَامَتِ اَلصَّلَاةُ - قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: "إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ..." )  اَلْحَدِيثَ. أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ.
وَزَادَ أَحْمَدُ فِي آخِرِهِ قِصَّةَ قَوْلِ بِلَالٍ فِي آذَانِ اَلْفَجْرِ: ( اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ اَلنَّوْمِ )
وَلِابْنِ خُزَيْمَةَ: عَنْ أَنَسٍ قَالَ: ( مِنْ اَلسُّنَّةِ إِذَا قَالَ اَلْمُؤَذِّنُ فِي اَلْفَجْرِ: حَيٌّ عَلَى اَلْفَلَاحِ قَالَ: اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ اَلنَّوْمِ )
Dari Abdullah Ibnu Zaid Ibnu Abdi Rabbih radliyallaahu ‘anhu berkata: “Waktu saya tidur (saya bermimpi) ada seseorang mengelilingi saya seraya berkata: “Ucapkanlah "Allahu Akbar Allahu Akbar lalu ia mengucapkan adzan dengan takbir sebanyak empat kali tanpa pengulangan dan mengucapkan iqomat sekali kecuali "qod Qoomatish sholaat"”. Ia berkata: “Ketika telah shubuh aku menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya ia adalah mimpi yang benar."… hingga akhir hadits. Dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.
Dan Imam Ahmad menambahkan pada akhir hadits tentang kisah ucapan Bilal dalam adzan Shubuh: "Ash-shalaatu khairum minan nauum (Shalat itu lebih baik daripada tidur.)"
Menurut riwayat Ibnu Khuzaimah dari Anas radliyallaahu ‘anhu ia berkata: “Termasuk sunnah adalah bila muadzin pada waktu fajar setelah membaca “hayya 'alash sholaah” ia mengucapkan ”assholaatu khairum minan naum.”
Makna Hadits :
Ketika tahun pertama Nabi (s.a.w) berhijrah ke Madinah, kekuatan kaum muslimin semakin mantap dan para pengikutnya kian bertambah banyak. Mereka mula bermusyawarah mengenai sesuatu yang patut digunakan untuk memberitahu masuknya waktu solat agar mereka segera berkumpul di dalam untuk mengerjakan solat secara berjamaah.
Ada di antara mereka yang mengusulkankan nyala api, loceng dan terompet, tetapi di antara sekian saran tersebut tidak ada satu pun yang dapat diterima, karena semua itu merupakan syiar yang diambil daripada agama Majusi, Nasrani maupun Yahudi. Setelah tidak memperoleh kata sepakat, mereka pun kembali pulang menuju tempat tinggal mereka masing-masing, dalam keadaan mereka masih memikirkan masalah yang mereka hadapi ini.
Abdullah ibn Zaid dalam mimpinya melihat seorang lelaki sedang membawa loceng. Abdullah berkata kepadanya: “Apakah engkau berminat menjual loceng itu?” Lelaki itu berkata: “Apa yang hendak engkau lakukan dengan loceng ini?” Abdullah menjawab: “Untuk menyeru kaum muslimin melakukan solat.” Lelaki itu berkata: “Maukah engkau jika aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik daripada itu?” Abdullah menjawab: “Tentu.” Lelaki itu berkata: “Ucapkanlah, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, ...” hingga akhir azan.
Analisis Lafadz :
الأذن, menurut bahasa adalah pemberitahuan, sedangkan menurut syara’ ialah pemberitahuan tentang masuknya waktu sholat atau waktu sudah menghampiri waktu fajar dengan menggunakan dzikir khusus. Adzan disyariatkan di Madinah sesudah hijrah.
الإقامة, merupakan masdar yang berasal dari perkataan أقام yang bermaksud mendirikan sedangkan menurut syara’ adalah pemberitahuan untuk mendirikan sholat (mengerjakannya) dengan dzikir yang khusus.
بتربيع التكبير, dengan mengulangi bacaan takbir sebanyak empat kali.
بغير ترجيع, tanpa tarji (pengulangan). Yang dimaksud dengan tarji’ ialah mengulangi ucapan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali dengan suara yang keras sesudah mengucapkan keduanya sebanyak dua kali dengan suara yang lirih.
فرادى, tanpa mengulangi bacaan kalimatnya.
الا قدقامت الصلاة, kecuali kalimat “Qad qaamatish shalaat” diulangi sebanyak dua kali.
انها لرؤيا حق, sesungguhnya mimpimu itu benar-benar mimpi yang hak, yakni mimpi yang benar.
الحديث, hingga akhir hadits. Hadits ini secara lengkapnya menurut riwayat yang dikemukakan oleh Abu Dawud melalui Muhammad ibn Abdullah ibn Zaid Abd Rabbih, bahwa ayahku telah menceritakan kepadaku hadits berikut :
“Ketika Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam menyuruh supaya loceng digunakan untuk mengumpulkan orang banyak menuju tempat sholat, maka dalam tidurku aku bermimpi bertemu dengan seorang lelaki yang mengelilingiku. Dia membawa sebuah loceng di tangannya. Maka aku berkata: “Hai hamba Allah, apakah engkau bersedia menjual locengmu itu?” Lelaki itu berkata: “Apakah yang hendak engkau kerjakan dengan loceng ini?” Aku menjawab: “Kami ingin menggunakannya untuk menyeru kepada solat.” Lelaki itu berkata: “Maukah engkau jika aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik dari itu?” Aku menjawabnya: “Tentu.” Dia berkata: “Engkau ucapkan : Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Asyhadu an Laailaaha illallaah, Asyhadu an Laailaaha illallaah, Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah, Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah, Hayya ’alash Sholaah, Hayya ’alash Sholaah, Hayya ’alal Falaah, Hayya ’alal Falaah, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laailaaha illallaah.” Kemudian dia mundur dariku sedikit, lalu berkata: “Engkau ucapkan apabila hendak mendirikan solat, : Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Asyhadu an Laailaaha illallaah, Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah, Hayya ’alash Sholaah, Hayya ’alal Falaah,Qoa Qoomatish Sholaah, Qod Qoomatish Sholaah, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Laailaaha illallaah.” Pada keesokan harinya, aku datang menghadap Rasulullah Shallallaau ’alaihi wa Sallam, lalu aku menceritakan kepadanya apa yang telah kumimpikan tadi malam. Mendengar hal itu, baginda bersabda : “Sesungguhnya mimpimu itu benar-benar mimpi yang hak. Sekarang bangkitlah kamu bersama Bilal dan ajarkan dulu apa yang telah kamu ketahui itu kepadanya, kemudian suruhlah dia mengumandangkannya, karena suaranya lebih keras dari suaramu.” Maka aku bangkit bersama Bilal dan aku mengajarkan kepadanya lafadz adzan itu. Setelah itu, dia menyerukannya (kepada orang banyak). Abdullah ibnu Zaid melanjutkan kisahnya: “Lalu lafadz itu kemudian didengar oleh Umar ibn al-Khaththab radliyallaahu ’anhu. Ketika itu dia berada di dalam rumahnya, lalu dia segera keluar seraya menarik selendangnya dan berkata: “Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun telah memimpikan hal yang sama.” Maka Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wa Sallam bersabda: “Hanya milik Allah segala pujian itu.
Muhammad ibn Abdullah ibn Zaid Abd Rabbih al-Ansari al-Madani, beliau mengambil riwayat dari ayahnya dan Abu Mas’ud al-Badri. Nu’aim al-Mijmar dan Muhammad ibn Ibrahim al-Taimi mengambil riwayat darinya (Muhammad ibn Abdullah). Ibn Hibban menilainya sebagai seorang yang tsiqah (dapat dipercaya).

Fiqih Hadits :
1.      Dianjurkan mengutamakan urusan agama dan tidak menggunakan syiar agama ahli kitab.
2.      Disyariatkan bermusyawarah dalam menangani masalah-masalah penting dan orang yang dipimpin hendaklah mengemukakan pendapat dan saran kepada pemimpin demi kemaslahatan umum, kemudian pemimpin hendaknya melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan kemaslahatan itu.
3.      Nabi Shallallaahu ’alaihi wa Sallam, dibolehkan untuk melakukan ijtihad.
4.      Disyariatkan adzan. Hikmahnya adalah menegakkan syiar Islam, memberitahu masuknya waktu sholat dan tempat di mana adzan itu dikumandangkan dan sebagai seruan untuk melaksanakan sholat secara berjamaah.
Adzan mencakup akidah iman dan mengandung kedua jenisnya, yaitu aqliyat dan sam’iyat. Adzan diawali dengan menetapkan Zat Allah dan segala sesuatu yang berhak disandangnya berupa kesempurnaan dan kemahasucian dari hal-hal yang sebaliknya dengan mengucapkan Allahu Akbar.
Kemudian ditetapkan pula sifat keesaaan dan menafikan segala bentuk sekutu yang mustahil bagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Ini merupakan tiang iman dan tauhid yang mesti didahulukan ke atas semua kewajiban agama yang lain.
Setelah itu ditetapkan pula bukti-bukti yang menetapkan kenabian, mengakui kerasulan Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wa Sallam. Ini merupakan asas kedua setelah syahadah al-tauhid. Dengan keyakinan seperti ini, maka sempurnalah semua akidah aqliyah.
Kemudian dikumandangkan kalimat yang menyeru kaum muslimin untuk mengerjakan ibadah, yaitu ibadah solat. Ini disebut setelah mengakui kerasulan dan kenabian Muhammad Shallallaahu ’alaihi wa Sallam karena kewajiban ibadah itu diketahui berdasarkan ajaran Nabi Shallallaahu ’alaihi wa Sallam, bukan berlandaskan akal.
Sesudah itu kaum muslimin diseru untuk menuju kejayaan dan kebahagiaan, yaitu perkara-perkara yang bisa menghantarkan mereka menuju kejayaan dan keabadian dalam nikmat yang kekal. Di dalam seruan ini terdapat satu isyarat di mana kaum muslimin perlu sentiasa mengingat akhirat berupa hari kebangkitan dan hari pembalasan.
Kemudian kalimat-kalimat ini diulangi dalam iqamah sholat untuk memberitahukan bahwa sholat hendak dimulai. Pemberitahuan ini mengandung makna yang mengukuhkan keimanan. Mengulangi semula sebutan kalimat-kalimat tersebut ketika hendak mengerjakan solat supaya hati dan lisan seseorang mengetahui apa yang hendak dikerjakannya. Dengan iman itu, dia merasakan keagungan ibadah yang hendak dikerjakan, merasakan keagungan Allah yang disembahnya dan bakal memperoleh pahala yang berlimpah daripada-Nya.
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum adzan. Imam Ahmad mengatakan bahwa adzan adalah fardu kifayah ketika hendak mengerjakan solat lima waktu secara ada’an, namun sholat fardu lima waktu yang dilakukan secara qadha’an tidak diperlukan adzan. Adzan dilakukan oleh kaum lelaki yang hendak mengerjakan sholat berjamaah, baik di kota maupun di kampung, dan dalam keadaan mukim, bukan dalam keadaan musafir.
Imam al-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahawa hukum adzan adalah sunah bagi seseorang yang mengerjakan sholat fardu sendirian maupun berjamaah, baik ketika bermukim maupun ketika musafir.
Imam Malik berpendapat bahwa hukum adzan itu sunat kifayah bagi mereka yang hendak mengerjakan sholat secara berjamaah supaya mereka segera untuk berkumpul di masjid dan demikian pula di tempat-tempat yang biasanya dilaksanakan sholat berjamaah di dalamnya. Imam Malik mengatakan wajib kifayah mengumandangkan azan bagi orang yang berada di kota.
5.      Juru azan disunatkan mempunyai suara yang keras dan bagus.
6.      Disyariatkan membaca tatswib (Assholaatu khoirum minan naum) ketika mengumandangkan adzan Subuh secara khusus, namun sholat-sholat fardu selain itu tidak perlu membaca tatswib.