Kamis, 31 Mei 2012

Tafsir Surah Al-Baqarah 35-39

Kajian Tafsir Ibnu Katsir, Mei 2012
Pemateri : K.H. Aep Saefudin SAG
 Al-Baqarah  ayat 35-36 :
وقلنا يآدم اسكن  أنت وزوجك الجنة وكلا منها زغدا حيث شئتماۖ ولاتقربا هذه الشجرة فتكون من الظلمين. فأزلهم الشيطن عنها فأخرجهما مما كان فيه ۖ وقلناالهبطوا بعضكم لبعض عدوۚ ولكم فى الارض مستقر ومتاع الى حين.
"Dan Kami berfirman “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian sukai, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula, dan Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.”"


Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman memberitakan kehormatan yang dianugerahkan-Nya kepada Adam, sesudah memerintahkan kepada para malaikat untuk bersujud kepadanya, lalu mereka sujud kepadanya kecuali iblis. Bahwa Dia memperbolehkan baginya surga untuk tempat tinggalnya dimanapun yang dikehendakinya. Adam boleh memakan makanan yang dia sukai dengan leluasa, yakni dengan senang hati, berlimpah, dan penuh dengan kenikmatan.
Al-Hafidz Abu Bakar Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadits Muhammad Ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Salamah Ibnu Fadl, dari Mikail, dari Lais, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Dzar yang menceritakan hadits berikut :
قلت يارسول الله ارايت ادم انبيا كان؟ قال نعم نبيا رسولا يكلمه الله قبيلا -يعني عيانا- فقال اسكن انت وزوجك الجنة.
 Aku bertanya, “Bagaimanakah menurutmu Adam, apakah ia seorang nabi? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Ya, dia seorang nabi lagi rasul, Allah berbicara dengannya secara terang-terangan, dan Allah berfirman, “Diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini.

Surga yang ditempati oleh Adam ini masih diperselisihkan, apakah surga yang di langit atau surga yang di bumi? Kebanyakan ulama berpendapat yang pertama, yakni surga yang di langit. Al-Qurtubi meriwayatkan dari golongan mu’tazilah dan Qadariyah suatu pendapat yang mengatakan bahwa surga tersebut ada di bumi. Mengenai pembahasan ini secara rinci, insya Allah akan dikemukakan dalam tafsir surat Al-A’raf.
Konteks ayat menunjukkan bahwa Siti Hawa diciptakan sebelum Adam memasuki Surga, hal ini telah dijelaskan oleh Muhammad Ibnu Ishaq dalam keterangannya : Ketika Allah telah selesai dari urusan mencaci iblis, lalu Allah kembali kepada Adam yang telah Dia ajari semua nama-nama itu. Setelah itu ditimpakan rasa kantuk kepada Adam, kemudian Allah mengambil salah satu tulang iga sebelah kirinya dan menambal tempatnya dengan daging. Lalu Allah menjadikan tulang iganya itu istrinya, yaitu Siti Hawa, berupa seorang wanita yang sempurna agar Adam merasa tenang hidup dengannya. Ketika Adam terbangun, ia melihat Siti Hawa telah berada di sampingnya. Setelah Allah menikahkannya dan menjadikan rasa tenang dan tentram dalam diri Adam, maka Allah berfirman secara langsung kepadanya:
يآدم اسكن أنت وزوجك الجنة وكلامنها زغدا حيث شئتماۖ ولاتقرباهذه الشجرة فتكون من الظلمين.
"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim." (QS. Al-Baqarah : 35)

Menurut pendapat lain, penciptaan Siti Hawa terjadi sesudah Adam masuk surga, seperti yang dikatakan As-Saddi dalam salah satu riwayat yang diketengahkannya dari Abu Malik dan dari Abu Shaleh, dari Ibnu ‘Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, dan dari sejumlah sahabat. Setelah Iblis diusir dari surga dan Adam ditempatkan di dalam surga, maka Adam berjalan di dalam surga dengan perasaan kesepian karena tiada teman hidup yang membuat dia merasa tenang dan tentram dengannya. Kemudian Adam tidur sejenak. Ketika terbangun, ternyata di dekatnya terdapat seorang wanita yang sedang duduk. Allahlah yang telah menciptakannya dari tulang iga Adam. Lalu Adam bertanya, “Siapakah kamu?” Hawa menjawab, “Seorang wanita.” Adam bertanya, “Mengapa engkau diciptakan?” Hawa menjawab, “Agar kamu merasa tenang dan tentram bersamaku.” Para malaikat bertanya kepada Adam seraya menguji pengetahuan yang dicapai oleh Adam, “Siapakah namanya, hai Adam?” Adam menjawab, “Dia bernama Hawa.” Mereka bertanya lagi, “Mengapa dinamakan Hawa?” Adam menjawab, “Sesungguhnya ia dijadikan dari sesuatu yang hidup.” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يآدم اسكن أنت وزوجك الجنة وكلامنها زغدا حيث شئتماۖ
"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian sukai." (QS. Al-Baqarah : 35)

Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ولاتقرباهذه الشجرة
"Dan janganlah kamu berdua dekati pohon ini." (QS. Al-Baqarah : 35)
Hal ini merupakan pilihin dari Allah dan sengaja dijadikan-Nya sebagai ujian buat Adam. Para ulama berbeda pendapat mengenai pohon ini, ada yang mengatakan bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon anggur. Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah pohon gandum, ada juga yang mengatakan pohon kurma dan ada yang mengatakan pohon tin. Abu Ja’far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi’ Ibnu Anas, dari Abul ‘Aliyah, bahwa pohon tersebut bila dimakan oleh seseorang, maka orang yang bersangkutan akan mengalami hadats, sedangkan hadats tidak layak di dalam surga.
Abdul Razzaq mengatakan telah menceritakan kepada kami Umar Ibnu Adur Rahman Ibnu Mihran yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Wahab Ibnu Munabbih berkata, “Setelah Allah menempatkan Adam dan istrinya di dalam surga, lalu Dia melarangnya memakan buah tersebut. Buah tersebut berasal dari suatu pohon yang ranting-rantingnya lebat sekali sehingga sebagian darinya bersatu dengan yang lain. Buah tersebut dimakan oleh para malaikat karena mereka ditakdirkan kekal. Pohon inilah yang dilarang Allah dimakan oleh Adam dan istrinya.”
Berbagai pendapat di atas merupakan tafsir dari pohon tersebut. Imam Al-Allamah Abu Ja’far Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar dalam hal ini ialah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah melarang Adam dan istrinya untuk memakan buah dari suatu pohon di dalam surga, tetapi bukan seluruh pohon surga, dan ternyata Adam dan istrinya memakan buah yang terlarang baginya itu. Kami tidak mengetahui jenis pohon apa yang terlarang bagi Adam itu secara spesifik, karena Allah tidak memberikan satu dalilpun bagi hamba-hamba-Nya yang menunjukkan hal tersebut, baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalm sunnah yang shahih. Ada yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum, pendapat yang lain mengatakan pohon anggur, dan pendapat yang lainnya lagi mengatakan pohon tin. Memang, mungkin saja salah satu diantaranya ada yang benar, tetapi hal ini merupakan suatu ilmu yang tidak membawa manfaat bagi orang yang mengetahuinya, dan jika tidak mengetahuinya tidak membawa mudarat.” Hal yang sama dikuatkan pula olah Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya dan kitab-kitab lainnya, yakni pendapat yang memisterikan nama pohon yang terlarang tersebut, dan inilah pendapat yang benar.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فأزلهم الشيطن عنها.

"Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu." (QS. Al-Baqarah : 36)

Dapat diinterpretasikan bahwa dlamir yang terdapat di dalam firman-Nya, “Anhaa,” kembali ke surga. Atas dasr i’rab ini berarti makna ayat ialah lalu keduanya dijauhkan oleh setan dari surga, demikianlah menurut bacaan Atsim (yakni Fa-azallahumaa). Dapat pula diartikan bahwa dlamir tersebut kembali kepada madzkur yang paling dekat dengannya, yaitu asy-syajarah. Dengan demikian berarti makna ayat seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah ialah “maka setan menggelincirkan keduanya disebabkan pohon tersebut.” Pengertiannya sama dengan makna firman-Nya :

يؤفك عنه من أفكۗ.
"Dipalingkan darinya (rasul dan Al-Qur’an) orang yang dipalingkan." (QS. Adz-Dzariyaat : 39)
Karena itu dalam ayat selanjutnya Allah berfirman :
فأخرجهما مما كان فيه ۖ .
"Dan dikeluarkan dari keadaan semula," (QS. Al-Baqarah : 36)
Yakni semua kenikmatan, seperti pakaian, tempat tinggal yang luas, rezeki yang berlimpah, dan kehidupan yang enak.
وقلناالهبطوا بعضكم لبعض عدوۚ ولكم فى الارض مستقر ومتاع الى حين.
Dan Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Baqarah : 36)
Yakni tempat tinggal, rezeki, dan ajal. Yang dimaksud dengan ilaahiin ialah waktu yang terbatas dan yang telah ditentukan, kemudian terjadilah kiamat.

Al-Baqarah  ayat 37 :
فتلقى آدم من ربه كلمت فتاب عليهۗ انه هو التواب الرحيم.
"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Menurut suatu pendapat, ayat ini merupakan tafsir dan penjelasan dari ayat lainnya, yaitu firman-Nya :
قلا ربنا ظلمنا انفسنا وان لم تغفرلنا وترحمنا لنكونن من الخسرين.
Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kemi termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf : 23)
Hal ini diriwayatkan pleh Mujahid, Sa’id Ibnu Jubair, Abul Aliyah, Ar-Rabi’ Ibnu Anas, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad Ibnu Ka’b Al-Qurazi, Khalid Ibnu Ma’dan, Ata Al-Khurasani, dan Abdur Rahman Ibnu Zaid Ibnu Aslam.
Ibnu Abu Hatim dalam bab ini telah meriwayatkan sebuah hadits, beliau berkata, telah menceritakan kepada kami Ali Ibnul Husain Ibnu Isykab, telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Ashim, dari Sa’id Ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Ubay Ibnu Ka’b, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda :
“Adam ‘Alaihis Salam berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika aku bertobat dan kembali?Apakah Engkau akan mengembalikan diriku ke surga? Allah menjawab, “Ya.” Ang demikian  itu makna firman-Nya, “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya.”
Hadits ini berpredikat gharib ditinjau dari sanad ini, di dalamnya terdapat inqita’.
Abu Ja’far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi’ Ibnu Anas, dari Abul Aliyah, sehubungan dengan firman-Nya :
فتلقى آدم من ربه كلمت فتاب عليهۗ
"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya." (QS. Al-Baqarah : 37)
Disebutkan bahwa sesungguhnya setelah melakukan kesalahan, Adam berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika aku bertobat dan memperbaiki diriku?” Allah berfirman,  “Kalau begitu Aku akan memasukkan kamu ke surga.” Hal inilah yang dimaksud dengan pengertian ‘beberapa kalimat’. Termasuk ke dalam pengertian ‘beberapa kalimat’ ialah perkataan Adam yang disitir oleh firman-Nya :
ربنا ظلمنا انفسنا وان لم تغفرلنا وترحمنا لنكونن من الخسرين.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kemi termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf : 23)
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid yang mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan ‘beberapa kalimat’ ialah seperti berikut :
اللهم لااله الا انت سبحنك وبحمدك، رب اني ظلمت نفسي فاغغفرلي انك خيرالغافرين. اللهم لااله الا انت سبحنك وبحمدك، رب اني ظلمت نفسي فارحمني انك خيرالراحمين. اللهم لااله الا انت سبحنك وبحمدك، رب اني ظلمت نفسي فتب علي انك انت التواب الرحيم.
“Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, maha suci Engkau dengan memuji kepada-Mu. Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka berilah ampun bagi diriku, sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemberi ampunan. Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, maha suci Engkau dengan memuji kepada-Mu. Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka rahmatilah diriku, sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemberi rahmat. Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, maha suci Engkau dengan memuji kepada-Mu. Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka terimalah tobatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”

Firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala :
انه هو التواب الرحيم.
"Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah : 37)
Yakni sesungguhnya Dia menerima tobat orang yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Makna ayat  ini sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya :
“Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya.” (QS. At-Taubah : 104)
“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa : 110)
“Dan orang yan bertobat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya ia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan : 71)
Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengampuni semua dosa dan menerima tobat orang yang bertobat. Demikianlah sebagian dari kelembutan Allah kepada makhluk-Nya dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.

Al-Baqarah  ayat 38-39 :
قلناالهبطوا منها جميعاۚ فاما يأتينكم مني هدى فمن تبع هداي فلا خوف عليهم ولاهم يحزنون. والذين كفروا وكذبو بايتنآ اولئك اصحب النارۚ هم فيها خالدون.
"Kami berfirman, “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."


Allah Subhaanahu wa Ta’aala menceritakan tentang peringatan yang ditunjukan kepada Adam dan istrinya serta iblis, ketika mereka diturunkan dari surga. Yang dimaksud ialah anak cucunya, bahwa Allah kelak akan menurunkan kitab-kitab dan mengutus nabi-nabi serta rasul-rasul (di kalangan mereka yang akan memberi peringatan kepada kaumnya masing-masing). Demikianlah penafsiran menurut Abul Aliyah, dia mengatakan behwa petunjuk tersebut yang dimaksud adalah para nabi dan para rasul, serta penjelasan-penjelasan dan keterangan-Nya (melalui ayat-ayat-Nya).

---masih dalam proses penulisan---

Semoga bermanfaat

Senin, 28 Mei 2012

Angka Arab

Tahukah anda bahwa angka 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9 (perhitungan sepuluh digit / desimal) yang kita kenal sekarang ini merupakan angka Arab? Dalam huruf Arab, angka-angka tersebut ditulis : ٠,١,٢,٣,٤,٥,٦,٧,٨,٩ . Dengan bilangan-bilangan tersebut, terutama adanya angka nol, sangat memudahkan kita dalam berbagai perhitungan. Bayangkan jika kita melakukan perhitungan sehari-hari menggunakan angka-angka dari Eropa (angka Romawi), sulit bukan? Tahukah anda siapa yang paling berjasa menemukan angka nol?

Kita juga pasti sudah sering mendengar istilah algoritma. Tapi, tahukah siapa penemunya? Bisa jadi kita menduga orang tersebut dari dunia Barat. Padahal, ia adalah seorang ilmuwan muslim yang bernama Al-Khawarizmi.

Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi. Lahir di Khawarizmi, Uzbekistan, pada 194 H/780 M. Kepandaian dan kecerdasannya mengantarkannya masuk ke lingkungan Dar al-Hukama (Rumah Kebijaksanaan), sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Ma’mun Ar-Rasyid, seorang khalifah Abbasiyah yang terkenal.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, algoritma berarti prosedur sistematis untuk memecahkan masalah matematis dalam langkah-langkah terbatas. Nama Algoritma (Algorithm) berasal dari nama julukan Al-Khawarizm. Karya Aljabarnya yang paling monumental berjudul Al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabalah (Ringkasan Perhitungan Aljabar dan Perbandingan). Dalam buku itu diuraikan pengertian-pengertian geometris. Ia juga menyumbangkan teorema segitiga sama kaki yang tepat, perhitungan tinggi serta luas segitiga, dan luas jajaran genjang serta lingkaran. Dengan demikian, dalam beberapa hal Al-Khawarizmi telah membuat aljabar menjadi ilmu eksak.

Buku itu diterjemahkan di London pada 1831 oleh F. Rosen, seorang matematikawan Inggris. Kemudian diedit ke dalam bahasa Arab oleh Ali Mustafa Musyarrafa dan Muhammad Mursi Ahmad, ahli matematika Mesir, pada 1939. Sebagian dari karya Al-Khawarizmi itu pada abad ke-12 juga diterjemahkan oleh Robert, matematikawan dari Chester, Inggris, dengan judul Liber Algebras et Al-mucabola (Buku Aljabar dan Perbandingan), yang kemudian diedit oleh L.C. Karpinski, seorang matematikawan dari New York, Amerika Serikat. Gerard dari Cremona (1114–1187) seorang matematikawan Italia, membuat versi kedua dari buku Liber Algebras dengan judul De Jebra et Almucabola (Aljabar dan Perbandingan). Buku versi Gerard ini lebih baik dan bahkan mengungguli buku F. Rozen.

Dalam bukunya, Al-Khawarizmi memperkenalkan kepada dunia ilmu pengetahuan angka 0 (nol) yang dalam bahasa Arab disebut sifr. Sebelum Al-Khawarizmi memperkenalkan angka nol, para ilmuwan mempergunakan abakus, semacam daftar yang menunjukkan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya, untuk menjaga agar setiap angka tidak saling tertukar dari tempat yang telah ditentukan dalam hitungan. Akan tetapi, hitungan seperti itu tidak mendapat sambutan dari kalangan ilmuwan Barat ketika itu, dan mereka lebih tertarik untuk mempergunakan raqam al-binji (daftar angka Arab, termasuk angka nol), hasil penemuan Al-Khawarizmi. Dengan demikian, angka nol baru dikenal dan dipergunakan orang Barat sekitar 250 tahun setelah ditemukan Al-Khawarizmi. Dari beberapa bukunya, Al-Khawarizmi mewariskan beberapa istilah matematika yang masih banyak dipergunakan hingga kini. Seperti sinus, kosinus, tangen dan kotangen.

Karya-karya Al-Khawarizmi di bidang matematika sebenarnya banyak mengacu pada tulisan mengenai aljabar yang disusun oleh Diophantus (250 SM) dari Yunani. Namun, dalam meneliti buku-buku aljabar tersebut, Al-Khawarizmi menemukan beberapa kesalahan dan permasalahan yang masih kabur. Kesalahan dan permasalahan itu diperbaiki, dijelaskan, dan dikembangkan oleh Al-Khawarizmi dalam karya-karya aljabarnya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila ia dijuluki ”Bapak Aljabar”.

Bahkan, menurut Gandz, matematikawan Barat dalam bukunya The Source of al-Khawarizmi’s Algebra, Al-Khawarizmi lebih berhak mendapat julukan “Bapak Aljabar” dibandingkan dengan Diophantus, karena dialah orang pertama yang mengajarkan aljabar dalam bentuk elementer serta menerapkannya dalam hal-hal yang berkaitan dengannya.

Di bidang ilmu ukur, Al-Khawarizmi juga dikenal sebagai peletak rumus ilmu ukur dan penyusun daftar logaritma serta hitungan desimal. Namun, beberapa sarjana matematika Barat, seperti John Napier (1550–1617) dan Simon Stevin (1548–1620), menganggap penemuan itu merupakan hasil pemikiran mereka.

Selain matematika, Al-Khawarizmi juga dikenal sebagai astronom. Di bawah Khalifah Ma’mun, sebuah tim astronom yang dipimpinnya berhasil menentukan ukuran dan bentuk bundaran bumi. Penelitian itu dilakukan di Sanjar dan Palmyra. Hasilnya hanya selisih 2,877 kaki dari ukuran garis tengah bumi yang sebenarnya. Sebuah perhitungan luar biasa yang dapat dilakukan pada saat itu. Al-Khawarizmi juga menyusun buku tentang penghitungan waktu berdasarkan bayang-bayang matahari.

Buku astronominya yang mahsyur adalah Kitab Surah al-Ard (Buku Gambaran Bumi). Buku itu memuat daftar koordinat beberapa kota penting dan ciri-ciri geografisnya. Kitab itu secara tidak langsung mengacu pada buku Geography yang disusun oleh Claudius Ptolomaeus (100–178), ilmuwan Yunani. Namun beberapa kesalahan dalam buku tersebut  dikoreksi dan dibetulkan oleh Al-Khawarizmi dalam bukunya Zij as-Sindhind sebelum ia menyusun Kitab  Surah al-Ard.

Selain ahli di bidang matematika, astronomi, dan geografi, Al-Khawarizmi juga seorang ahli seni musik. Dalam salah satu buku matematikanya, ia menuliskan pula teori seni musik. Pengaruh buku itu sampai ke Eropa dan dianggap sebagai perkenalan musik Arab ke dunia Latin. Dengan meninggalkan karya-karya besarnya sebagai ilmuwan terkemuka dan terbesar pada zamannya, Al-Khawarizmi meninggal pada 262 H/846 M di Baghdad.

Setelah Al-Khawarizmi meninggal, keberadaan karyanya beralih kepada komunitas Islam. Yaitu, bagaimana cara menjabarkan bilangan dalam sebuah metode perhitungan, termasuk dalam bilangan pecahan; suatu penghitungan Aljabar yang merupakan warisan untuk menyelesaikan persoalan perhitungan dan rumusan yang lebih akurat dari yang pernah ada sebelumnya.

Di dunia Barat, Ilmu Matematika lebih banyak dipengaruhi oleh karya Al-Khawarizmi dibanding karya para penulis pada Abad Pertengahan. Masyarakat modern saat ini berutang budi kepada al-Khawarizmi dalam hal penggunaan bilangan Arab. Notasi penempatan bilangan dengan basis 10, penggunaan bilangan irasional dan diperkenalkannya konsep Aljabar modern, membuatnya layak menjadi figur penting dalam bidang Matematika dan revolusi perhitungan di Abad Pertengahan di daratan Eropa. Dengan penyatuan Matematika Yunani, Hindu dan mungkin Babilonia, teks Aljabar merupakan salah satu karya Islam  di dunia Internasional.

Sumber : Zona Anda
Semoga bermanfaat

Sabtu, 26 Mei 2012

Ibanatul Ahkam 22 Mei 2012

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab Mandi dan Hukum Junub
Pemateri : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Hadits ke-100 :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوءًا. رَوَاهُ مُسْلِم.
زَادَ اَلْحَاكِمُ: فَإِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ.
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu mendatangi istrinya (bersetubuh) kemudian ingin mengulanginya lagi maka hendaklah ia berwudlu antara keduanya." Hadits riwayat Muslim.
Hakim menambahkan: "Karena wudlu itu memberikan semangat untuk mengulanginya lagi."
Makna Hadits :
Seseorang yang berjunub senantiasa dekat kepada gangguan setan karena malaikat yang mulia menjauhinya. Oleh karena itu syariat menganjurkan untuk berwudlu karena adanya hikmah-hikmah yang sangat luar biasa antara lain ialah: Pertama, apabila seseorang hendak mengulangi persetubuhan dengan isterinya, maka hal itu mampu memberinya semangat dan mengembalikan kekuatannya. Kedua, karena wudlu dalam kategori bersuci kecil yang dapat dijadikan sebagai benteng bagi dirinya secara keseluruhan. Ketiga, karena wudlu itu adakalanya mendorongnya untuk terus mandi junub dan inilah yang diharapkan.
Fiqih Hadits :
1.    Orang yang hendak menggauli isterinya untuk yang kedua kalinya disyariatkan berwudlu.
2.    Dibolehkan mengkonsumsi obat untuk menambah semangat untuk berjima’ dengan isteri.
3.    Mandi di antara dua persetubuhan tidak wajib.
4.    Disyariatkan meringankan junub dengan berwudlu karena wudlu merupakan bersuci kecil supaya tidak terhalang dari berkah ditemani malaikat.
Di dalam hadis yang lain disebutkan:
Ada tiga orang yang para malaikat tidak mau mendekatinya, yaitu orang yang berjunub, orang mabuk dan orang yang berbuat tidak sedap.
5.    Etika mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan kata-kata sindiran untuk menceritakan perkara-perkara yang aib.

Hadits ke-101 :
وَلِلْأَرْبَعَةِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَسَّ مَاءً. وَهُوَ مَعْلُول
Menurut Imam Empat dari 'Aisyah Radliyallahu ‘Anha dia berkata: “Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam pernah tidur dalam keadaan junub tanpa menyentuh air.” Hadits ini ma'lul.
Makna Hadits :
Nabi Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam adalah penentu syariat. Oleh karena itu, adakalanya baginda berwudlu hanya sekali, kadang kala minum sambil berdiri, kadang kala membuang air kecil sambil berdiri dan tidur dalam keadaan berjunub tanpa berwudlu atau mandi terlebih dahulu. Semua itu merupakan penjelasan yang menunjukkan bahawa perbuatan tersebut dibolehkan. Hal dilakukan sendiri oleh Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam karena cara ini lebih berkesan dalam menjelaskan sesuatu permasalahan.
Analisis Lafadz :
"مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَسَّ مَاءً", tanpa menyentuh air walau sedikitpun, baik mandi maupun wudlu. Tanpa menyentuh air ini untuk menjelaskan perbuatan tersebut dibolehkan.
"معلول", berstatus ma’lul, karena hadits ini dari riwayat Abu Ishaq Al-Subai’i, dari Al-Aswad, dari ’Aisyah Radliyallaahu ’Anha. Imam Ahmad berkata: “Hadits ini tidak shahih.” Abu Dawud berkata: “Sanad hadits ini hanya berdasarkan sangkaan, kerana Abu Ishaq tidak pernah mendengarnya dari Al-Aswad.
Fiqih Hadits
Orang yang berjunub boleh tidur tanpa berwudlu atau mandi terlebih dahulu, tetapi apa yang lebih diutamakan adalah seperti keterangan yang dimuat dalam hadis sebelum ini (Berwudlu sudah cukup, mandi lebih utama).

Hadits ke-102 :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ.  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'Anha berkata: “Adalah Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam jika mandi karena berjunub, memulainya dengan membasuh kedua tangannya kemudian menuangkankan air dari tangan kanan ke tangan kiri lalu membasuh kemaluannya, kemudian berwudlu lalu mengambil air kemudian memasukkan jari-jarinya ke pangkal-pangkal rambut kepalanya lalu menyiram kepalanya dengan tiga ciduk air kemudian mengguyur seluruh tubuhnya, kemudian membasuh kedua kakinya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya dari Muslim.
--- Dan Hadits ke-103 :
وَلَهُمَا فِي حَدِيثِ مَيْمُونَةَ: ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى فَرْجِهِ فَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِهَا اَلْأَرْضَ. وَفِي رِوَايَةٍ: فَمَسَحَهَا بِالتُّرَابِ. َوَفِي أخرى: ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّهُ. وَفِيهِ: وَجَعَلَ يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدِهِ
Menurut Riwayat Bukhari-Muslim dari hadits Maimunah disebutkan: “Kemudian beliau menyiram kemaluannya dan membasuhnya dengan tangan kiri lalu menggosokkan tangan kirinya ke tanah.
Dalam suatu riwayat disebutkan: “Lalu beliau menggosok tangannya dengan debu tanah.” Di akhir riwayat itu disebutkan: “Kemudian aku memberikannya saputangan namun beliau menolaknya.” Dalam hadits itu disebutkan: “Dan Beliau mengeringkan air dengan tangannya.
Makna Hadits :
Mandi junub ada dua cara, cara yang memadai dan cara yang sempurna. Pertama, cara yang memadai adalah dengan meratakan basuhan ke seluruh tubuh tanpa ada satu bagian anggota tubuh pun yang tertinggal, karena di bawah setiap helai rambut harus terkena oleh mandi junub itu. Kedua, cara yang sempurna adalah dengan memulai dengan pembersihan kotoran sebelum menyucikan diri dari hadats. Cara ini mendahulukan untuk membasuh anggota-anggota wudlu dari yang lain. Hendaklah memulai dengan basuhan anggota tubuh bagian atas sebelum bagian bawah dan mendahulukan sebelah kanan sebelum sebelah kiri. Gambaran inilah yang dirangkum oleh ‘Aisyah Radliyallaahu ‘Anha.
Fiqih Hadits :
1.    Mandi junub dimulai dengan mencuci kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana.
2.    Melakukan istinja’ sebelum berwudlu dan beristinja’ dilakukan dengan tangan kiri. Hal ini dilakukan dengan betul hingga merasa yakin akan kebersihannya.
3.    Disunatkan mendahulukan anggota wudlu untuk menghormatinya dan sebagai satu ketentuan syariat.
4.    Mencelah-celah rambut agar air dapat sampai ke akar-akarnya karena pada setiap kulit yang ada di bawah rambut harus terkena mandi junub.
5.    Menjelaskan gambaran mandi wajib dari permulaan hingga akhir dan menjelaskan mengenai jumlah basuhan.
6.    Tidak perlu memakai handuk untuk mengeringkan anggota wudlu, sebaliknya disunatkan membiarkannya menurut pendapat Imam al-Syafi’i. Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah membolehkannya. Mereka mengatakan demikian karena berlandaskan kepada hadits Salman al-Farisi yang mengatakan:
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam berwudlu, lalu membalikkan baju jubah yang ada padanya, kemudian baju jubah itu beliau gunakan untuk mengusap wajahnya.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah)
7.    Dibolehkan mengeringkan air dari seluruh anggota tubuh setelah mandi junub, di-qiyas-kan kepadanya masalah wudlu.

Tanya Jawab :
T?
J:

-
Dirangkum oleh :
Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat

Kamis, 24 Mei 2012

Domain Name Exfired

Hari Rabu tanggal 23 Mei 2012 ketika saya buka blog pagi-pagi sebelum berangkat kerja, blog ”Bintang Raya” hanya terbuka sebentar kemudian langsung otomatis diarahkan ke alamat web lain, yaitu hijrah.mfrapps.com dan di bagian atasnya tertulis :

This domain name expired on May 22 2012 06:49PM
Click here to renew it.


Ketika saya klik link tersebut langsung menuju ke www.jentayu.com dan muncul halaman login :

 Saya coba login dengan alamat email tapi tidak bisa, username/email address tidak terdaftar. Saya hubungi administrator web tersebut juga tidak bisa, saya kirim email juga tertolak, failed.
Tentu saja saya agak panik karena blog yang sudah susah payah dibangun dengan memanfaatkan waktu istirahat malam hari, dan sudah familiar dengan rekan-rekan di Bintang Raya, tiba-tiba terancam akan terhapus. Jadi saya berjuang semalaman, saya coba cari referensi di internet tentang kasus yang saya alami.
Ada beberapa referensi yang membenarkan bahwa domain blog ada expire-nya dan harus di renew setiap tahun dan membayar ±10 USD, jadi ngeblog itu tidak gratis, harus menyewa domain setiap tahun 10 USD. Saya pikir tidak apalah kalau harus menyewa, toh hanya setahun sekali, daripada pekerjaan 8 bulan terhapus.
Sampai akhirnya saya menemukan referensi lain dari blogger negara tetangga tentang pengalaman yang sama, ternyata masalahnya karena ada gadget pihak ketiga, dalam kasus saya adalah Kalender Hijriah dari hijrah.mfrapps.com yang mungkin tidak gratis. Saya coba hapus gadget tersebut dan ...
Alhamdulillah, Bintang Raya sudah kembali !


 Pengalaman ini sangat berarti buat saya, mungkin saja memang ngeblog di Blogger.Com memang tidak gratis dan suatu saat harus siap-siap bayar sewa domain sebelum exfired.
 * * *
Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat

Selasa, 22 Mei 2012

Khutbah Jum'ah Mei

Tatkala Hati Membeku
Ust.H. Dede Rofieq Yunus LC

Pernahkah kita merenung, sudah berapa kali kita menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasa ngeri ketika ingat neraka-Nya, atau terkenang dengan bertumpuk-tumpuknya dosa yang pernah kita lakukan ? Sudah berapa kali shalat yang kita kerjakan begitu kita nikmati karena kita bisa merenungi makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an yang kita baca ?
Itu tentu sangat sulit ....., mungkin seperti itu jawaban sebagian dari kita. Pernahkah kita berfikir apa yang menjadi sebab hal itu ?  Penyebabnya tidak lain adalah bekunya hati kita yang menyebabkan kita sulit untuk menangis serta tidak bisa khusyu’ dalam shalat.
Berikut ini adalah beberapa penyebab kebekuan hati yang kita alami, sehingga jika kita sudah mengetahui penyebabnya, kita bisa memberikan terapi hati kita yang sudah terlanjur beku tersebut.

1.     Bergaul yang tidak berfaedah
Teman punya pengaruh yang signifikan pada diri kita. Dia akan memberikan warna dalam kepribadian kita. Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam memberi perumpamaan, teman yang tidak baik itu seperti Pandai Besi, andai tidak terbakarpun, minimal kita, mau tidak mau pasti mendapatkan udara yang panas. Karena itu kita harus mampu mengendalikan diri dengan baik agar tidak terjebak dalam pergaulan yang tidak bermanfaat.

2.     Berbicara yang tidak perlu
Sering sekali kita membicarakan hal-hal yang kadang-kadang tidak ada manfaatnya, baik untuk dunia maupun akhirat kita. Hati-hati dengan lisan kita, salah omong urusannya bakalan jadi rumit. Apakah kita lupa bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan lidah hanya satu dan telinga kita ada dua. Itu salah satu pertanda supaya kita lebih banyak diam untuk mendengar daripada bicara.
Namun kita sering melupakan hal ini apalagi kalau sedang asyik berbicara, kita lupa untuk mendengar. Jadi perlu pengendalian lisan agar tidak percuma dan sia-sia. Karena itu kebiasaan ghibah / gosip mesti dihilangkan...

3.     Memandang yang tidak perlu
Tidak mengatur pandangan yang kita lakukan akan menimbulkan dampak negatif, yaitu terkena panah iblis yang beracun. Oleh karena itu Nabi menyatakan,
”Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad)
Setan masuk seiring pandangan untuk menyalakan api syahwat. Membuat hati lupa dan menyibukkannya sehingga terjerumus mengikuti hawa nafsu dan kelalaian.

4.     Berlebih-lebihan dalam makan
Imam Syafi’i Rahimahullah mengatakan :
”Selam 16 tahun aku hanya pernah kenyang sekali saja, yang akhirnya kumuntahkan. Karena kenyang itu membuat badan terasa berat, hati menjadi keras, kepandaian menjadi hilang, menyebabkan ngantuk dan membuat orang loyo dalam beribadah.” (Diwan Imam Syafi’i hal. 14)
Oleh karena itu, makan sekedarnya saja jangan sampai kekenyangan, tidak sehat dan membuat malas.

5.     Tidur yang berlebihan
Coba kita renungkan komentar Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam tentang orang yang tidur satu malam penuh, bangun-bangun sudah pagi tanpa shalat malam,
”Itulah orang yang telinganya atau kedua telinganya dikencingi syetan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

6.     Menghina ulama
”Daging para ulama itu berbisa”, demikian pesan para ulama kita. Terlebih lagi bila kita menghina dan menggunjingkan mereka karena ilmu syar’i yang mereka miliki. Jadi sebaiknya kita berhati-hati dalam hal ini.

7.     Tidak membaca Al-Qur’an dengan merenungi maknanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad : 24)
Orang yang tidak merenungi ayat-ayat Al-Qur’an tidak hanya satu atau dua gembok yang mengunci hatinya, bahkan dalam hati tersebut terdapat banyak gembok.

8.     Tidak merenungi kematian, alam kubur, Surga dan Neraka
”Nabi memerintahkan kita untuk berziarah kubur, agar kita teringat akan akhirat. Nabi juga memerintahkan untuk banyak mengingat kematian yang merupakan penghancur kesenangan hidup.” (HR. Abu Daud)
Mengapa ? Karena mengingat mati adalah mesin penggerak untuk beramal shalih yang ad a dalam diri orang beriman.

9. Tidak mengkaji kehidupan umat terdahulu yang sholeh (Sahabat dan 2 generasi setelahnya)
Mereka merupakan manusia terbaik yang dekat dengan masa kenabian. Seluruh keutamaan terkumpul dalam diri mereka. Lihatlah ke-khusyu-an mereka dalam shalat, shalat malam mereka, shalat berjamaah mereka, bakti mereka kepada orang tua, zuhud mereka, antusiasme mereka dalam mencari ilmu, dan sebagainya. ”Siapakah kita dibanding mereka ?” Itulah kesimpulannya. Karena kurang mengetahui kehidupan mereka, hati kita menjadi keras, sombong, ujub, sudah meresa beramal dan berjasa besar terhadap Islam.

يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi3522, Ahmad 4/302, Al-Hakim 1/525, Shahih Sunan Tirmidzi III no. 2792)

يا مقلب القلوب ثبت قلبي على طاعتك
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim no. 2654)

اللهم مصرف القلوب صرف قلوبنا على طاعتك
“Ya Allah yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepada-Mu.” (HR. Muslim)

ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sis Engkau, karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran : 7)

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencairkan hati ini yang mulai membeku, meneguhkan hati ini di atas agama-Nya, dan mengarahkan hati ini untuk selalu taat kepada-Nya, karena Dia-lah yang mengendalikan hati ini.

Minggu, 13 Mei 2012

Ibanatul Ahkam 8 Mei 2012

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab Mandi dan Hukum Junub
Pemateri : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Hadits ke-95 :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَغْتَسِلُ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ اَلْجَنَابَةِ وَيَوْمَ اَلْجُمُعَةِ وَمِنْ اَلْحِجَامَةِ وَمِنْ غُسْلِ اَلْمَيِّتِ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasanya mandi karena empat hal : karena junub, hari Jum'at, berbekam dan memandikan jenazah.” Riwayat Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah.
Makna Hadits :
Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam mandi karena sesuatu perkara dan memerintahkan mandi karena beberapa perkara yang lain. Baginda mandi karena berjunub, mandi untuk hari Jum’at dan mandi pula setelah berbekam karena darah biasanya menyebar ke seluruh tubuh hingga sukar membasuhnya hanya pada bahagian tertentu. Menyedot darah dengan alat dapat menyebabkan darah keluar dari setiap sisi yang disedot, sedangkan mandi dapat menghentikan mengalirnya darah dan mencegah keluarnya darah secara berlebihan.
Mandi setelah memandikan jenazah adalah disebabkan tubuh orang yang memandikannya pasti sukar mengelak dari terkena percikan air. Jika seseorang tahu bahwa dirinya akan mandi sesudah itu, maka dia tidak lagi ragu memandikan jenazah dan menyentuh tubuhnya. Apapun, belum pernah terdengar bahwa Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam pernah memandikan jenazah.
Fiqih Hadits :
1.      Wajib mandi karena berjunub meskipun hanya sekadar hubungan seks tanpa keluar air mani.
2.      Disyariatkan mandi pada hari Jumaat, sesudah berbekam dan sesudah memandikan jenazah.

Hadits ke-96 :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه - فِي قِصَّةِ ثُمَامَةَ بْنِ أُثَالٍ عِنْدَمَا أَسْلَم- وَأَمَرَهُ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَغْتَسِلَ. رَوَاهُ عَبْدُ اَلرَّزَّاق وَأَصْلُهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu, mengenai kisah Tsumamah Ibnu Atsal ketika masuk Islam, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruhnya mandi. Riwayat Abdur Rozaq dan asalnya Muttafaq Alaihi.
Makna Hadits :
Jika orang kafir masuk Islam, maka batinnya menjadi suci dari akidah yang batil. Karena itu, disyariatkan mandi supaya dzahirnya turut menjadi suci dari kekufuran dan sisa-sisa junub yang dilakukan ketika masih kafir. Tujuannya ialah supaya dia siap melakukan ibadah dengan dzahir dan batin yang suci serta keyakinan dan amal yang suci pula.
Fiqih Hadits :
Disyariatkan mandi bagi orang yang baru masuk Islam. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Ahmad mewajibkan mandi berlandaskan kepada dzahir hadits. Imam Malik dan Imam Syafi’i mewajibkannya bagi orang yang pernah berjunub ketika kafir, baik dia telah mandi ataupun belum, sedangkan bagi yang tidak pernah berjunub ketika kafir, hukum mandi itu hanyalah sunah. Imam Abu Hanifah mewajibkan mandi bagi orang yang berjunub ketika kafir sedangkan dia tidak pernah mandi junub dan mandi tidak wajib baginya apabila dia pernah mandi semasa dia kafir.

Hadits ke-97 :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: غُسْلُ اَلْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ. أَخْرَجَهُ اَلسَّبْعَة
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Mandi hari Jum'at itu wajib bagi setiap orang yang telah baligh." Dikeluarkan oleh Imam Tujuh.
Makna Hadits :
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan mandi pada hari Jum’at dengan sunah muakkad. Pada permulaan Islam, mandi pada hari Jum’at adalah wajib karena kehidupan para sahabat ketika itu amat sukar dan mereka selalu memakai baju yang terbuat dari bulu kambing yang apabila melekat pada tubuh dalam waktu yang lama akan menyebabkan bau kurang enak.
Akan tetapi setelah Allah melimpahkan banyak kenikmatan dan keluasan rezeki kepada mereka melalui harta ghanimah yang mereka peroleh, maka hukum wajib ini di-mansukh. Hukumnya yang mulanya wajib beralih menjadi menjadi sunah muakkad..
Fiqih Hadits :
Wajib mandi pada hari Jum’at berdasarkan keterangan yang telah disebutkan di atas, kemudian hukum wajib ini di-mansukh oleh hadis berikut ini :

Hadits ke-98 :
عَنْ سَمُرَةَ  بن جندب رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اِغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ. رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيّ
Dari Samurah Ibnu Jundعb Radliyallaahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : "Barangsiapa berwudlu pada hari Jum'at maka sudah memadai dan sudah baik dan barangsiapa mandi, maka mandi itu lebih utama." Riwayat Imam Tujuh dan dinilai hasan oleh Tirmidzi.
Makna Hadits :
Karena hari Jum’at adalah hari raya dimana pada hari itu kaum muslimin berkumpul di rumah-rumah Allah (masjid-masjid) untuk mengerjakan solat Jum’at dan mendengarkan khutbah dan turut hadir bersama para malaikat, maka syariat menganjurkan agar memakai wewangian dan berpakaian paling baik serta tubuh yang bersih dengan cara mandi. Ini disyariatkan bagi orang yang mampu melakukannya dan ia lebih utama dan lebih sempurna baginya. Tetapi jika tidak mampu mandi, maka cukup baginya berwudlu dan orang yang mampu berwudlu pun sudah dianggap mengikuti amalan Sunnah.
Fiqih Hadits :
Keutamaan mandi pada hari Jum’at. Hadis ini memansukh hukum wajib yang terkandung pada hadis sebelum ini. Inilah rahasia menyebutkan hadis ini sesudahnya.

Tanya Jawab :
T?
J:
-
Dirangkum oleh :
Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat