Senin, 30 Januari 2012

Tafsir Q.S. Al-Baqarah 21-22

Tafsir Ibnu Katsir, 24 Jan 2012
Pemateri : K.H. Aep Saefudin SAG
Al-Baqarah, ayat 21-22 :
يٰأيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعْبُدُوْا رَبَّكُمُ ٱلّذِي خَلَقَكُمْ وَٱلّذِيْنَ مِنْ قبْلِكُمْ لَعَلّكُمْ تَتَّقُوْنَ ۝ ٱلّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلاَرْضَ فِرَاشًا وَّٱلسَّمَآءَ بِنَآءً وَٲنْزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَٲخْرَجَ بِهِ ۧ مِنَ ٱلثَّمَرٰتِ رِزْقًا لّكُمْ ۖ فَلا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ ٲنْدَادًا وَٲنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ۝
"Hai Manusia, sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian. Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.”
Allah Subhaanahu Wa Ta'aala menjelaskan tentang sifat uluhiah-Nya Yang Maha Esa, bahwa Dia-lah yang memberi nikmat kepada hamba-hamba-Nya dengan menciptakan mereka dari tiada menjadi ada, lalu melimpahkan kepada mereka segala macam nikmat lahir dan batin. Allah menjadikan bumi bagi mereka sebagai hamparan buat tempat mereka tinggal, diperkokoh kesetabilannya dengan gunung-gunung yang tinggi lagi besar, dan Dia menjadikan langit sebagai atap sebagai mana disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya dalam Q.S. Al-Anbiyaa ayat 32 yang artinya : 
"Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedangkan mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya."
Allah menurunkan air hujan dari langit bagi mereka. Yang dimaksud degan lafadz as-samaa' dalam ayat ini ialah awan yang datang pada waktunya di saat mereka memerlukannya. Melalui hujan, Allah menumbuhkan buat mereka berbagai macam tumbuhan yang menghasilkan banyak buah sebagaimana telah disaksikan, sebagai rezeki buat mereka.
"Falaa taj'aluu lillaahi andaadan wa antum ta'lamuun" (karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui) (Q.S. Albaqarah : 22)
Dalam hadits shahihain disebutkan : Dari Ibnu Mas'ud menceritakan, aku bertanya : "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?" Beliau menjawab : "Jika kamu mengadakan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu," hingga akhir hadits.
Demikian pula yang disebutkan di dalam hadits Mu'adz, " Tahukah kamu apa hak Allah yang dibebankan kepada hamba-hamba-Nya?" lalu disebutkan, "Hendaklah kamu menyabah-Nya dan jangan mempersekutukannya dengan sesuatupun," hingga akhir hadits.
Di dalam hadits lain disebutkan sebagai berikut : "Janganlah sesekali seseorang diantara kalian mengatakan, "ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh si fulan," tetapi hendaklah ia mengatakan, "ini adalah yang dikehendaki oleh Allah," kemudian, "ini adalah yang dikehendaki oleh si fulan."
Sufyan Ibnu Sa'id As-Sauri mengatakan dari Al-Ajlah Ibnu Abdullah Al-Kindi dari Yazid Ibnul Asham dari Ibnu Abbas yang menceritakan : Seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan olehmu." Maka Nabi bersabda, "Apakah engkau menjadikan diriku sebagai tandingan Allah? Katakanlah, "Inilah yang dikehendaki oleh Allah semata"."
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawih. Imam Nasai serta Imam Ibnu Majah telah megetengahkannya dari hadits Isa Ibnu Yunus, dari Al-Ajlah dengan lafadz yang sama. Semua itu ditandaskan demi melindungi ketauhidan.
Muhammad Ibnu Ishak mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad Ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’is Ibnu Jubair, dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya : ”Yaa ayyuhan naasu’buduu Rabbakum” (Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian) ( Q.S. Al-Baqarah : 21)
Ayat ini ditujukan kepada kedua golongan secara keseluruhan, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dengan kata lain, esakanlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian.
Hal yang sama dikatakan pula dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya : "Falaa taj'aluu lillaahi andaadan wa antum ta'lamuun" (karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui) (Q.S. Al-Baqarah : 22)
Maksudnya, janganlah kalian mempersekutukan Allahdengan selain-Nya, yaitu dengan tandingan-tandingan yang tidak dapat menimpakan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat, padahal kalian mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang memberi rizki kepada kalian selain Allah. Kalian telah mengetahui apa yang diserukan Muhammad kepada kalian, yaitu ajaran tauhid, adalah perkara yang benar yang tiada keraguan di dalamnya. Demikian pula menurut Qatadah.


Dirangkum oleh : Sholihin Untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat...

Minggu, 29 Januari 2012

Hikmah Istinsyaq

Suatu waktu saya mengikuti pengarahan karyawan yang dilakukan oleh seorang teman sesuai kapasitas jabatannya sebagai manajer. Kebetulan beliau adalah non muslim.
Ketika sampai kepada pembahasan masalah kesehatan, terutama penyakit flu dan saluran pernafasan sebagai akibat dari tempat kerja yang berdebu, dia menganjurkan agar setiap habis kerja, karyawan membersihkan hidungnya dengan cara menghirup air ke hidung lalu dikeluarkan, dilakukan sampai debu yang ada di dalam hidung bisa keluar dan hidung menjadi bersih.
Saya menambahkan bahwa menghirup air ke hidung secara rutin dilakukan oleh karyawan yang akan mengerjakan sholat, yaitu pada waktu berwudlu. Sepertinya beliau berkeberatan dan menyanggah bahwa yang dilakukan pada saat berwudlu adalah hanya mengusap hidung, tidak sampai membersihkan rongga hidung...
Selanjutnya saya berfikir bahwa mungkin saja pendapatnya tersebut timbul karena ketidaktahuannya dan juga karena kenyataan yang dilakukan oleh orang-orang Islam pada saat berwudlu. Boleh jadi pemahaman sebagian orang Islam tentang menghirup air ke hidung (istinsyaq) sama dengan pemahaman rekan saya yang non muslim tersebut. Jika demikian halnya maka berarti tidak sesuai sunnah Rasulullah, dan tentu saja tidak akan mendapatkan hikmah dari sunnah tersebut.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya mencoba mengulas apa yang dicontohkan dan diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam hal istinsyaq serta apa hikmahnya.

Perintah dan Contoh Istinsyaq dari Rasulullah
Bagaimana wudlu yang dicontohkan Rasulullah, mari kita baca haditsnya :
وَعَنْ حُمْرَانَ أَنَّ عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ : رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Humran bahwa Utsman meminta air wudlu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur (madlmadloh) dan menghisap air dengan hidung dan menghembuskannya keluar (istinsyaq dan istintsar) kemudian membasuh wajahnya tiga kali. Lalu membasuh tangan kanannya hingga siku-siku tiga kali dan tangan kirinya pun begitu pula. Kemudian mengusap kepalanya lalu membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki tiga kali dan kaki kirinya pun begitu pula. Kemudian ia berkata: "Saya melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berwudlu seperti wudlu-ku ini". Muttafaq Alaihi. 
Madlmadloh, istinsyaq dan istintsar adalah istilah dalam bahasa Arab.
Di dalam kitab Ibanatul Ahkam dijelaskan tentang pengertian ketiga istilah tersebut sebagai berikut :
Madlmadloh artinya berkumur-kumur, yaitu memasukkan air ke mulut lalu menggerak-gerakkannya di dalam mulut, kemudian mengeluarkannya.
Istinsyaq artinya memasukkan air ke hidung, kemudian menghirupnya dengan nafas sampai ke bagian paling dalam dari lubang hidung. Hal ini disyariatkan untuk membersihkan rongga hidung dari kotoran, sekaligus untuk memastikan bau air.
Istintsar artinya mengeluarkan air dari lubang hidung setelah instinsyaq.
Terkadang kata istinsyaq maksudnya adalah istinsyaq+istintsar.

Dalam beberapa hadits yang lain juga disebutkan tentang istinsyaq :
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: ( رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَفْصِلُ بَيْنَ اَلْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادِ ضَعِيف
Dari Thalhah Ibnu Musharrif dari ayahnya dari kakeknya dia berkata: Aku melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memisahkan antara berkumur dan menghirup air melalui hidung (istinsyaq). Riwayat Abu Dawud dengan sanad yang lemah.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدٍ رضي الله عنه -فِي صِفَةِ اَلْوُضُوءِ- ( ثُمَّ أَدْخَلَ صلى الله عليه وسلم يَدَهُ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثًا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ.
Dari Abdullah Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu tentang cara berwudlu: Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu berkumur dan menghisap air melalui hidung (istinsyaq) satu tangan. Beliau melakukannya tiga kali. Muttafaq Alaihi.
وَعَنْ لَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ
Laqith Ibnu Shabirah Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sempurnakanlah dalam berwudlu usaplah sela-sela jari dan isaplah air ke dalam hidung dalam-dalam (istinsyaq) kecuali jika engkau sedang berpuasa." Riwayat Imam Empat dan hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah. 

Hikmah Istinsyaq
Semua perintah dan larangan dalam Islam yang datang dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala atau yang shahih dari Nabi Allah, pasti bermanfaat, pasti mengandung hikmah. Kadang kala sebagian hikmah tersebut sudah diketahui oleh manusia, tetapi banyak juga yang belum diketahui karena keterbatasan akal manusia. Oleh karena itu dalam mentaati perintah dan larangan Allah maka harus berdasarkan keimanan, bukan karena hikmah atau manfaatnya. Adapun hikmah yang terkandung didalamnya patut dikaji dalam rangka menambah keimanan kita.
Demikian pula halnya tentang perintah ber-istinsyaq, apabila dilakukan sesuai dengan contoh dari Rasulullah, ternyata banyak mengandung manfaat bagi manusia. Hal ini sudah pasti karena perintahnya berasal dari Allah yang menciptakan manusia, yang paling tahu seluk beluk manusia dan segala apa yang dibutuhkan manusia. Sekali lagi, hikmah dan manfaat itu tergantung tingkat kesesuaian dengan contoh dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab : 21, yang artinya :

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."

Beberapa manfaat Istinsyaq telah diteliti oleh banyak ahli, diantaranya :
·   Prof. Dr. Syahathah dari bagian THT fakulas kedokteran Universitas Alexandria membuktikan bahwa Istinsyaq dapat membersihkan hidung dari kuman-kuman dan mengeluarkan kuman tersebut sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi hidung.
·     Peneliti bernama Muhammad Salim dari Fakultas Kedokteran Universitas Iskandariah dengan studinya tentang manfaat medis yang digali dari ibadah wudlu mengatakan, orang yang tidak berwudhu warna hidung mereka memudar dan berminyak, kotoran debu lebih ke dalam. Rongga hidung memiliki permukaan yang lengket dan berwarna gelap. Adapun orang-orang yang teratur berwudlu, permukaan rongga hidungnya tampak cemerlang, bersih dan tidak ada debu. Menurut pengamatan melalui mikroskop, hidung orang-orang yang tidak berwudlu merupakan tempat pertumbuhan kuman dalam jumlah besar yang cepat penularannya. Adapun orang yang selalu berwudlu hidung mereka tampak bersih dari kuman.
Penelitian itu juga menjelaskan pentingnya memasukkan air ke hidung sekali saja ketika berwudhu karena dapat membersihkan hidung dari separuh kuman. Sedangkan memasukkan air dua kali, dapat menambah 1/3 kebersihan. Jika memasukkannya sampai tiga kali, maka hidung benar-benar bersih dari kuman. Secara ilmiah hidung terjaga bersih selama 3 sampai dengan 5 jam, kemudian kotor kembali, yang kemudian dapat dibersihkan melalui wudlu berikutnya.
Dari penelitian juga menyatakan bahwa persentase terkena penyakit bagi orang yang tidak sholat dan tidak berwudhu, lebih banyak dari pada orang-orang yang berwudhu. Istinsyaq dan Istintsar dapat menghilangkan 11 bakteri membahayakan yang ada dalam hidung, yang menyebabkan penyakit saluran pernafasan, radang paru-paru, panas rheumatism, penyakit rongga hidung , dan lain-lain.


Dirangkum dari berbagai sumber,
Semoga bermanfaat . . .
Sholihin untuk Bintang Raya

Sabtu, 28 Januari 2012

Ibanatul Ahkam, Jan-2012

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab : Nawaqidul Wudlu
Pembicara : K.H. Aep Saefudin SAG

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْغَنَمِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْإِبِلِ ؟ قَالَ: نَعَمْ )  أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Hadits ke-69
Dari Jabir Ibnu Samurah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam : Apakah aku harus berwudlu setelah makan daging kambing? Beliau menjawab: "Jika engkau mau" Orang itu bertanya lagi: Apakah aku harus berwudlu setelah memakan daging unta? Beliau menjawab: "Ya". Dikeluarkan oleh Muslim.
Makna Hadits :
Daging unta mempunyai bau yang kuat sedangkan sholat merupakan munajat kepada Allah yang memerlukan kesucian diri. Oleh itu, syariat mewajibkan wudlu bagi seseorang yang telah makan daging unta. Lain halnya dengan daging kambing, ia tidak mengandungi lemak yang berbau seperti yang ada pada daging unta.
Fiqih Hadits :
1.      Wudlu tidak batal karena memakan daging kambing.
2.      Wudlu menjadi batal kerana memakan daging unta. Inilah yang menjadi pegangan Imam Ahmad. Namun jumhur ulama mengatakan tidak batal wudlu seseorang yang memakan daging unta dan mereka menyanggah pendapat Imam Ahmad bahawa hadits ini telah dimansukh, sedangkan pengertian “wudlu” dalam hadis ini diartikan sebagai wudlu menurut istilah bahasa (lughawi), yaitu berkumur-kumur untuk menghilangkan bau lemaknya.

ِعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ )  أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَه وَقَالَ أَحْمَدُ لَا يَصِحُّ فِي هَذَا اَلْبَابِ شَيْءٌ
Hadits ke-70
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang memandikan mayit hendaknya ia mandi dan barangsiapa yang mengusungnya hendaknya ia berwudlu". Dikeluarkan oleh Ahmad, Nasa'i dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan hadits ini hasan, sedang Ahmad berkata: tak ada sesuatu yang shahih dalam bab ini.
Makna Hadits :
Oleh karena jenazah sebelum diapa-apakan diyakini mengandung kotoran atau najis yang keluar daripada tubuhnya, maka syariat Islam memerintahkan orang yang memandikannya supaya mandi sebagai langkah berhati-hati dan untuk membersihkan diri. Orang yang mengusung jenazah diperintahkan pula untuk berwudlu, ada kemungkinan anjuran ini ditujukan kepada orang yang tubuhnya bersentuhan secara langsung dengan tubuh mayat ketika mengusungnya. Ada kemungkinan pula maksud wudlu di sini ialah makna wudlu lughawi (menurut bahasa), yaitu membasuh tangan. Ada pula kemungkinan lain bahwa anjuran ini bersifat ta’abbud karena tidak ada seorang pun ulama yang menganjurkan berwudlu bagi orang yang mengusung jenazah.
Fiqih Hadits :
1.      Disunahkan mandi setelah memandikan jenazah.
2.      Disunahkan berwudlu setelah mengusung jenazah.

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَحِمَهُ اَللَّهُ; ( أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لَا يَمَسَّ اَلْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ )  رَوَاهُ مَالِكٌ مُرْسَلاً وَوَصَلَهُ النَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ وَهُوَ مَعْلُولٌ
Hadits ke-71
Dari Abdullah Ibnu Abu Bakar Radliyallaahu 'anhu bahwa dalam surat yang ditulis (oleh juru tulis) Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk ’Amr Ibnu Hazm disebutkan : ”Janganlah menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang suci.” Diriwayatkan oleh Malik dan mursal Nasa'i dan Ibnu Hibban meriwayatkannya dengan maushul. Hadits ini ma'lul.
Makna Hadits :
Al-Qur’an merupakan firman Allah Yang Maha Agung, hujjah-Nya yang mampu mematahkan lawan dan mukjizat-Nya yang abadi ditulis di dalam lembaran suci oleh tangan-tangan para malaikat yang mulia lagi bertakwa. Ia tidak patut dipegang kecuali oleh orang yang suci daripada hadats supaya dia menjadi orang yang berhak membawa Kitab Allah. Inilah maksud yang terdapat di dalam surat Nabi (s.a.w) kepada ’Amr ibn Hazm. Hadits ini telah masyhur di kalangan umat serta diterima oleh mereka. Isi yang terkandung di dalamnya pula turut didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu janganlah memegang Kitab Allah apabila dalam keadaan berhadats untuk menghormati dan mengagungkannya.
Fiqih Hadits :
Orang mukallaf tidak dibolehkan memegang Al-Qur’an tanpa berwudlu.
Keterangan :
Harap dimengerti perbedaan istilah mukallaf dengan muallaf :
Mukallaf adalah orang Islam yang sudah tertuntut hukum syariat, yaitu sudah baligh dan berakal.
Sedangkan Muallaf yaitu orang yang baru masuk Islam, masih lemah imannya.

Pertanyaan :
1.      Mohon ?
Jawab :
M.
2.      Jika  ?
Jawab :
H

---masih dalam proses editing---

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat

Selasa, 24 Januari 2012

Tafsir Q.S. Al-Baqarah 17-20

Kajian Tafsir Ibnu Katsir, 10 Jan 2012
Pemateri : K.H. Aep Saefudin SAG
Al-Baqarah, ayat 17-18 :
مثلهم كمثل ٱلذى ٱستوقد نارًاۚ فلمَّآ اضآءتْ ماحولهُٰ ذهبَ اللهُ بنورهم وتركهم في ظلمٰتٍ لا يبصرونَ ۝ صمُّ بكم عمي فهم لا يرجعونَ۝
"Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)."

Dikatakan matsalun, mitslun, matsiilun, artinya perumpamaan, bentuk jamaknya adalah amtsal.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyerupakan mereka yang membeli kesesatan dengan keimanan, dan nasib mereka menjadi buta setelah melihat, dengan keadaan orang yang menyalakan api. Akan tetapi, setelah suasana di sekitarnya terang dan beroleh manfaat dari sinarnya, yaitu dapat melihat semua yang di kanan dan kirinya, telah menyesuaikan diri dengannya, di saat dalam keadaan demikian, tiba-tiba api tersebut padam. Maka ia berada dalam kegelapan yang pekat, tidak dapat melihat, dan tidak beroleh petunjuk. Selain itu keadaannya kini menjadi tuli tidak dapat mendengar, bisu tidak dapat berbicara lagi, buta seandainya dalam keadaan terang sehingga tidak dapat melihat. Karena itu ia tidak dapat kembali kepada keadaan sebelumnya. Demikian pula keadaan orang-orang munafik itu yang mengganti jalan petunjuk dengan kesesatan dan lebih memilih kesesatan daripada hidayah.
Di dalam perumpamaan ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa pada awalnya mereka beriman, kemudian kafir, sebagaimana yang diceritakan Allah Subhaanahu wa Ta'aala dam ayat lainnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, dari As-Sa'adi, mengatakan tasybih atau perumpamaan dalam ayat ini sangat benar, karena mereka pada mulanya memperoleh nur berkat keimanan mereka, kemudian pada akhirnya karena kemunafikan mereka, maka batallah hal tersebut dan terjerumuslah mereka ke dalam kebimbangan yang besar, mengingat tiada kebimbangan yang lebih besar daripada kebimbangan dalam agama.
Al-Baqarah, ayat 19-20 :
أوْكَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَآءِ فِيْهِ ظُلُمٰتٌ وَّرَعْدٌ وَّبَرْقٌ ۚ يَجْعَلُوْنَ ٲصٰبعَهُمْ فِيْ اٰذانِهِمْ مِّنَ الصَّوَاعِقِ حَذرَ الْمَوْتِ ۗ وَاللهُ مُحِيْطٌ بِالْكٰفِرِِيْنَ۝ يَكٰدُ الْبرْقُ يَخْطَفُ اَبْصَارَهُمْ ۗ كُلَّمَآ اَضَآءَلَهُمْ مَّشَوْا فِيْهِ وَاِذَآ اَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوْا ۗ وَلوْ شَآءَ اللهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَاَبْصَارِهِمْ ۗ اِنَّ اللهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ۝
“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh, dan kilat; mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari, mereka berjalan di bawah (sinar) itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.”

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya

Relativitas Waktu Dalam Al-Qur'an

Teori relativitas waktu Einstein di tahun-tahun awal abad ke-20 baru terbukti di Zaman ini, relativitas waktu adalah fakta yang terbukti secara ilmiah dengan peralatan canggih & modern abad 20. Namun, semua ini ternyata sudah ditulis oleh Qur'an 1400 tahun yang lalu disaat zaman masih sangat kuno, bukti bahwa Qur'an bukan karangan Muhammad Shallallahu 'alaihi Wasallam, tapi memang benar firman dari Allah pencipta alam semesta. 
Sebelumnya, manusia belumlah mengetahui bahwa waktu adalah sebuah konsep yang relatif, dan waktu dapat berubah tergantung keadaannya. Ilmuwan besar, Albert Einstein, secara terbuka membuktikan fakta ini dalam teori relativitas. Ia menjelaskan bahwa waktu ditentukan oleh massa dan kecepatan. Dalam sejarah manusia, tak seorang pun mampu mengungkapkan fakta ini dengan jelas sebelumnya.

Tapi ada perkecualian; Al Qur'an telah berisi informasi tentang waktu yang bersifat relatif! Sejumlah ayat yang mengulas hal ini berbunyi: 
Qs. 22 Hajj:47 "Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu." 
Qs. 32 Sajdah:5 "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu." 
Qs. 70 Ma'aarij:4 "Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun."


Dalam sejumlah ayat disebutkan bahwa manusia merasakan waktu secara berbeda, dan bahwa terkadang manusia dapat merasakan waktu sangat singkat sebagai sesuatu yang lama: 
Qs. 23 Mu'minuun:122-114 "Allah bertanya: 'Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?' Mereka menjawab: 'Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.' Allah berfirman: 'Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui'." 
Satu contoh mudah: di kutub utara malam boleh berlaku selama berbulan-bulan, siang hari pun boleh berlaku berbulan-bulan. Jika kita pergi ke luar angkasa pun jauh dari planet & bintang maka tak ada hari karena selalu siang tanpa ada malam. 
Fakta bahwa relativitas waktu disebutkan dengan sangat jelas dalam Al Qur'an, yang mulai diturunkan pada tahun 610 M, adalah bukti lain bahwa Al Qur'an adalah Kitab Suci.

Sebaliknya, dalam alkitab tetangga, justru malah berkata sebaliknya, bahwa waktu-waktu atau masa-masa itu tetap. Dan ditambah ada 1 ayat yg lucu dalam ayat yang bersangkutan. Matahari belum lagi dibuat, tapi sudah ada siang & malam. Pada hari pertama sudah ada terang & gelap, padahal matahari baru dibuat pada hari ke 4. 
Kejadian 1:5 Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.

Kejadian 1:14. Berfirmanlah Allah: "Jadilah benda-benda penerang pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam. Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda yang menunjukkan MASA-MASA YANG TETAP dan hari-hari dan tahun-tahun,
1:15 dan sebagai penerang pada cakrawala biarlah benda-benda itu menerangi bumi." Dan jadilah demikian.
1:16 Maka Allah menjadikan kedua benda penerang yang besar itu, yakni yang lebih besar untuk menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam, dan menjadikan juga bintang-bintang.
1:17 Allah menaruh semuanya itu di cakrawala untuk menerangi bumi,
1:18 dan untuk menguasai siang dan malam, dan untuk memisahkan terang dari gelap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.
1:19 Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keempat.

Dari ayat ke 14 pun alkitab menerangkan jika WAKTU ITU TETAP , ini bertentangan dengan bukti ilmiah. Mungkinkah Tuhan salah ber-firman? Jelas ayat yang keliru ini telah dirubah oleh manusia karena tidak mungkin Tuhan salah berfirman. Dan ini berarti kitab tersebut sudah tidak suci lagi karena tercampuri tangan-tangan kotor manusia. Perlu diingat bahwa kesalahan alkitab ini tidak hanya 100 atau 200, tapi ribuan!!!


Sumber : IslamTerbuktiBenar.Net

Sabtu, 21 Januari 2012

Khutbah Jum'ah 30 Des 2011

Hikmah Pergantian Tahun
Oleh : Yuda Rahman
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ .َ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ٠ أللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى أٰلِهِ وَأصْحٰبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ ٳلٰى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ٠
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ . يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا . يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛
Ma’asyiral Muslimin jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Pertama-tama marilah kita senantiasa memanjatkan puji dan syukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita sehingga kita bisa berkumpul di tempat ini dalam rangka melaksanakan perintah Allah, yaitu melaksanakan ibadah jum’ah. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah dan mendapat limpahan pahala dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umat yang konsekuen dan konsisten mengikuti beliau sampai hari kiamat.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah dengan iman dan taqwa yang sebenar-benarnya, yakni menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Taqwa merupakan bekal terbaik yang akan membuat kita mulia di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Ma’asyiral Muslimin jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Saat ini kita umat Islam masih dalam suasana tahun baru 1433H, dan Insya Allah 1 hari lagi tahun 2011M segera berlalu, berganti dengan tahun baru 2012M. Tidaklah Allah Subhaanahu wa Ta’aala menciptakan segala suasana dan keadaan, melainkan terdapat hikmah di dalamnya, termasuk silih bergantinya siang dan malam, sehingga sampai kepada pergantian tahun. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an :
اِنَّ فِيْ خَلْقِ ٱلسَمٰوٰتِ وَٱلارْضِ وَاخْتلافِ ٱلَيْلِِ وَٱلنّهَارِ لاٰيٰت لاُولِٱلاَلْبَابِ ۝
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal.” (Q.S. Ali Imran : 190).
Maka ada beberapa hikmah yang bisa kita petik pada pergantian tahun ini, diantaranya :
Yang pertama, Sebagai perenungan diri tentang umur kita bahwa dengan datangnya tahun baru ini hakikatnya umur kita yang telah ditetapkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala berkurang lagi satu tahun. Padahal kita tidak pernah tahu kapan malaikat maut akan menjemput kita karena kematian adalah rahasia Allah. Yang kita takutkan bukanlah kematian itu, karena cepat atau lambat, siap atau tidak, kematian pasti akan mendatangi kita. Namun yang perlu difikirkan, yang harus kita risaukan adalah bekal apa yang telah dipersiapkan untuk kehidupan setelah kematian itu, yakni kehidupan akhirat yang kekal selama-lamanya. Dan kelak kita akan dimintai pertanggungan jawab tentang umur yang Allah karuniakan ini dihabiskan untuk apa, apakah dalam ketaatan kepada Allah aatau sebaliknya. Maka marilah kita manfaatkan sisa umur ini dengan sebaik-baiknya, dengan amal sholeh dan ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Ma’asyiral Muslimin jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Ke-dua, hikmah yang bisa kita petik di penghujung tahun ini hendaknya menjadi renungan untuk muhasabah diri, yakni mengevaluasi segala kekurangan diri ini, baik yang berhubungan langsung kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala maupun yang berhubungan dengan sesama manusia. Khalifah Umar bin Khaththab pernah mengingatkan : ”Hisablah diri kalian sebelum dihisab di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Mari kita koreksi iman dan ibadah kita mungkin tanpa kita sadari diri ini masih terjerumus dalam kesyirikan, masih terbelenggu dengan kemunafikan yang merupakan dua sifat yang sangat dimurkai oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan termasuk dosa besar yang tidak akan diampuni apabila pelakunya meninggal sebelum bertaubat. Mungkin diri ini masih terjerembab dalam perkara-perkara bid’ah, yakni amalan yang tidak ada contoh dari Nabi Shallallahu ,alaihi wa Sallam.
Mari kita koreksi sholat kita kalau selama ini mungkin masih jauh dari khusyu’, bahkan masih sering menunda-nunda waktunya karena dilalaikan oleh perkara dunia dan urusan-urusan yang lain. Padahal Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah memperingatkan di dalam Al-Qur’an :
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ۝   ٱلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ ساُوْنَ۝ 
Maka celakalah orang yang sholat. Yaitu orang-orang yang lalai terhadap sholatnya.”  (Q.S. Al-Ma’uun : 4-5)
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Kalau yang menunda-nunda sholat saja sudah diancam oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala, apalagi yang jelas-jelas meninggalkannya, maka murka dan adzab Allah tentu jauh lebih besar sebagaimana telah banyak dijelaskan, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam.
Demikian pula dengan amalan-amalan yang lain serta yang berhubungan dengan sesama manusia, hendaknya senantiasa dievaluasi apakah sudah berada dalam ridlo Allah atau belum. Sayyidina Umar bin Khattab saja yang sudah mendapat jaminan surga masih muhasabah diri setiap harinya bercucuran air mata karena takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Lalu bagaimana dengan diri kita yang begitu banyak dosa dan maksiat, salah dan khilaf, maka hendaklah lebih banyak beristighfar, memohon ampunan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Ma’asyiral Muslimin jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Hikmah yang ke-tiga, hendaknya kita jadikan tahun baru ini sebagai momentum untuk memotivasi diri untuk meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Kita awali tahun ini dengan menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak ada contoh dan tidak ada dasarnya kdalam agama, seperti mengikuti tatacara perayaan tahun baru yang dilakukan oleh orang-orang di luar agama kita. Hal itu termnasuk perbuatan yang sia-sia bahkan dilarang. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بقَومٍ فهُوَ مِنْهُم
Barang siapa yang meniru-niru jejak suatu kaum, maka ia ermasuk golongan mereka” (HR. Abu Daud).
Maka seharusnya malam pergantian tahun hendaknya diisi dengan amalan-amalan yang dianjurkan dalam agama, seperti banyak berdzikir kepada Allah, tilawah Al-Qur’an, sholat-sholat nawafil, dan muhasabah diri.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah,
Sebagai kesimpulan marilah kita merenungi diri tentang umur yang Allah berikan, sudahkah kita memanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan bekal kehidupan akhirat selama-lamanya, kemudian kita selau muhasabah diri, mengoreksi segala kekurangan selama ini baik yang berhubungan kepada Allah maupun yang berhubungan dengan sesama manusia, sehingga ada motifasi kuat unuk menjaga aqidah dan keimanan kita, mengiringinya dengan ibadah dan amal sholeh yang sungguh-sungguh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai akhir hayat kita.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat
 

Senin, 16 Januari 2012

Ibanatul Ahkam, Des_2011

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab : Nawaqidul Wudlu (3)
Pemateri : K.H. Aep Saefudin SAG
 
وَعَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ؟ فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم "لَا إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ )  أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان  وَقَالَ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ: هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَةَ
Hadits ke-66
Dari Thaliq Ibnu Ali Radliyallaahu 'anhu, beliau berkata: ”Seorang lelaki bertanya: ”Aku telah menyentuh zakarku,” atau dia (Thaliq) sendiri yang bertanya: ”Seorang lelaki menyentuh kemaluannya dalam solat. Apakah dia harus berwudlu lagi?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: ” Tidak, sesungguhnya ia hanya sepotong daging dari (tubuh)mu.” (Dikeluarkan oleh Imam Lima dan dinilai sahih oleh Ibnu Hibban. Ibnu al-Madini berkata: ”Hadis ini lebih baik daripada hadis Busrah.”)
Makna Hadits :
Sholat adalah munajat di hadapan Allah Yang Maha Tinggi, maka syariat mensyaratkan orang yang sholat berada dalam keadaan suci supaya dia dibenarkan untuk melakukan munajat yang mulia itu. Oleh karena menyentuh aurat bisa membangkitkan syahwat dan perbuatan ini bisa mengakibatkan keluarnya najis, maka perbuatan ini pada permulaan kedatangan Islam tidak dianggap membatalkan wudlu sebagai rahmat kepada umat. Namun setelah hukum Islam mantap, syariat menjadikan masalah menyentuh kemaluan membatalkan wudlu sebagai tindakan berhati-hati. Akan tetapi ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa itu tidak membatalkan wudlu secara mutlak berlandaskan kepada hadis Thaliq dan berpegang kepada hukum asalnya.
Fiqih Hadits :
Memegang atau menyentuh kemaluan tanpa penghalang tidak membatalkan wudlu. Inilah pendapat mazhab Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Ahmad, Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat: ”Jika memegang atau menyentuh kemaluan dilakukan dengan bagian dalam telapak tangan atau dengan hujung jari-jemari tanpa memakai penghalang, maka itu membatalkan wudlu, tetapi jika menyentuh atau memegangnya dilakukan dengan bagian luar telapak tangan, maka itu tidak membatalkan wudlu.” Mereka menjawab hadits ini bahwa hadis ini telah di-mansukh oleh hadis Busrah yang akan disebut oleh Ibn Hajar penulis kitab Bulughul Maram berikut ini,

ِعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ )  أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّان َ وَقَالَ اَلْبُخَارِيُّ هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا اَلْبَابِ
Hadits ke-67
Dari Busrah binti Shafwan Radliyallaahu 'anhaa bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ”Barang siapa yang memegang kemaluannya, maka hendaklah dia berwudlu.” (Dikeluarkan oleh Imam Lima dan dinilai sahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Imam Bukhari berkata: ”Hadis ini paling sahih dalam bab ini.”)
Makna Hadits :
Berhati-hati dalam agama merupakan sikap yang harus diamalkan untuk memelihara akidah dan menjaga ibadah supaya tidak bercampur dengan unsur-unsur yang bisa membatalkannya. Oleh itu, syariat melarang dari memegang kemaluan supaya dengan demikian nafsu seseorang tidak bergelora dan menghindarkan dirinya dari kotoran.
Fiqih Hadits :
Menyentuh kemaluan tanpa penghalang dengan bagian dalam telapak tangan atau dengan ujung jari-jemari membatalkan wudlu. Inilah mazhab Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Malik.
 
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذْيٌ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ )  أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَ ه وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ
Hadits ke-68
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhaa bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang muntah, atau mengeluarkan darah dari hidung, atau mengeluarkan dahak, atau mengeluarkan madzi, maka hendaklah dia meninggalkan tempat sholatnya lalu berwudlu, kemudian hendaklah meneruskan sholatnya dengan syarat dia selama itu tidak berbicara.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, tapi dianggap lemah oleh Imam Ahmad dan lain-lain)
Makna Hadits :
’Aisyah Radliyallaahu 'anhaa menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberitahu : barang siapa yang muntah, keluar darah dari hidung (mimisan), mengeluarkan dahak atau keluar madzi ketika sedang mengerjakan solat, maka hendaklah orang itu kembali mengambil air wudlu. Apa yang dinyatakan oleh hadis ini bahwa dibolehkan meneruskan solat sesudah keluar meninggalkan tempat solat dan mengulangi wudlu tanpa bercakap-cakap masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa seseorang mesti melanjutkan sholatnya dan sholatnya tidak batal dengan syarat orang itu tidak mengerjakan perkara-perkara yang membatalkan sholat seperti yang ditegaskan oleh hadits meneruskan sabdanya: “Tidak bercakap-cakap.” Imam Syafi’i di dalam pendapatnya yang terakhir dan Imam Ahmad mengatakan bahwa hadats tetap membatalkan solat karena berlandaskan kepada hadis Thaliq Ibnu Ali, bahwa:
 “Jika seseorang di antara kamu kentut ketika sedang sholat, maka hendaklah dia keluar meninggalkan sholatnya dan berwudlu, lalu mengulangi kembali solatnya.”
Fiqih Hadits :
Pertama, wudlu menjadi batal karena muntah besar, muntah kecil yang keluar daripada mulut, keluar darah dari hidung dan mengeluarkan madzi dari kemaluan. Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki berpendapat bahwa muntah besar dan muntah kecil tidak membatalkan wudlu. Sedangkan madzhab Hanafi mengatakan bahwa muntah, baik besar maupun kecil jika memenuhi mulut membatalkan wudlu, sedangkan jika tidak memenuhi mulut tidak membatalkan wuduk. Adapun Imam Ahmad membedakan antara muntah besar dengan muntah kecil, beliau berkata: “Mengeluarkan muntah kecil tidak membatalkan wudlu dan begitu pula muntah yang sedikit. Tetapi jika muntah itu banyak, maka ia membatalkan wudlu.”
Darah yang keluar dari badan secara mutlak menurut Imam Ahmad membatalkan wudlu. Imam Abu Hanifah juga mengatakan bahwa ia membatalkan wudlu dengan syarat darah itu mengalir. Mazhab Maliki mengatakan bahwa keluarnya darah dari tubuh tidak membatalkan wudlu. Begitu pula jika ia keluar dari qubul dan dubur dengan syarat tidak bercampur dengan air kencing dan kotoran.
Imam Syafi’i membedakan mana darah yang membatalkan wudlu dan sebaliknya. Sehubungan dengan hal itu, beliau berkata: “Darah yang keluar bukan dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudlu. Namun jika darah keluar dari qubul dan dubur, maka ia membatalkan wudlu.” Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wudlu menjadi batal jika seseorang mengeluarkan madzi.
Kedua, sholat menjadi batal karena berhadats menurut pendapat jumhur ulama. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jika hadats terpaksa dikeluarkan dan tidak sengaja mengeluarkannya, maka sholatnya tidak batal dengan syarat seseorang itu tidak melakukan perbuatan yang membatalkan sholatnya, karena berdasarkan sabda Rasulullah : “Janganlah dia bercakap-cakap.” Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa hadats mewajibkan sholat diulangi kembali. Pendapat ini berlandaskan kepada hadits yang mengatakan:
 “Jika seseorang di antara kamu kentut ketika sedang sholat, maka hendaklah dia keluar meninggalkan sholatnya dan berwudlu, lalu mengulangi kembali  sholatnya.”

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya

Tafsir Q.S. Al-Baqarah 16

Kajian Tafsir Ibnu Katsir, Desember 2011
Pemateri : K.H. Aep Saefudin S.Ag
Al-Baqarah, ayat 16 :

اُولٰئِكَ ٱلَّذِيْنَ ٱشْتَرَوُاٱلضَّلٰلَةَ بِالهُدٰىۖ فَمَارَبحَتْ تِجَارَتهُمْ وَمَاكَانُوْامُهْتَدِيْنَ۝
Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan, dari Abu Malik, dai Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman Allah ”Ulaaikal ladziinasytarawudl dlalaalata bil hudaa”, yang dimaksud ialah mereka mengambil kesesatan dan meninggalkan hidayah.
Ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad Ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id Ibnu Zubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya ”Ulaaikal ladziinasytarawudl dlalaalata bil hudaa”, yakni membeli kekufuran dengan keimanan.
Menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah padamulanya mereka beriman kemudian kafir.
Qatadah mengatakan, maksudnya ialah mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah (petunjuk). Pendapat Qatadah ini mirip dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya :
Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu.” (Q.S. Fushshilat : 17)
Kesimpulan dari pendapat semua ahli tafsir tentang hal-hal yang telah disebutkan ialah orang-orang munafik itu menyimpang dari jalan petunjuk dan menempuh jalan kesesatan, mereka menukar hidayah dengan kesesatan. Dengan kata lain mereka melepaskan hidayah sebagai ganti kesesatan.
Dalam hal ini sama saja apakah dia berasal dari orang yang tadinya beriman kemudian kafir, sebagimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya :
Yang demikian itu adalah  karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati.” (Q.S. Al-Munaafiquun : 3)
Atau dari kalangan mereka yang lebih menyukai kesesatan daripada hidayah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian dari kalangan mereka (orang-orang munafik), dan memang mereka itu terdiri atas berbagai macam golongan.
Perniagaan mereka yang demikian itu tidak membawa keuntungan, dan tidaklah mereka mendapat petunjuk, yakni tidak memperoleh bimbingan dalam perbuatannya itu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Basyir, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Qatadah, sehubungan dengan firman-Nya : ”famaa rabihat tijaaratuhum wamaa kaanuu muhtadiin”. Demi Allah kalian telah melihat mereka keluar dari hidayah menuju jalan kesesatan, dari persatuan menjadi perpecahan, dari aman menjadi ketakutan, dan dari sunah menjadi Bid’ah. Demikian pul;a menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, melalui hadits Yazid Ibnu Zurai’, dari Sa’id, dari Qatadah, dengan makna yang sama.

Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
 

Rabu, 11 Januari 2012

Ibanatul Ahkam, Des-2011

Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram
Bab : Nawaqidul Wudlu (2)
Pemateri : K.H. Aep Saefudin H. SAG
 
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا : ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى اَلصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ )  أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَضَعَّفَهُ اَلْبُخَارِيّ
Hadits ke-64
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium salah seorang istrinya, kemudian beliau keluar untuk mengerjakan sholat tanpa berwudlu dahulu. Dikeluarkan Ahmad dan dinilai lemah oleh Bukhari.
Makna Hadits :
Sebagian ulama berpendapat menyentuh wanita yang bukan muhrim tidak membatalkan wudlu secara mutlak berlandaskan hadits di atas yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mencium salah seorang isterinya, lalu baginda keluar untuk mengerjakan solat tanpa berwudlu lagi. Pendapat ini memahami maksud perkataan al-lams dalam firman-Nya: “...atau kamu telah menyentuh perempuan...” (QS. An-Nisa : 43) dengan maksud “bersetubuh”, bukan hanya sekedar menyentuh.
Ada pula yang berpendapat bahwa menyentuh perempuan bukan muhrim membatalkan wudlu secara mutlak karena berlandaskan kepada makna dzahir ayat di atas dan memahami hadits tersebut di atas sebagai keistimewaan bagi Nabi, bukan untuk orang yang lain.
Ada pula yang mengambil jalan tengah dengan menetapkan bahwa wudlu batal apabila sentuhan itu dilakukan dengan disertai syahwat. Jika tidak ada syahwat, maka tidak membatalkan wudlu.
Fiqih Hadits :
1.     Imam Abu Hanifah berpendapat, menyentuh wanita dan menciumnya tidak membatalkan wudlu. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa menyentuh wanita lain bukan muhrim tanpa penghalang membatalkan wudlu. Menurut Imam Ahmad dan Imam Malik, menyentuh wanita bukan muhrim disertai syahwat membatalkan wudlu.
2.     Menurut Imam Ahmad dan Imam Malik, berciuman merupakan bentuk persentuhan yang membatalkan wudlu apabila disertai syahwat. Menurut Imam Abu Hanifah tidak membatalkan wudlu. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, membatalkan wudlu apabila dilakukan tanpa penghalang.
 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا )  أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Hadits ke-65
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jika seseorang di antara kamu merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia merasa ragu-ragu apakah telah keluar sesuatu daripadanya atau tidak, maka janganlah dia keluar meninggalkan masjid sebelum yakin mendengar suara  atau mencium baunya.Dikeluarkan oleh Muslim.
Makna Hadits :
Keraguan tidak memberikan pengaruh apa-apa dalam hukum Islam (fiqih). Yang penting adalah keyakinan yang berlandaskan indera pendengaran dan penciuman. Di sini lahir satu kaedah penting dalam Islam yaitu berpegang kepada hukum asal, mengabaikan keraguan dan menetapkan sesuatu berlandaskan hukum asalnya. Di dalam kaedah ini terdapat kemurahan agama Islam dan nampak kelihatan hikmah yang luar biasa. Seandainya segala sesuatu ditentukan dengan prasangka, nescaya semua keadaan akan pincang dan akibatnya menjadi buruk.
Fiqih Hadits :
1. Di dalam hadis ini terdapat etika atau sopan santun dalam mengungkapkan sesuatu, yaitu tidak menyebutkan secara langsung nama suatu benda yang dianggap menjijikkan melainkan karena darurat.
2.     Kentut membatalkan wudlu.
3.   Hukum asal segala sesuatu adalah berdasarkan keadaan asalnya selagi tidak diyakini ada sesuatu yang bertentangan dengannya. Dengan kata lain, jika asalnya suci, maka tetap dianggap suci. Tetapi jika telah diyakin ada bau atau suara yang keluar (kentut), maka wudlu menjadi batal dan tidak suci lagi.
4.   Suci tidak dapat dihilangkan dengan sekadar adanya prasangka, tetapi harus diketahui terlebih dahulu faktor yang menyebabkannya tidak lagi suci. Hadits ini merupakan landasan bagi kaedah fiqh yang mengatakan: “Perkara yang diyakini tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan.”
5.  Keluarnya mengobati waswas adalah dengan mengabaikannya dan tidak menghiraukan perkara yang diragukan itu.


Dirangkum oleh : Sholihin untuk Bintang Raya
Semoga bermanfaat